Nice, Gontornews — Setidaknya 80 orang tewas dan 100 lainnya luka-luka di kota selatan Prancis,  Nice,  setelah truk berisi bom melaju menghantam kerumunan yang tengah merayakan libur nasional  Bastille Day, demikian Al Jazeera memberitakan, Jumat (15/7).
Sebuah truk pada Kamis (14/7) melaju dengan kecepatan tinggi di sepanjang jalan yang terkenal sebagai  ‘Promenade des Anglais’  di pinggir laut. Truk menghantam kerumunan massa  yang baru usai menonton pesta kembang api. Penyerang kemudian ditembak oleh polisi.
Serangan saat acara pesta kembang api yang dihadiri ribuan orang berakhir pukul 11.00 waktu setempat. Eric Ciottio, politikus Prancis asal daerah pemilihan Nice, mengatakan truk menabrak kerumunan dari jarak dua kilometer lebih.
Ciotti mengatakan kepada BFM TV, polisi membunuh sopir setelah terjadi tembak-menembak. Dia mengatakan, “truk penuh dengan senjata dan granat”.
Pejabat lokal menggambarkan insiden tersebut sebagai serangan kriminal meskipun sopir itu belum teridentifikasi. Warga kota Mediterania, yang dekat dengan perbatasan Italia, disarankan untuk tinggal di dalam rumah.
Jurnalis Nice Matin Damien Allemand, yang berada di tepi sungai mengatakan, “Pesta kembang api telah selesai dan orang banyak itu bangkit untuk pergi ketika mereka mendengar suara jeritan. Sepersekian detik kemudian, sebuah truk putih yang sangat besar melaju dengan kecepatan tinggi, memutar roda untuk mencapai jumlah maksimum orang,” katanya.
“Saya melihat mayat terbang seperti bowling pin di sepanjang rute jalanan. Terdengar suara jeritan tangis.”
Allemand, bersama dengan beberapa orang lain, berlindung di restoran terdekat. Dia terus mendengar orang-orang berteriak mencari anggota keluarga yang hilang. Dia memberanikan diri keluar dan melihat mayat, darah dan bagian tubuh manusia berceceran sepanjang jalan. “Malam itu penuh horor,” ujar Allemand.
Badan intelijen Prancis dan polisi sedang menyelidiki kasus ini. Kantor Kejaksaan Paris membuka penyelidikan untuk pembunuhan atau percobaan pembunuhan oleh kelompok terorganisir terkait dengan terorisme.
Presiden Prancis Francois Hollande yang berada di selatan Prancis pada saat serangan, segera bergegas kembali ke Paris ke Pusat Krisis Nasional. Dia mengatakan, keadaan darurat yang diberlakukan setelah Paris mengalami serangan bulan November lalu, tidak akan diperpanjang bila situasi gawat itu berakhir 26 Juli.
Hampir persis delapan bulan lalu, tepatnya pada 13 November 2015, serangan  terkait dengan ISIS menewaskan 130 orang di Paris. Serangan ini  paling berdarah di Prancis dan Belgia selama dua tahun terakhir.
Hollande mengatakan kepada wartawan, “Kita tidak bisa memperpanjang keadaan darurat tanpa batas waktu. Tapi itu tidak masuk akal. Itu berarti kita tidak lagi hidup dalam republik dengan aturan hukum yang diterapkan di segala situasi.” [Fathurroji/Rus]