Landasan Teologis
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ ثُمَّ اِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Kemudian, hanya kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS Al-’Ankabut: 57)
Interpretasi Para Mufasir
Dalam Tafsir Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir disebutkan bahwa setiap jiwa suatu hari nanti pasti akan merasakan pahitnya kematian, maka janganlah kalian merasa susah untuk meninggalkan negeri kalian serta merasa berat untuk berpisah dari saudara dan sahabat. Kemudian hanya kepada Allah kalian akan kembali. Maka setiap jiwa yang hidup sebenarnya dalam perjalanan menuju negeri yang kekal yang akan tinggal di sana dalam waktu yang sangat lama.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, di mana pun kalian berada, maut pasti akan mendapati kalian. Maka jadilah kalian orang-orang yang selalu berada dalam ketaatan kepada Allah di mana pun kalian berada, sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah kepada kalian. Karena sesungguhnya hal ini lebih baik bagi kalian, sebab maut pasti akan menjemput kalian tanpa bisa dielakkan. Kemudian hanya kepada Allah-lah kalian dikembalikan, barang siapa yang selalu taat kepada-Nya, maka Dia akan membalasnya dengan balasan yang sebaik-baiknya dan memberikan pahalanya dengan penuh.
Tafsir An-Nafahat Al-Makkiyah menyebutkan, dalam surat Al-‘Ankabut ayat 57 Allah mengabarkan bahwasanya setiap jiwa akan merasakan maut, berpindah dari dunia ini, semuanya kembali kepada Allah, untuk diberikan balasan bagi setiap amalan mereka.
Sedangkan dalam Tafsir Al-Wajiz disebutkan, jika kamu khawatir mati kelaparan akibat hijrah ke tempat lain, ketahuilah bahwa kamu pasti akan mati dengan cara lain. Sebab setiap makhluk yang bernyawa tanpa terkecuali akan merasakan mati, dengan atau tanpa sebab. Kemudian, setelah itu hanya kepada Allah kamu dikembalikan untuk mendapat balasan yang setimpal atas amal perbuatanmu, baik maupun buruk. Ayat ini mengandung ancaman bagi orang-orang kafir.
Allah SWT berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَاِنَّمَا تُوَفَّوْنَ اُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِۗ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَاُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS Ali Imran: 185)
Nilai-nilai Pendidikan
QS Al-’Ankabut: 57 mengandung sejumlah nilai pendidikan bagi manusia. Pertama, mendidik manusia agar senantiasa mengingat kematian dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan abadi.
Kedua, mengajarkan akhlak mulia yaitu tidak sombong dalam menjalani kehidupan, senantiasa ikhlas, rendah hati dan taat pada perintah Allah.
Ketiga, menanamkan rasa semangat ibadah dan memperbanyak amal shalih agar mendapat rahmat dan keridhaan Allah.
Keempat, mendidik manusia agar beriman dan bertakwa serta senantiasa menjalankan syariat agama sesuai yang diajarkan Nabi Muhammad SAW agar manusia selamat di dunia dan akhirat.
Bekal Menghadapi Kematian
Syekh Sahl al-Tustari dalam Tafsir al-Tustari berkata: “Amal shalih adalah amal yang sunyi dari pamer dan diikat dengan (tuntunan) sunnah Nabi.”
Sedangkan al-Imam al-Baghawi berkata dalam Tafsir al-Baghawi: “Mu’adz berkata, amal shalih adalah amal yang di dalamnya terdapat empat hal, yaitu ilmu, niat, sabar dan ikhlas.”
Syekh Sayyid Muhammad Abdullah al-Jordani berkata: “Sangat dianjurkan mempersiapkan diri menghadapi kematian dengan mengerjakan amal-amal shalih dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang tercela, bersegera bertobat dengan memenuhi syarat-syaratnya yaitu melepaskan diri dari dosa, menyesal atas dosa yang dilakukan dan bertekad untuk tidak mengulangi serta mengembalikan kezaliman yang dilakukan kepada orang yang berhak, mengqadha semisal shalat dan puasa, serta meminta halal dari perbuatan semacam menggunjing dan menuduh zina.”
Kematian tidak dapat diprediksi kapan datangnya. Belia, muda, maupun tua tidak ada yang tahu, mereka pun bisa merasakan kematian.
