Oleh Ahsin Sakho Muhammad
Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al Qur’an dan Dewan Penasihat Pondok Pesantren Dar Al Tauhid Arjawinangun, Cirebon
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (at Taubah: 65)
Ayat di atas terdapat pada surah at-Taubah atau Baraáh. Surah ini termasuk surah-surah Madaniyah yang isinya terkait dengan perihal orang munafik yang kebanyakan dari kaum Yahudi. Mereka tidak senang melihat perkembangan Islam di Madinah yang dari waktu ke waktu semakin bertambah kuat, jumlah kaum Muslim bertambah banyak, kedudukan sosial mereka bertambah tinggi.
Kehadiran Nabi Muhammad dan kaum Muslim di Madinah mengusik kehidupan mereka yang selama ini mereka nikmati. Mereka eksis, berjaya dengan cara terus mengadu domba suku Aus dan Khazraj, dua kabilah besar di Madinah, sehingga keduanya terlibat peperangan “Buáts” yang berkepanjangan, yang berlangsung selama puluhan tahun lamanya.
Sebagaimana dalam pepatah: “Farriq tasudd”cerai beraikan lawanmu, engkau akan mendominasi” atau ungkapan: “Divede et Impera.” Dengan cara itu mereka menikmati kehidupan sebagai penguasa ekonomi di Madinah. Namun setelah Nabi Muhammad hadir di Madinah dan mampu mempersatukan kedua kabilah tersebut, posisi orang Yahudi sedikit demi sedikit mulai goyah, semakin terjepit dan tidak mendapatkan tempat di hati penduduk Madinah.
Melihat gejala itu, banyak di antara mereka yang mengambil posisi mendua yaitu dengan berpura-pura menjadi orang Islam, namun dalam hatinya penuh dengan kekafiran, kebencian terhadap Nabi dan para sahabatnya. Perkataan mereka sangat menyakitkan kaum Muslim, seperti: “Sammin kalbak, ya’kulka” atau: “gemukkanlah anjingmu, kelak anjingmu itu akan memangsamu”. Ungkapan berupa “satire yang sangat menusuk hati” ini ditujukan kepada Nabi dan sahabatnya yang datang ke Madinah dalam keadaan susah, namun setelah lama tinggal di Madinah, orang Islam menjadi kuat dan meminggirkan peran mereka dalam kehidupan sosial. Pada kesempatan lain, mereka yang merasa mulia dengan kedudukan mereka bertekad akan mengusir orang orang Islam dari Madinah yang mereka anggap sebagai orang yang terhina. (Lihat Surah al-Munafiqun: 8).
Berkali-kali mereka melakukan manuver yang menyakitkan Nabi dan para sahabatnya, dan bahkan mencoba untuk melakukan pembunuhan terhadap Nabi, antara lain: 1. Mencoba membunuh Nabi melalui tukang sihir mereka yaitu Labid bin al-A’sham dan anak-anak perempuannya; 2. Mengajak Nabi untuk sembahyang di masjid “ädl-Dlirar”padahal di masjid tersebut sudah disiapkan beberapa orang untuk membunuh Nabi; 3. Saat berangkat menuju ke bukit Uhud pada tahun ke-3 Hijrah, untuk persiapan perang menghadapi orang Quraisy, dua pertiga dari orang munafik, kembali lagi ke Madinah; 4. Membantu kaum musyrik Quraisy dalam perang Khandaq. 5. Mereka akan membunuh Nabi dengan batu besar dari atas rumah, pada saat nabi datang ke kediaman mereka untuk mencari hutangan guna membayar diyat orang Islam yang bersalah.
Ayat di atas diturunkan berkenaan dengan sikap orang munafik yang mengolok- olok Nabi SAW, al-Qur’an dan para sahabat Nabi. Diriwayatkan bahwa saat Nabi dan para sahabatnya berangkat ke perang Tabuk, ada tiga orang munafik mengolok-olok al-Qur’án dan Nabi dengan nada mengejek. Mereka berkata: Muhammad menyangka bahwa dia bisa mengalahkan kaum Romawi dan menaklukkan kota-kotanya. Mustahil hal itu terjadi.
