Tunis, Gontornews – Kota Tunis di Tunisia dan Kota Sabang di Aceh terpisah sekitar 9.178 kilometer jauhnya. Kendati terpisah ribuan kilometer tapi keduanya ternyata memiliki persamaan. Apa persamaannya? Mungkin ada yang menjawab keduanya kota yang mayoritas warganya beragama Islam. Atau kuliner khas Tunis, Tajin Sibnekh, yang sekilas mirip dengan kare ayam Indonesia yang banyak di Sabang. Tapi bukan itu yang dimaksud.
Tunis dan Sabang sama-sama berada di titik nol. Jika Kota Sabang merupakan titik nol Indonesia, maka Kota Tunis titik nol Afrika. Benua Afrika membentang dari Tunis di utara sampai Cape Town di Afrika Selatan.
Di titik nol Afrika inilah dosen Institut Agama Islam Sahid (INAIS) Bogor, Zulfikar Ismail Lc MA, saat ini berada. Ketua Program Studi (Kaprodi) Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) INAIS ini sedang menempuh program doktor (S3) di Universite Ezzitouna, Tunis, Tunisia.
Saat menghadiri acara Halal Bihalal yang diselenggarakan secara online oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) INAIS, Ahad (31/5), Zulfikar mengisahkan pengalamannya berhari raya Idul Fitri di Tunisia.
Ia menuturkan, lebaran Idul Fitri di Tunis kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, sebagaimana di Indonesia, di Tunisia juga sedang diberlakukan pembatasan aktivitas sosial (PSBB) sehingga perayaan Idul Fitri kurang semarak. “Kami melaksanakan shalat Idul Fitri di rumah, berenam,” ujarnya.
Di Tunis, Zulfikar tinggal bersama lima mahasiswa lainnya. Semuanya asal Indonesia. “Di rumah saya ada enam mahasiswa pascasarjana. Semuanya kuliah di Universite Ezzitouna,” kata pria asal Aceh itu.
Usai shalat Idul Fitri, Zulfikar dan rekan-rekannya menyantap makanan bersama-sama. “Lebaran kali ini terasa sepi,” paparnya melalui aplikasi zoom.
Jika tak ada PSBB atau lockdown, Zulfikar biasanya merayakan Idul Fitri di Wisma Duta Besar RI di Les Berges du Lac, Tunis, bersama warga negara Indonesia (WNI) di Tunisia. “Usai shalat kita sambung Halal Bihalal dan makan-makan masakan Indonesia,” papar pria yang sudah sembilan tahun tinggal di Tunis itu.
Zulfikar menuturkan, di hari raya, Kedutaan Besar Republika Indonesia (KBRI) Tunis mengumpulkan WNI di Wisma Duta Besar untuk shalat Idul Fitri. Mereka diantar jemput oleh KBRI menggunakan bus. Saat ini di Tunisia ada sekitar 200 WNI. Termasuk staf KBRI. Jumlah mahasiswa Indonesia di Tunisia 141 orang.
Merayakan lebaran Idul Fitri di KBRI, lanjut Zulfikar, lebih terasa nikmat karena serasa berada di Indonesia. Selain karena bisa berkumpul dan beramah tamah dengan orang-orang Indonesia, juga karena lantunan takbiran di Tunis berbeda dengan di Tanah Air. “Takbiran di KBRI serasa di Indonesia,” tambahnya.
Biasanya yang menjadi imam dan khatib shalat Idul Fitri di KBRI mahasiswa. Pernah juga staf KBRI. “Tapi sangat jarang, biasanya mahasiswa,” kata Zulfikar yang juga pernah jadi khatib di KBRI.
Zulfikar, dan juga WNI lainnya, berada di KBRI hingga bakda Dzuhur. “Usai shalat Dzuhur berjamaah kami baru pulang,” ujar mahasiswa Prodi Comparaison des Religions (Perbandingan Agama) itu.
“Lebaran di KBRI sangat terasa kekeluargaannya. Persaudaraan terasa erat karena di sini tidak ada orangtua dan keluarga dekat,” ujar pria kelahiran, Alue le Puteh, Aceh Utara, 1 Januari 1987, itu. []