Setahun yang silam, barangkali kita masih melihat saudara kita dalam keadaan sehat bugar, ia pun masih muda dan kuat. Namun hari ini ternyata dia telah pergi meninggalkan kita.
Kita tidak tahu kapan maut menjemput kita. Entah besok, entah lusa, entah kapan. Namun kematian itu sebagai pengingat, yang menyadarkan diri dari kelalaian. Dunia akan kita tinggalkan, dunia hanya sebagai lahan mencari bekal. Alam akhiratlah tempat akhir kehidupan yang abadi dan kekal.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ : كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ : « أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا ». قَالَ فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ : « أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, Mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu Mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR Ibnu Majah No. 4259)
Demikian, tanamlah amalan yang tidak akan terputus apabila kita telah meninggal. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: (إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ) ؛ رواه مسلم
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: Jika manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, dan anak shalih yang selalu mendoakan orangtuanya. (HR Muslim)
Menurut Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, semua amal manusia pasti terputus manakala ia meninggal dunia. Sedangkan tiga hal yang disebutkan dalam hadits tersebut akan tetap mengalir pahalanya karena pelakunya merupakan penyebab terjadinya ketiga hal itu.
Hadis itu memberi peringatan sekaligus dorongan kepada kita yang masih hidup agar dapat memanfaatkan waktu hidup ini dengan sebaik mungkin untuk beribadah kepada Allah SWT. Juga mempersiapkan amalan yang pahalanya akan terus mengalir meskipun kita sudah tiada.
Pertama, sedekah jariyah. Sedekah jariyah adalah sedekah yang dapat membawa manfaat bagi banyak orang. Pahala sedekah jariyah tidak akan terputus meski orang yang bersedekah telah meninggal dunia. Adapun contoh sedekah jariyah, yaitu di antaranya: membuat masjid, dll.
Bersedekah tidak harus dilakukan dalam wujud harta benda, tetapi juga bisa berbentuk tenaga atau perbuatan. Sekecil apapun sedekah yang dikeluarkan seseorang, Allah pasti akan memberikan pahala baginya asalkan dilakukan dengan ikhlas. Allah SWT berfirman:
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُۥ
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya.” (QS Az-Zalzalah: 7)
Kedua, ilmu yang bermanfaat diartikan sebagai ilmu yang memberi manfaat bagi diri sendiri dan orang lain serta membawa kebaikan dan kemaslahatan.
Contoh amalan berupa ilmu yang bermanfaat seperti seorang penulis yang membuat buku dan dipakai banyak orang. Selama buku tersebut masih dibaca, digunakan, dan dimanfaatkan oleh orang lain, maka penulis buku tersebut akan tetap mendapatkan pahala.
Ilmu yang bermanfaat juga akan membuat derajat seseorang diangkat oleh Allah SWT, sebagaimana Allah SWT berfirman:
…يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ…
“… niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat …” (QS Al-Mujadalah: 11)
Ketiga, anak shalih. Anak shalih adalah anak yang selalu berbakti, mengikuti nasihat orangtuanya selama tidak menuju pada maksiat, serta selalu mendoakan kedua orangtuanya. Doa anak shalih yang ikhlas, tulus, dan selalu dipanjatkan untuk kedua orangtuanya merupakan suatu kebanggaan luar biasa bagi orangtua. Namun demikian keshalihan orangtua merupakan sarana pendidikan bagi terciptanya keshalihan anaknya.
Salah satu doa yang bisa dipanjatkan oleh seorang anak kepada orangtuanya, yaitu:
اللّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan dosa kedua orangtuaku dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil.”
Kita semua butuh bekal untuk menuju kehidupan yang abadi, maka dunialah tempat kita berlomba-lomba mengumpulkan amal shalih.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang pundaknya, lalu berkata:
كُنْ فِى الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ ، أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ
“Hiduplah kalian di dunia seakan-akan seperti orang asing, atau seperti seorang pengembara.”
Ibnu ‘Umar lantas berkata:
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
“Jika engkau berada di petang hari, janganlah tunggu sampai datang pagi. Jika engkau berada di pagi hari, janganlah tunggu sampai datang petang. Manfaatkanlah waktu sehatmu sebelum datang sakitmu. Manfaatkanlah pula waktu hidupmu sebelum datang matimu.” (HR Bukhari, No. 6416)
Upaya Siapkan Bekal Terbaik
Lalu apa upaya kita untuk mempersiapkan bekal terbaik menuju akhirat? Pertama, senantiasa memperbanyak amal baik (shalih). Allah ST berfirman:
الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ
“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS Al-Mulk: 2)
Penyesalan orang-orang yang tidak berbuat baik (amal shalih) hanya sia-sia.