Pada riwayat lain mereka mengatakan bahwa apa yang dikatakan Nabi sebagai al-Qur’an sebenarnya adalah perkataan dia (Nabi) saja. Olok-olok lainnya: bahwa para sahabat Nabi adalah orang-orang yang paling senang makan, paling banyak berbohong dan paling penakut dalam peperangan. Setelah itu Nabi menanyakan kepada mereka akan kebenaran ucapan mereka. Mereka tidak mengaku dan berani bersumpah bahwa mereka tidak mengatakan demikian. Lalu turunlah ayat di atas. (Lihat az- Zuhaili, al-Munir, al-Bagawi dan al-Manar). Ayat-ayat berikutnya berupa pernyataan bahwa mereka tak perlu beralasan. Jika Allah bisa memaafkan sebagian dari mereka, tapi sebagian lagi akan disiksa, karena dosa-dosa mereka.
Agama Islam dibangun atas dua pilar yaitu al-Qur’an dan Hadis. Al-Qur’an adalah Kalamullah yang suci. Mempunyai kehormatan yang tertinggi dibanding perkataan lainnya di dunia. Nabi Muhammad adalah sosok sentral dan panutan yang menerjemahkan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dalam realitas kehidupan. Para sahabat Nabi adalah para pengikut Nabi yang setia. Merekalah yang ikut berjuang bersama Nabi, menceritakan kepada generasi berikutnya tentang apa yang mereka dengar dari Nabi. Mereka juga sumber utama tentang apa saja yang terjadi pada masa Nabi. Nabi memuji mereka sebagai generasi terbaik. Nabi melarang siapapun mengolok-olok, mengkritik mereka, menjadi bahan gunjingan (HR Tirmidzi dan Ahmad). Jasa mereka sangat besar dalam perjalanan dakwah islamiyah. Nabi pernah berkata bahwa satu mud (genggam) makanan yang diinfakkan oleh mereka, para sahabat itu, tidak akan bisa disamai oleh pahala infak oleh generasi berikutnya, walaupun berupa emas sebesar gunung Uhud (HR Bukhari, Muslim).
Al-Qurán, sosok Nabi Muhammad dan para sahabatnya adalah lambing-lambang keislaman yang harus dijaga kehormatannya. Bisa dimaklumi jika orang-orang yang menistakan (istihza’, istikhfaf,) terhadap lambing-lambang keislaman itu jelas menohok kehormatan Islam. Allah tidak rela terhadap orang-orang yang berbuat seperti itu. Ayat di atas menjadi pelajaran bagi semua bahwa mengolok- olok lambing-lambang keislaman, membawa konsekuensi yang serius, baik di dunia maupun akhirat. Namun terhadap mereka, orang-orang munafik yang telah menistakan al-Qur’an, Nabi Muhammad dan para sahabat Nabi itu, tidak diberikan hukuman. Nabi tahu jika mereka diberi hukuman, seperti hukum bunuh, akan banyak komentar dari masyarakat luar bahwa Nabi membunuhi para sahabatnya sendiri. Kesan ini sangat merugikan citra Nabi dan agama Islam sendiri. Padahal orang munafik, jauh lebih bahaya dari orang kafir yang jelas-jelas kekafirannya. Mereka adalah duri di dalam daging.
Di samping dua pilar keislaman di atas, Islam mempunyai lambing-lambang keagungan yang disebut dengan “Syiár-syiár” baik berupa bangunan, atau ibadah seperti: masjid, azan, Ka’bah, shalat, haji, zakat, puasa, dzikir, Thawaf, Saí, hewan kurban,dan lain-lainnya. Allah memerintahkan agar syiár-syiár itu diagungkan, dan melarang melecehkannya. Mereka yang mengagungkan lambing-lambang (syiár- syiár) agama Allah adalah bukti ketakwaan mereka (al-Hajj: 30,32).
