Depok, Gontornews — Anak-anak Indonesia tidak terbiasa diajarkan dengan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills) sejak dini. Akibatnya, ketika dewasa mereka tidak bisa berpikir rasional. Muncul tawuran, senang mencontek ketika ujian, gemar menyebar berita bohong (hoax), dan perbuatan tidak terpuji lainnya.
Demikian disampaikan Ketua Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) Institut Agama Islam Sahid (INAIS) Bogor, Tita Hasanah MSi, dalam Webinar “Membangun HOTS (Higher Order Thinking Skills) Bagi Anak Usia Dini”, Sabtu (8/8).
Dalam Webinar yang diadakan oleh Muhammadiyah Mampang Depok bekerjasama dengan Prodi PIAUD INAIS Bogor itu, Tita Hasanah menerangkan tentang pentingnya membiasakan anak usia dini untuk berpikir tingkat tinggi agar anak tidak berperilaku negatif ketika dewasa kelak. “Di sinilah pentingnya membangun komunikasi yang positif antara orangtua atau guru dengan anak,” ujar Tita dalam seminar online melalui aplikasi Zoom yang terkoneksi ke YouTube itu.
Menurut Tita ada empat hal yang mempengaruhi HOTS. Pertama, karakteristik orangtua dan guru. “Orangtua dan guru harus mempunyai kompetensi untuk mengajarkan HOTS, tidak hanya sekedar semangat,” papar magister lulusan IPB itu.
Kedua, gaya pengasuhan. Menurut Tita, orangtua dan guru harus mengembangkan gaya pengasuhan yang lebih otoritatif. “Gaya pengasuhan ini penting untuk mengajarkan HOTS,” terang ibu tiga anak itu.
Ketiga, adanya lingkungan keluarga yang mendukung. Tidak hanya keluarga, HOTS juga membutuhkan lingkungan masyarakat yang mendukung.
Keempat, komunikasi. Membangun HOTS untuk anak usia dini, lanjut Tita, memerlukan komunikasi yang positif antara orangtua atau guru dengan anak. Komunikasi harus berjalan dua arah. “Hilangkan hambatan-hambatan komunikasi antara orangtua atau guru dengan anak. Misal jangan melabel anak-anak dengan sebutan yang negatif,” ujar wanita kelahiran 1976 itu.
Mengutip Resnick (1987), Tita mengatakan HOTS adalah proses berpikir kompleks dalam menguraikan materi, membuat kesimpulan, membangun representasi, menganalisis, dan membangun hubungan dengan melibatkan aktivitas mental yang paling dasar.
Tita menyebutkan, membangun HOTS harus dilakukan secara bertahap. Dimulai dengan tahapan “mengingat”, “memahami”, dan “menerapkan”, anak-anak mesti diajarkan dengan tahapan selanjutnya yaitu “menganalisis”, “mengevaluasi”, dan “mencipta”. Keenam tahapan ini harus diajarkan kepada anak-anak. Namun, sayang dalam praktik pembelajaran untuk anak usia dini, guru seringkali langsung melompat ke tahap keenam yaitu “mencipta”.
“Di TK, misalnya, anak-anak langsung diajarkan ke tahap keenam ‘mencipta’. Akibatnya, kalau menggambar, mereka meniru atau disuruh gurunya. Bukan dari hasil proses pemahaman, menganalisis atau mengevaluasi,” ujarnya dalam Webinar yang dimoderatori oleh Masyiani Mina Laili SPd MSi. []