Allah SWT berfirman:
يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
“Duhai, alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku ini.” (QS Al-Fajr: 24)
Kedua, bersabar terhadap ujian hidup yang diberikan Allah SWT. Allah berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗوَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.” (QS Al-Anbiya’: 35)
Ketiga, tidak berbuat kerusakan di muka bumi dan tidak menyombongkan diri. Allah SWT berfirman:
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Qashash: 83)
Keempat, berdoa agar wafat dalam keadaan husnul khatimah. Allah SWT berfirman:
رَبَّنَآ اِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُّنَادِيْ لِلْاِيْمَانِ اَنْ اٰمِنُوْا بِرَبِّكُمْ فَاٰمَنَّاۖ رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّاٰتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْاَبْرَارِۚ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru pada keimanan, yaitu ‘Berimanlah kamu kepada Tuhanmu,’ maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang selalu berbuat kebaikan.” (QS Ali Imran: 193)
Rasulullah SAW bersabda:
قَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم ” إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ ” . فَقِيلَ كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ ” يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ الْمَوْتِ” ”
“Rasulullah saw bersabda: Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang, maka Allah akan membuatnya beramal. Para sahabat bertanya: Bagaimana membuatnya beramal? Beliau menjawab: Allah akan memberikan taufiq padanya untuk melaksanakan amal shalih sebelum dia meninggal.” (HR Ahmad dan Tirmidzi)
Kisah Teladan
‘Alqamah seorang sahabat yang sangat taat. Ia tak pernah melalaikan shalat. Fadhu ataupun sunnah. Amalan puasa dan sedekah tak pernah terlewat. Namun, di penghujung hayat ia susah mengucap syahadat. Dikisahkan, saat ‘Alqamah sakit keras, istrinya mengirim utusan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tujuannya memberi kabar bahwa suaminya sakit kritis dan sepertinya sedang menghadapi sakaratul maut.
Begitu menerima kabar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam langsung mengutus ‘Ammar, Bilal, dan Shuhaib untuk menjenguk ‘Alqamah dan mengajarinya mengucap kalimat tuhid, Laa ilaha illallah. Namun, lisannya kelu tak kuasa berucap.
Akhirnya, mereka kembali memberitahukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bertanya, “Apakah di antara kedua orangtuanya masih ada yang hidup?” Disampaikan kepadanya, “Ada, wahai Rasul, ibunya. Ia sudah sangat sepuh.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta, “Temuilah ibunya. Sampaikan, ‘Jika engkau masih kuat, datanglah kepada Rasulullah. Jika tidak, diamlah di rumah. Dan Rasulullah yang akan menemuimu.’” Singkat cerita, utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bergegas menemuinya. Setiba di hadapan ibunda ‘Alqamah, sang utusan menyampaikan pesan tadi. “Biarlah aku sendiri yang menemui Nabi. Aku lebih berhak menemuinya,” jawab ibunda ‘Alqamah.
Dengan bantuan tongkatnya, ibunda ‘Alqamah pun berangkat menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Setibanya, ia mengucap salam dan dijawab oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian, Baginda Nabi bertanya, “Wahai ibunda ‘Alqamah, jujurlah kepadaku. Jika berbohong, wahyu Allah akan turun kepadaku. Bagaimana keadaan anakmu?” Ia menjawab, “Wahai Rasul, ‘Anakku itu rajin shalat, rajin puasa, dan banyak sedekah.”
“Lantas bagaimana keadaanmu kepadanya?” desak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. “Aku tidak suka kepadanya. Karena ia lebih mementingkan istrinya, dan durhaka kepadaku.” “Berarti, murka sang ibunda yang membuat ‘Alqamah terhalang mengucap syahadat,” ungkap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian, Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Bilal, “Hai Bilal, kumpulkanlah kayu bakar sebanyak-banyaknya.” “Untuk apa, ya Rasul?” sela ibunda ‘Alqamah. “Aku akan membakar ‘Alqamah.” “Wahai Rasul, dia itu anakku. Hatiku tetap tak tega melihatmu membakar tubuhnya. Apalagi dilakukan di depan mataku sendiri,” rajuk ibunda ‘Alqamah.
