Indonesia dengan ribuan pulaunya menjadikan negeri ini memiliki keragaman suku, bahasa, budaya dan karakter. Ada banyak pulau di negeri ini yang masih belum tersentuh oleh dakwah umat Islam. Dakwah masih berkutat di daerah-daerah yang memiliki kepadatan penduduk, bahkan ada juga yang dakwah melalui media digital.
Penyebaran dakwah yang masih sangat kurang, khususnya di daerah pedalaman, mengusik Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia untuk memberikan solusinya. Maka lembaga dakwah yang didirikan oleh Mohammad Natsir pada 26 Februari 1967 ini menerjunkan diri untuk mengisi ceruk wilayah yang tak banyak disentuh oleh para dai pada umumnya itu.
Berbekal tekad yang kuat, ghirah jihad yang membuncah, mengantarkan kader-kader Dewan Dakwah babat alas menebar Islam Rahmatan lil ‘Aalamiin ke wilayah pedalaman di penjuru pelosok Nusantara. Untuk mengenal lebih jauh kiprah Dewan Dakwah menjalankan misi dakwahnya di daerah pedalaman, wartawan Majalah Gontor Fathurroji NK bersilaturahim ke Kantor Dewan Dakwah di Jakarta untuk wawancara dengan Ketua Bidang Dakwah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Dr Ahmad Misbahul Anam. Berikut petikan wawancaranya:
Apa yang melatarbelakangi berdirinya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia?
Yang melatarbelakangi berdirinya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada 26 Februari 1967 adalah soal keterasingan, ketertinggalan, keterpencilan, kemiskinan, dan kebodohan warga perbatasan yang rawan keselamatan aqidahnya membahayakan keutuhan NKRI. Di antara fungsi Dewan Dakwah yaitu mengawal aqidah dan mendukung keutuhan NKRI. Karena itu, sejak awal Dewan Dakwah didirikan, Pak Natsir Allahu Yarham konsentrasi untuk mengirim dai ke pedalaman.
Bagaimana Dewan Dakwah memerankan aktivitas dakwahnya?
Dewan Dakwah tak bisa lepas dari para tokoh dan kawan-kawannya yang dulu aktif mengawal secara politik di partai Masyumi. Setelah Masyumi membubarkan diri dalam sidang Konstituante maka para tokohnya banyak yang hidup di penjara. Lalu ketika keluar dari penjara tahun 1967 Pak Natsir mengumpulkan kawan-kawannya yang pernah di penjara dan yang ada di luar penjara.
Di mana Pak Natsir mengumpulkan sahabatnya, apa yang dilakukan?
Saat itu berkumpul di Masjid al Munawarah, Tanah Abang,Jakarta. Lalu mereka membuat satu gerakan dakwah dan kemudian dipilih nama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Kalau dulu Masyumi berdakwah melalui jalur politik maka sekarang berpolitik melalui jalur dakwah. Berdakwah di dalamnya tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur politik. Seperti halnya mengkritisi kebijakan yang tidak memihak Islam. Seperti mengkritisi soal kompilasi hukum Islam, kritis terhadap aliran sesat dan lain sebagainya. Jika dalam politik praktis Dewan Dakwah tidak melakukannya.
Lalu apa yang dilakukan untuk membesarkan Dewan Dakwah?
Setelah Pak Natsir keluar dari penjara, teman-teman yang ada di OKI merespon Pak Natsir. Bahkan Raja Faisal menawarkan meminta hadiah apa darinya. Saat itu Arab mulai tumbuh. Pak Natsir meminta hadiah untuk anak-anak kami yaitu para dai di Indonesia. Mulailah Pak Natsir diminta menyiapkan anak-anak yang akan belajar di Timur Tengah.
Untuk menyiapkan kader-kader belajar ke Saudi, apa yang dilakukan?
Untuk mempersiapkan anak-anak didik belajar ke Saudi, Dewan Dakwah mensyaratkan agar mengabdi selama dua tahun di daerah. Hingga tahun 1980-an Saudi membuat kebijakan baru dengan membuka Akademi Bahasa Asing (ABA) yang sekarang berubah menjadi LIPIA. Dai-dai pilihan yang telah mengabdi dua tahun lalu belajar ke Saudi. Tak hanya mengirimkan ke Saudi dan ABA, Dewan Dakwah juga merintis pesantren agrobisnis, Darul Falah.
