Mataram, Gontornews — Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Dr. Adian Husaini menanggapi soal Permendikbud Ristek No. 30 mengenai kejahatan seksual dalam kampus. Ia mengatakan bahwa Permendikbud Ristek tersebut memaknai kejahatan seksual jangan hanya saat perbuatan zina tersebut dilakukan dengan tanpa persetujuan korban saja, namun saat perbuatan seks bebas itu dilandasi oleh rasa suka sama suka.
“Itulah cara berpikir yang patut ditinjau kembali,” kata Adian dalam opininya yang dikutip dewandakwah.com.
Adian mencontohkan kasus perzinaan yang melibatkan seorang mahasiswi perguruan tinggi swasta di Jawa Timur yang meninggal bunuh diri akibat tekanan jiwa yang dialami setelah diminta kekasihnya untuk aborsi.
“Berikut ini kutipan berita di suatu media: “Seperti diungkap dalam konferensi pers yang dipimpin Wakapolda Jawa Timur Brigjen Pol Slamet Hadi Supraptoyo di antara Novia Widyasari dengan Bripda Randy sudah berkenalan sejak November 2019 ditemukan juga bukti lain bahwa korban selama pacaran yang terhitung mulai bulan Oktober 2019 sampai 2 Desember 2021. Setelah itu melakukan tindakan aborsi bersama yang dilakukan pada bulan Maret tahun 2020 dan bulan Agustus 2021. Selama pacaran Oktober 2019 sampai dengan bulan Desember 2021 sesudah melakukan tindakan aborsi yang mana dilaksanakan pertama adalah bulan Maret tahun 2020 yang kedua adalah bulan Agustus 2021,” tulis Adian.
Dari contoh kasus tersebut, lanjut Adian adalah contoh nyata perzinaan yang terjadi berlandaskan suka sama suka atau dengan persetujuan antardua pihak. Tidak hanya itu, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa praktik seks bebas di kalangan mahasiswa atau bahkan pelajar saat ini sudah marak, padahal berhubungan badan di luar nikah adalah dosa besar yang sangat dibenci Allah ‘Azza wa Jalla.
Maka, menurutnya tugas para pendidik dan Menteri Pendidikan adalah masalah perzinaan yang memakan korban seperti kasus di atas, sehingga sepatutnya, Permendikbud Ristek No. 30 itu juga harus mencakup tentang kejahatan seksual, baik yang dilakukan dengan kekerasan atau tanpa kekerasan, baik dengan paksaan atau tanpa paksaan.
“Itulah yang disarankan oleh MUI, Muhammadiyah, Majelis Ormas Islam (MOI), dan banyak pakar pendidikan di Indonesia,” jelasnya.
Selain itu, Adian juga menjelaskan bahwa kekerasan seksual marak terjadi di perguruan tinggi di mana mahasiswi menjadi korban iming-iming dosen karena suatu kepentingan, misalnya saja saat mengerjakan skripsi. Agar skripsi berjalan lancar maka dosen akan memanfaatkan kelemahan mahasiswi mereka.
“Tentu saja, dosen yang terbukti melakukan kekerasan seksual seperti itu tidak patut menjadi dosen, dan harus langsung dipecat serta dipidana,” tegasnya.
Islam memandang zina adalah kejahatan yang sangat serius, sehingga hukuman zina begitu berat. Pandangan alam (worldview) Islam itu sangat berbeda dengan worldview sekuler yang memandang zina bukan suatu kejahatan, asalkan dilakukan atas dasar saling persetujuan, dan sama-sama dewasa. Di sinilah tampak perbedaan cara pandang yang mendasar dalam memandang soal kejahatan seksual. Apakah mau menggunakan cara pandang agama atau menggunakan cara pandang bukan agama.[Devi]