“Wahai ibunda ‘Alqamah, azab Allah itu lebih berat dan lebih kekal. Jika kau ingin Allah mengampuninya, maka ridhai dia. Demi Dzat yang menggenggam jiwaku, shalat, puasa, dan sedekah ‘Alqamah tidak ada manfaatnya selama engkau masih murka kepadanya,” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam panjang lebar.
“Wahai Rasulullah, di hadapan Allah, para malaikat-Nya, dan seluruh kaum Muslimin yang hadir, aku bersaksi bahwa aku meridhai anakku ‘Alqamah,” ikrar sang ibunda. Kali ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kembali memerintah Bilal, “Hai Bilal, pergi dan lihatlah ‘Alqamah. Apakah dia sudah bisa mengucap Laa ilaha illallah atau belum? Siapa tahu ibunda Alqamah mengucap sesuatu yang tidak sesuai dengan isi hatinya karena malu kepadaku.” Tak berpikir panjang, Bilal pun menuju rumah ‘Alqamah.
Dari luar rumah, dirinya mendengar ‘Alqamah mengucap Laa ilaha illallah. Setelah itu, Bilal masuk ke dalam rumah dan menyampaikan, “Wahai semua yang hadir, sesungguhnya murka sang ibunda-lah yang membuat lisan ‘Alqamah terhalang mengucap syahadat. Setelah ibunya ridha, barulah lisan ‘Alqamah ringan mengucapnya.” Pada hari itu juga ‘Alqamah menghembuskan nafas terakhir.
Tersiar kabar kematiannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun hadir berta‘ziyah. Beliau memerintah agar jenazahnya segera dimandikan dan dikafani. Usai dikafani, bersama para sahabat, beliau men-shalati jenazahnya.
Pada saat pemakaman, baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di pinggir lubang kubur dan berpidato, “Wahai kaum Muhajirin dan Anshar, siapa saja yang mementingkan istrinya daripada ibunya, maka laknat Allah, para malaikat, dan seluruh manusia untuknya. Allah tidak akan menerima kebaikan dan keadilannya kecuali ia bertobat kepada Allah, memperbaiki sikapnya kepada ibu, dan berusaha mengejar ridhanya. Sesungguhnya ridha Allah berada pada ridha ibu. Murka Allah juga berada pada murka ibu.”
Dari petikan kisah di atas, dapat tarik beberapa pelajaran: 1) ‘Alqamah ialah gambaran seseorang yang mementingkan istri tapi lalai memenuhi hak orangtua; 2) ‘Alqamah seorang yang taat beribadah. Shalat, puasa, dan sedekah, tak luput ditunaikannya. Namun, sikap buruknya pada sang ibunda membuatnya terhalang dan berat mengucap syahadat saat sakaratul maut; 3) Tidak ada manfaatnya amal shalat, puasa, sedekah dan amal baik seseorang jika ia durhaka dan suka melukai hati orangtua kecuali ia bertobat dan perbaiki sikap; 4) Kecintaan seseorang terhadap istri jangan sampai mengabaikan hak orangtua sendiri, terutama ibu; 5) Betapa besarnya kasih sayang seorang ibu. Walau hati sudah tergores luka, ia tetap terbuka memaafkan karena tidak tega melihat anaknya sengsara. Demikian yang tergambar dari sikap ibunda ‘Alqamah. Ia memilih memaafkan ‘Alqamah daripada melihat tubuh anaknya hangus terbakar api; 6) Siksaan akhirat lebih berat dan lebih kekal dibanding siksaan dunia. Siksaan api dunia tak seberapa dibanding siksa api neraka di akhirat. Demikian tutur pesan Rasulullah dikutip dari Kitab al-Kabair karya Syamsuddin Abu ‘Abdillah Adz-Dzahabi (Beirut: Darun Nadwah, hlm 46).
رَبَّنَآ اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَّتَوَفَّنَا مُسْلِمِيْنَࣖ
“Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan matikanlah kami dalam keadaan Muslim (berserah diri kepada-Mu).” (QS Al-A’raf: 126) []