Selain pesantren, apa yang dilakukan Dewan Dakwah?
Dewan Dakwah juga merintis Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) M Natsir untuk melahirkan generasi unggulan yang siap terjun ke masyarakat. Setelah Pak Natsir wafat, STID membuat perjanjian dengan para calon mahasiswa untuk bisa mengabdi langsung ke masyarakat pedalaman selama 2 tahun. Jika tidak mau, maka ijazah tidak bisa keluar dan mahasiswa mengembalikan beasiswa penuh (full) selama belajar.
Mengapa menarget daerah pedalaman dalam dakwah?
Kami melihat di daerah banyak kekurangan dai, terutama di daerah pedalaman. Dan waktu pengabdian yang hanya satu tahun kami rasa sangat kurang dan tanggung, karena itu pihak kampus menambah masa pengabdian selama dua tahun. Harapannya program yang sudah mulai berjalan selama setahun bisa dilanjutkan secara matang pada tahun kedua. In syaa Allah kalau dua tahun sudah mulai terlihat hasilnya. Kami sering berpesan kepada adik-adik dai yang mau berangkat, dai dikatakan sukses jika bisa menikah dengan orang setempat. Hampir sepertiga dai yang kami kirim melanjutkan tinggal di daerah dakwah karena mendapatkan jodoh di tempat juang.
Selain mengirim dai ke pedalaman, ada program apa lagi?
Selain pengabdian di daerah pedalaman, kami sekarang tengah mencoba pilihan pengabdian di kampung halamannya. Alasannya ketika dikirim ke daerah lain mereka akan kembali ke kampungnya lagi. Padahal sudah sarjana, lalu kembali ke kampung , maka akan jadi beban psikologi bagi adik-adik, dan karena merasa berat akhirnya kembali ke Jakarta lagi. Ini menjadi tantangan kami. Mereka yang mengabdi pulang kampung halaman selama dua tahun, kami back up, rasanya tahun ketiga tidak akan ke mana-mana, karena jaringannya sudah banyak, sumber rejeki juga mulai terlihat. Kita sudah melakukan dua tahun ini.
Apa upaya Dewan Dakwah dalam menyiapkan dai-dai lokal?
Seiring itu kami juga mendirikan Akademi Dakwah Indonesia (ADI). ADI merupakan lembaga pendidikan jenjang D-2 (diploma 2 tahun). Hal ini untuk menjawab kekurangan dai lokal. Karena di STID per tahun meluluskan di bawah angka 200 mahasiwa, jadi belum bisa menjawab secara maksimal kebutuhan di lapangan. Untuk menambah jumlah dai ini maka ADI di daerah akan ikut menyumbangkan dai-dai di daerah. Hingga 2018, sudah berdiri ADI antara lain di Aceh, Sambas Kalbar, Batam Kepri, Metro Lampung, Bandung Jabar, Sukabumi Jabar, Serang Banten, Bukittinggi Sumbar, dan Kupang NTT.
Sekitar 1.200 jejaring dai Dewan Dakwah sudah dikirim sejak era Pak Natsir mengelola ADI. Mereka juga akan melakukan perekrutan untuk memperkuat jaringan di bawahnya. Melalui ADI, kami berharap terbentuk regenerasi dai lokal yang dapat menyesuaikan dengan kultur daerahnya. Para dai terpilih dari berbagai daerah setelah menempuh D-2, mereka dapat mengikuti jenjang S-1 (strata 1 selama 4 tahun) yang diselenggarakan STID Mohammad Natsir.
Sebaran dai Dewan Dakwah ke mana saja?
Wilayah jangkauan dai kami adalah Sumatera, Kalimatan, Sulawesi, Maluku, NTT, NTB. Yang berat tantangannya daerah Indonesia Timur. Beratnya pada apsek lokasi yang susah dijangkau, tapi untuk komunikasi dengan para dai tergolong yang paling mudah. Uniknya dai-dai muda ini, wilayah timur menjadi pilihan meskipun medannya sulit.
Selain berdawah, apa yang mereka lakukan untuk masyarakat?
