Pada tahun 1967, fitnahnya datang dari jauh. Fitnah itu dimasukkan kepada anak-anak, betul-betul kemasukan Iblis. Akhirnya, anak-anak itu ingin menguasai pondok dengan segala perhitungannya yang salah. Karena pondok ini sudah wakaf, diserahkan kepada IKPM, dan saya anggota IKPM, maka saya berhak.
Akhirnya, terjadi sesuatu yang sangat tidak masuk akal. Mereka akan mendongkel Pimpinan Pondok Modern Gontor supaya pindah, dan mereka yang akan mengambil alih Pimpinan. Murid mau mengusir gurunya. Suatu hal yang tidak masuk akal, tetapi betul-betul terjadi karena kejahatan setan dan Iblis yang biasa bersembunyi (khannas).
Pondok Modern Gontor ini ibarat kereta api. Kereta api ini berjalan di atas rel. Pimpinan Pondok Modern sebagai masinis yang memegang stir, menghidupkan mesin dan menjalankan kereta api itu di atas rel. Relnya itu peraturan-peraturan yang telah tertentu. Lalu ada penumpang yang mau menguasai masinis. Mau memegang stir. Kalau ada penumpang mau menguasai masinis, itu gila namanya.
Lebih dari itu, penumpang itu menyuruh masinis untuk belok kiri, padahal tidak ada rel ke kiri. Ini orang kalap karena nafsunya. Karena ada yang diingini, ada yang dituju. Akhirnya, betul-betul sia-sia. Hal ini jangan sampai terulang. Kemungkinan terulang itu ada, kalau fitnah itu dibiarkan hi dup. Na’udzubillah.
Maka anak yang mempunyai benih kurang percaya harus pergi. Anak yang tidak mau berkumpul mendengarkan pengarahan-pengarahan, silakan pulang. Kami harus senantiasa awas dan cepat-cepat bertindak. Sekarang saya masih hidup. Nanti kalau saya sudah mati, yang lain-lain harus bisa membendung fitnah lebih dari saya. Jangan dibiarkan api fitnah sedikit pun masuk.
Anak-anak pun supaya hati-hati. Jaga telinga, jaga mata, jaga perasaan, jangan kemasukan fitnah. Jangan sampai ada anak kurang ajar, karena pandai seperti Iblis, mencuri tidak kelihatan, melanggar tidak kelihatan, dan ia terus melanggar, suruh pulang. Kami tidak sanggup mendidik orang seperti itu. Biarpun dia mengaku bersalah, untuk menjaga harus begitu.
Kami ini ibarat orang membendung sungai, mengumpulkan air yang baik untuk kepentingan masyarakat. Sungai itu biasanya kalau baru dibendung di bawahnya ada ikannya. Kami ini payah-payah membendung. Mereka yang tidak ikut membendung lebih dahulu tergopoh-gopoh dan merusak bendungan. Kami yang membendung santri-santri supaya tetap belajar dengan baik di sini. Mereka merusak santri-santri. Mereka tidak ikut membuat bendungan malah merusak.
Orang seperti itu banyak. Alhamdulillah, kami sekarang sudah mendapat ilham. Warung untuk santri-santri itu dijadikan satu, namanya Warung Pelajar. Dapur-dapur semuanya dilarang jadi warung. Ketika itu ibunya Pak Tarwichi yang pertama-tama taat. Sampai sekarang, tidak pernah buka warung.
Dalam hal ini kami diingatkan tentang orang yang melalui sungai. Jangan seperti tentara Thalut. Thalut itu berperang membawa tentara. Sampai suatu tempat, terpaksa harus menyeberang sungai. Tentara itu haus dan payah, maka nasihat Thalut kepada tentaranya, “Awas, nanti menyeberang sungai. Tidak boleh minum. Kalau terpaksa, boleh minum sedikit. Sekadar dengan tangannya.” Ketika menyeberang, tentaranya yang kurang ajar, tidak hanya minum dengan tangan, tapi ngokop. Orang yang kurang ajar itu lantas berkata kepada Thalut, “Ya Thalut, kami tidak tahan untuk berperang.” Tentu saja, salahnya sendiri. Tamsil ini tepat untuk negara Republik Indonesia. Sekarang kita sedang dalam peralihan, menyeberang sungai. Jangan terlalu banyak minum. Nanti akhirnya mati sendiri. [] Selesai