Jika Islam melarang penistaan terhadap lambing-lambangnya, Islam juga memerintahkan umat Islam untuk menghormati lambing-lambang umat dari agama lain dan melarang mereka melecehkan lambing-lambang agama lain, karena akan mengakibatkan keributan dan perbuatan destruktif dari pihak lain dan berpotensi akan menjadi rangkaian pertikaian yang susah untuk dihentikan. Peristiwa seorang Muslim dari Arab Badui yang mengotori “Ka’bah”nya Abrahah, penguasa Yaman, yang diberi nama “al-Qulais” pada tahun kelahiran Nabi Muhammad, telah memicu kemarahan Abrahah, sehingga dia menghimpun tentara bergajah untuk menghancurkan Ka’bah di Mekkah. Al-Qurán juga melarang kita menghancurkan tempat-tempat peribadatan umat lain (al-Haj: 40), karena jika hal itu terjadi maka umat lainpun akan berusaha menghancurkan tempat peribadatan kaum Muslim. Pada saat sahabat Umar memasuki kota Yerusalem, setelah kota itu jatuh ke tangan kaum Muslimin, Umar membiarkan gereja yang ada di dekat Masjid al-Aqsha dan tidak berusaha untuk menghancurkannya. Begitu juga kaum Muslim yang telah menguasai kota-kota yang dikuasai orang Romawi dan Parsi, tidak ada dari mereka yang menghancurkan tempat peribadatan mereka.
Islam adalah agama yang membawa angin kedamaian, agama yang mengajak kepada kebaikan bersama. Tidak ingin bermasalah dengan umat agama lain, dengan saling menghargai mereka, baik dari pribadi mereka atau sesembahan mereka atau symbol-simbol agama yang mereka agungkan. Kekafiran, kemusyrikan, bukanlah menjadi penyebab permusuhan sesama umat manusia, karena semua itu merupakan keniscayaan dalam kehidupan, kecuali jika ada yang terzalimi.
Sikap menistakan agama, jauh lebih berat daripada menistakan adat istiadat satu suku yang telah meyakini sesuatu yang mereka sakralkan, mereka hormati, mereka kagumi, atau mencederai harga diri satu kelompok masyarakat, atau satu bangsa. Sikap menistakan agama dan symbol-simbolnya adalah perbuatan keji, kotor dan pengecut, karena agama adalah dari Allah yang diturunkan untuk kemaslahat manusia. Penistaan kepada agama, merupakan penistaan kepada Allah. Adagium ini sudah menjadi konsensus bersama. Jika di dalam al-Qur’an, ada kritikan pedas bagi orang-orang kafir, musyrik dan munafik, hal itu karena perilaku mereka yang menentang kebenaran agama Islam, mengejek, memfitnah dan menzalimi kaum Muslim.
Negara Indonesia adalah negara yang berdiri di atas kebhinekaan dalam banyak hal, dari agama, suku bangsa, adat istiadat dan lain sebagainya. Negara dan seluruh komponen bangsa perlu merawat kebhinekaan ini dengan sebaik-baiknya. Negara harus hadir ketika ada penistaan agama dan symbol-simbolnya dengan berusaha mencegahnya dengan cara-cara yang persuasif, mendamaikan pihak-pihak yang bertikai. Jangan sampai merebak, menjalar lebih jauh lagi. Tapi manakala penistaan terhadap agama, dilakukan dengan sadar, tanpa menghiraukan perasaan pihak lain, maka negara harus menegakkan aturan yang berlaku secara adil untuk menindak mereka yang melakukannya. Semuanya itu dalam rangka menciptakan situasi yang tenang aman dan damai. Kita tentu mengagumi beberapa negara di dunia yang bukan negara Islam, tapi sistem yang diberlakukan menjadikan semua penduduk merasa tenteram, aman dan damai. Mereka saling menghargai, saling menghormati, mengerti tentang perasaan pihak yang berlainan agama. Jadilah negara tersebut menjadi negara yang aman dan damai, penduduknya rukun walau berlainan keyakinan, hidup mereka sejahtera.
Kita selaku kaum Muslimin seharusnya mampu menciptakan kondisi seperti itu, dengan semboyan “wa Taáwanu álal birri wat taqwa wala taáwanu álal itsmi wal údwan” yaitu saling bekerjasama dalam kebaikan dan ketakwaan dan tidak bekerjasama dalam dosa dan kezaliman, sehingga agama Islam ikut terangkat citranya oleh perilaku kaum Muslimin sendiri. Amin.
Arjawinangun, 30 Oktober 2016