Para dai selain memberikan dakwah, juga mengajari bagaimana bercocok tanam. Bahkan yang di Seram, Maluku, sukses merintis pondok bahkan berhasil panen raya dari hasil cocok tanam kacang tanah. Karena dipandang sukses akhirnya menggelar panen raya bersama bupati yang meski agamanya non-Muslim. Alhamdulillah hubungan dengan pemerintah daerah juga baik, bahkan kadernya dari daerah Maluku dikirim ke Jakarta untuk belajar di STID. Ini sebenarnya yang kami harapkan putra-putra daerah mau belajar.
Bagaimana untuk wilayah barat?
Tantangan untuk wilayah barat, Sumatera dan Kalimantan, ada pada perbedaan ubudiyah. Ini lebih rumit. Tapi alhamdulillah di lapangan banyak bertemu dengan anak-anak Gontor, Hidayatullah, jadi mereka kerjasama. Kami juga kirim dai ke pulau-pulau kecil, seperti Mentawai. Mereka mengajar anak-anak sekolah hingga sampai kelas tiga. Setelah itu mereka harus menyebrang ke Pulau Sikakap untuk sekolah. Lalu kami mengambil inisiatif membuat pesantren di Sikakap sehingga yang menyebrang bisa berdomisili di pondok. Bahkan setahun lalu kami diberi amanah untuk merintis Aliyah di pondok itu.
Secara garis besar apa tantangan dai Dewan Dakwah?
Secara garis besar tantangan dai di pedalaman adalah aspek penguatan program dai. Dai kita kirim tapi sarana belum ada, baik sekolah, tempat ibadah, dan lain sebagainya. Seperti di Sulteng, Morowali Utara, perjalanan sehari semalam dari kota Morowali. Medan perjalanannya, melewati gunung dan sungai. Di sana ada suku Wana yang takut dengan orang asing. Alhamdulillah 5 tahun lalu teman-teman sudah merintis dan mendekatkan rumah-rumah mereka. Sekitar 52 KK. Mereka kami syahadatkan menjadi Muslim. Pegunungan ini panjang, ini bukan hanya satu titik, masih banyak KK lainnya di sepanjang pegunungan itu. Cuma mereka masih menghindar jika ada orang asing. Di daerah itu kami kirim dai. Dari rintisan itu kemudian ada komunikasi intensif dengan teman-teman anggota legislatif sehingga aspirasi daerah bisa disuarakan. Sekarang sudah mulai ada akses pembangunan ke sana.
Bagaimana perkembangannya sekarang?
Sekarang sudah dirintis masjid yang permanen. Konon kabarnya suku ini dulunya Muslim, orangtuanya tidak tunduk pada penjajah. Ada satu cerita turun-temurun, “Kamu nanti belajarlah kepada orang yang pakai songkok putih, kalau belum ketemu itu jangan belajar.”
Kepala dinas kesehatan juga ikut ke tempat ini untuk program sunatan massal. Bahkan ia baru tahu jika tempat ini ada penghuninya. Akhirnya kami pun mempunyai hubungan yang baik dengan pemerintah daerah.
Sudah berapa dai yang terjun ke daerah pedalaman melalui STID?
Jumlah dai dari Dewan Dakwah yang statusnya terdata di Jakarta sekitar 800 orang. Mereka yang dididik di Jakarta dan dikirim ke daerah. Memang tidak terlalu banyak. Yang banyak peran dari daerah-daerah melalui ADI. Ada dua hal yang kami pastikan pada diri dai, yaitu komitmen dakwah dan akhlak sebagai seorang dai. Komitmen dakwahnya benar-benar kami pastikan ketika perekrutan.
Apa yang menjadi ciri khas dai Dewan Dakwah?
Pak Natsir berpesan, kita kerjakan apa yang orang lain belum kerjakan. Masalah-masalah umat kita yang paling rentan adalah daerah perbatasan, terasing dan terisolir karena pemahaman-pemahaman agama yang tidak memadai dan merebaknya ajaran-ajaran sempalan secara sistemik. Pak Natsir mengatakan kita kerjakan yang belum dikerjakan oleh ormas-ormas yang lain. Kalau Muhammadiyah sudah punya sekolah bahkan sampai perguruan tinggi, dan NU sudah punya banyak pesantren, sementara Dewan Dakwah bergerak di dakwah pedalaman. Dari awal sudah diarahkan ke daerah, berdakwah di lingkungan orang pedalaman. Itu khasnya Dewan Dakwah. []