Bandung, Gontornews – Bulan Ramadhan baru saja berlalu meninggalkan kita. Rangkaian ibadah sebulan penuh sudah kita laksanakan. Puasa, tarawih, sedekah dan baca Qur’an. Tapi, akankah Ramadhan membekas dalam kehidupan? Bagaimana caranya agar Ramadhan selalu hadir dalam kehidupan?
“Kita mesti senantiasa menjaga ghirah Ramadhan karena bulan ini memiliki banyak keistimewaan,” ujar Prof Dr H Sofyan Sauri, MPd, dalam khutbah shalat Idul Fitri di Masjid Al-Furqan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Senin (2/5).
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung itu menuturkan, dengan ghirah (semangat yang menggebu) kita telah menjalani Ramadhan dihiasi hati yang lapang dan ikhlas. Ghirah ini muncul karena adanya rasa cinta terhadap Ramadhan. “Karena itu, penting kita menjaga ghirah terhadap Ramadhan ini sehingga menjadi insan yang lebih baik dan unggul,” ujarnya pada khutbah bertajuk Ghirah Ramadhan untuk Mewujudkan Insan yang Unggul.
Menurut Prof Sofyan, meski bulan Ramadhan telah meninggalkan kita, tetapi kita harus tetap menjaga ghirah ibadah Ramadhan dalam keseharian, seperti membaca Al-Qur’an, shalat berjamaah di masjid, bersedekah, menahan emosi, serta perbuatan-perbuatan baik lainnya, agar kita menjadi orang terbaik dan unggul di hadapan Allah SWT.
Allah SWT menyebut hamba terbaik-Nya bagi mereka yang melaksanakan puasa Ramadhan sesuai ciri-ciri dalam surat Az-Zariyat ayat 17-19. Pertama, mereka yang sedikit tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). “Sedikit tidurnya manusia baik versi Allah itu, mereka selalu memohon ampun akan segala kekhilafannya,” terang Prof Sofyan.
Kedua, mereka yang memberikan hartanya bagi orang miskin. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS Az-Zariyat ayat 19).
“Dari dua ciri tersebut, hasil akhir yang diharapkan setelah melalui ibadah puasa dan ibadah lainnya di bulan Ramadhan adalah menjadi insan yang bertakwa. Tidak ada takaran atau standar keunggulan manusia yang lebih hebat daripada standar takwa,” paparnya. Karena itu sudah seharusnya kita memperoleh ketakwaan setelah menjalani ibadah berpuasa secara ikhlas dan bahagia.
Lalu, apa ciri-ciri orang yang bertakwa itu? Menurut Prof Sofyan, paling tidak ada lima ciri umum orang-orang bertakwa. Pertama, orang yang dalam hidupnya gemar menginfakkan harta bendanya di jalan Allah, baik dalam keadaan sempit maupun lapang.
Kedua, orang yang mampu mengendalikan serta menahan diri dari sifat amarah. Ketiga, selalu bersifat pemaaf dan tidak pendendam kepada orang lain yang berbuat salah.
Keempat, orang yang tatkala terjerumus pada perbuatan keji dan dosa atau menzalimi diri sendiri, ia segera ingat kepada Allah dan kemudian bertobat, beristighfar, memohon ampunan kepada-Nya atas segala perbuatan dosa yang telah dilakukannya.
Kelima, secara sadar tidak mengulang perbuatan keji dan mungkar yang pernah dilakukan.
Prof Sofyan menyebutkan, bulan Ramadhan adalah bulan sabar di mana kita bersabar menahan rasa lapar, haus, emosi, dan hal yang tidak diperbolehkan lainnya. Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. [QS az-Zumar: 10].
Guru Besar kelahiran Cianjur, 20 April 1956, itu menyebutkan, sabar termasuk salah satu bentuk dari ghirah Ramadhan. Dengan sikap sabar ini, kita diharapkan dapat memiliki sifat-sifat terpuji lain, seperti: Pertama, sikap dermawan, baik dalam kondisi lapang atau dalam kondisi sengsara. Kedua, mampu menahan amarah. Ketiga, sifat pemaaf.
“Berpuasa berarti melatih diri untuk menahan sesuatu yang secara manusiawi sangat diinginkan, tetapi kita melatih diri untuk menahannya, serta tabah terhadap kesengsaraan. Latihan ini dapat membentuk karakter seseorang untuk menjadi tangguh, pejuang dan ulet yang tidak mudah menyerah,” papar dosen Pendidikan Bahasa Arab UPI itu.
Karena itu, kemenangan saat datang lebaran disambut bahagia bagaikan jihad di jalan Allah SWT dengan kumandang takbir “Allahu Akbar”.
Keempat, mampu menahan gejolak hawa nafsu, yang merupakan pendorong seseorang untuk berbuat asusila. “Banyak terjadi kehidupan seks bebas sehingga menimbulkan penyakit menular karena perilaku seks bebas yang menyimpang,” tandas dosen Program Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor itu.
Kelima, puasa dapat mengasah rasa syukur dan merasakan betapa berharganya karunia nikmat-Nya.
Keenam, puasa yang berlaku umum kepada semua umat Islam dapat menjadi pelajaran penting betapa semuanya dapat merasakan kemiskinan dan kekurangan dalam waktu tertentu meskipun di antara mereka berkecukupan.
Ketujuh, puasa dapat mengangkat derajat manusia menuju ketakwaan yang sejati.
Selain itu, lanjutnya, ibadah puasa yang kita laksanakan pada bulan Ramadhan dapat menjadi sarana untuk melatih berbuat jujur. “Jujur merupakan bentuk ghirah Ramadhan yang selanjutnya. Sebab hanya kita sendiri dan Allah SWT yang mengetahui bahwa kita benar-benar berpuasa atau tidak,” ujar pemateri kajian Ahad pagi ba’da Shubuh dari Masjid Al-Falaq, Gegerkalong Tengah, Kota Bandung, itu.
Sejatinya, dampak pelaksanaan Ramadhan, terang Prof Sofyan, membuahkan hati yang bersih agar kita mampu mengubah diri menjadi pribadi yang bertakwa. Meski untuk mencapainya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tingkat takwa membutuhkan proses panjang yang harus ditempuh oleh setiap Muslim. Selain harus melandasi diri dengan keimanan yang benar, juga harus menempuh proses berat sehingga mampu memberikan output yang baik dan mulia.
“Penting bagi kita untuk memperlakukan hati dengan sebaik-baiknya sehingga perbaikan diri, keluarga, masyarakat dan bangsa pasca-Ramadhan dapat kita realisasikan,” katanya.
Hari Raya Idul Fitri merupakan momen bersilaturahmi dan memberi maaf kepada orang lain. Semoga kita menjadi orang yang berjiwa besar untuk mau meminta maaf atau memberi maaf kepada orang lain.[]