Baru-baru ini, masyarakat digemparkan oleh kabar dari salah satu perguruan tinggi negeri ternama. Pasalnya, perguruan tinggi tersebut menjadikan pinjaman online (pinjol) sebagai salah satu cara pembayaran UKT (Uang Kuliah Tunggal). Usut punya usut, kebijakan ini muncul atas kesadaran pihak kampus pada fakta tidak semua mahasiswa mampu membayar UKT dengan meminjam ke bank atau cicilan kartu kredit.
Penggunaan pinjol sebagai salah satu pembayaran uang pendidikan sebetulnya sudah bukan hal yang baru. Sebelumnya kampus-kampus di luar negeri seperti University of Bologna di Italia, Oxford University, Cambridge University, dan sebagainya, sudah menggunakan sistem student loan untuk pembayaran biaya pendidikannya. Student loan adalah sistem peminjaman bagi mahasiswa yang pembayarannya dilakukan setelah dia lulus.
Artinya, Indonesia masih menjadikan Barat sebagai kiblat pendidikan. Sekilas skema pembayaran menggunakan pinjol ini terasa seperti angin segar bagi mahasiswa, khususnya bagi mereka kaum medioker. Padahal faktanya, di Amerika, kebijakan student loan ini menimbulkan masalah jangka panjang. Pasalnya, banyak dari mereka yang menggunakan student loan berakhir menghabiskan seumur hidupnya untuk membayar cicilan.
Claude Reed, salah satu contohnya. Dikutip dari The New York Times, wanita berusia 74 tahun ini menghabiskan waktu puluhan tahun untuk melunasi pinjamannya. Bahkan setelah 50 tahun mencicil, dia masih memiliki hutang sebesar 4.600 USD atau sekitar 72 juta rupiah. Di sisi lain, penelitian Federal Reserve Bank of Philadelphia yang dirilis 18 Januari 2024 lalu, menyebutkan bahwa 56% peminjam gagal membayar tagihan student loan secara penuh. Alasan utamanya karena pembayaran yang tidak terjangkau.
Dari kejadian ini, mestinya Indonesia belajar bahwa penerapan student loan bukanlah solusi atas ketidakmampuan mahasiswa membayar biaya pendidikan. Keputusan menerapkan student loan justru semakin menunjukkan kebobrokan negara dalam mengatur sistem pendidikan. Negara terlihat semakin enggan memberikan jaminan pendidikan tinggi. Padahal lewat pendidikan tinggi negara bisa mencetak generasi unggul di masa depan.
Hal ini wajar terjadi apabila suatu negara menganut sistem kapitalis. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak bagi semua rakyat justru akan menjadi “lahan bisnis”. Penggunaan student loan yang terasa seperti memudahkan pun sebetulnya hanya salah satu dari cara pemerintah memberikan jalan bagi pemilik modal untuk mendapatkan keuntungan. Bagaimana tidak, student loan tetap membebankan bunga ke setiap peminjamnya.
Beda ceritanya apabila negara menerapkan hukum dan sistem Islam. Penggunaan student loan jelas tidak akan menjadi solusi karena sifatnya yang ribawi. Islam pun memandang pendidikan tinggi sebagai salah satu bentuk tanggung jawab negara untuk mencerdaskan rakyatnya. Maka, wajib hukumnya bagi negara untuk memfasilitasi seluruh rakyatnya dengan pendidikan berkualitas secara gratis. Seperti apa yang sudah ditegaskan dalam ijma’ shahabat.
Dalam sejarahnya, Islam menggunakan kas negara yang bersumber dari pendapatan untuk menjamin pendidikan rakyatnya. Pendapatan yang diterima pun bukan bersumber dari pinjaman pada negara lain, pajak, dan sebagainya. Pendapatan negara dalam Islam didapatkan dari hasil pengelolaan sumber daya alam seperti tambang, minyak, gas, laut, hutan, dan sebagainya. Pengelolaannya pun tepat guna sesuai syariat.
Penerapan sistem seperti ini pun sudah terbukti dapat mengantarkan umat Islam pada masa-masa keemasannya. Melahirkan generasi unggul dan mampu membangun peradaban yang sangat maju. Adanya fakta ini, mestinya mendorong masyarakat untuk kembali menerapkan kembali hukum-hukum Islam dan berhenti berkaca pada Barat. Kembali kepada syariat dan menerapkan Islam kaffah terbukti dapat menciptakan hubungan ekologis yang tidak merugikan pihak mana pun. []