Jadi sesudah diuji, harus dilihat bagaimana yang menguji, sudah betul apa tidak. Ini ketika ujian lisan. Ketika ujian tahriri dilihat lagi, siapa yang mengawasi, sudah betul apa belum? Jangan-jangan pada ujian lisan itu ada penguji atau guru yang cara bertanyanya sembrono. Di antaranya guru itu bertanya, pertanyaannya sulit, gurunya sendiri tidak bisa menjawab.
Kadang-kadang pertanyaannya sangat sulit, itu asal bertanya saja untuk menjatuhkan mental murid. Padahal, dia sendiri tidak bisa menjawab. Kadang-kadang, caranya bertanya yang sembrono. Lantas ia sebagai guru bertanya dengan nada menjatuhkan, memaksakan kehendak kepada yang diuji. Ini saya hati-hati terus.
Masih di tengah-tengah ujian, saya selalu menyuruh agar ditugaskan beberapa orang guru melihat semua tempat ujian. Baik? Mana yang kurang baik? Di sana. Sudah diingatkan apa belum? Sudah. Di sana belum diingatkan, panggil. Tidak diam, tidak lantas ujian sudah, jadwal sudah diatur, sudah dibagi, sudah selesai tugas. Kalau begitu, saya mau pelesir.
Tidak! Saya tidak berani pelesir keluar kota, keluar Pondok saja saya tidak berani. Cuma yang terakhir ini dalam liburan pertengahan tahun, anak-anak kelas enam sedang diuji. Itu sudah saya serahkan semua kepada guru-guru yang lain, Ustadz Imam Badri (KH Imam Badri—red), Ustadz Shoiman (KH Shoiman Luqmanul Hakim—red), yang banyak berpengalaman saya serahi karena saya mau pergi.
Sebelum ujian selesai, saya sudah datang. Saya yang akan menutup ujian. Jadi dengan kata lain harus serius, memegang pondok ini serius, mententeng terus. Tidak boleh, wah sudah selesai ya sudah. Tidur atau yang lain. Tidak! Saya sekarang memang tidak ada jadwal mengajar, tetapi saya berkewajiban untuk mengumpulkan guru-guru pada hari Kamis.
Itu harus. Mesti kita kumpulkan seperti itu. Kita berikan pengarahan, koreksi, teguran, dan evaluasi kepada guru-guru.
Satu makalah khusus mengenai Zulqarnain yang dibagikan, asalnya untuk kuliah hari Kamis. Sesudah ditimbang ini kok baik dan perlu, maka baru dicetak dan disebarkan karena perlu untuk semua. Ini tugas saya, supaya mengerti. Jadi, mententeng terus.
Ada suatu sekolahan yang maunya baik, model baru, full bahasa Arab. Muridnya mula-mula banyak, dari beberapa penjuru Tanah Air. Jelasnya, sekolah ini ada di kota Solo. Namun, sekolah itu akhirnya bubar. Apa sebab? Yang mendirikan itu dikatakan oleh orang Solo sendiri, “Namung dados mandor mawon.”
Hanya mandori, tidak betul-betul menangani, maunya jadi mandor saja. Akhirnya, ya betul-betul bubar, lalu diserahkan kepada guru-guru. Apalagi di antara guru itu ada yang seenaknya saja. Bagaimana ini? Tidak tahu. Maka kata-kata wal’ashri bisa diterjemahkan demi segala zaman. Innal insane lafi khusrin. Kata al-insan di sini mufrad.
Jadi setiap yang bernama manusia akan mengalami kerugian, lafi khusrin, akan sia-sia hidupnya, sia-sia usahanya, mereka akan gagal, kecuali orang yang beriman. Beriman itu bagaimana? Ya betul-betul punya keyakinan, lillah dalam pekerjaannya. Itu yang diyakini. Wa’amilu, mau bekerja, bukan mau jadi mandor, cari enaknya. Tidak golek enake. Tidak mencari yang enak, yang mudah, tetapi baiknya bagaimana? Wa’amilu ash-shalihat. []