Landasan Teologis
فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ
Jika mereka berpaling (dari keimanan), katakanlah (Nabi Muhammad), “Cukuplah Allah bagiku. Tidak ada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan pemilik ‘Arasy (singgasana) yang agung.” (QS At-Taubah: 129)
Interpretasi Para Mufasir
Dalam Tafsir Al-Muyassar disebutkan, maka apabila kaum musyrikin dan orang-orang munafik tetap berpaling dari keimanan kepadamu (wahai Rasul), maka katakanlah kepada mereka, ”Cukuplah Allah bagiku, Dia akan memenuhi apa yang menjadi cita-citaku, tiada Tuhan yang berhak di sembah kecuali Dia, kepada-Nyalah aku bergantung. Dan kepada-Nya aku serahkan seluruh urusanku, sesungguhnya Dia penolong dan yang akan membantuku. Dia Rabb pemilik ‘Arsy yang agung yang merupakan makhluk yang paling besar.”
Dalam Tafsir Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an disebutkan, dalam ayat ini disebutkan meraih hal yang bermanfaat dan menghindarkan hal-hal yang mudarat.
Disebutkan ‘Arsy secara khusus, karena ia merupakan makhluk Allah yang paling besar.
Sedangkan dalam Tafsir as-Sa’di disebutkan, jika mereka beriman maka itu taufik untuk mereka dan jika mereka berpaling dari keimanan dan amal, maka tetaplah berjalan di atas jalanmu, teruslah berdakwah dan katakan, “Cukuplah Allah bagiku.” Yakni Allah yang mencukupiku segala apa yang aku perlukan.
“Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia.” Yakni, tiada yang disembah dengan benar selain-Nya.
“Hanya kepada-Nya aku bertawakal.” Yakni aku bersandar dan percaya kepada-Nya dalam meraih apa yang bermanfaat dan menolak apa yang mudarat.
“Dan Dia Rabb yang memiliki Arsy yang agung,” yang merupakan makhluk terbesar, jika Dia Rabb bagi Arasy yang agung yang meliputi seluruh makhluk, maka Dia pasti Rabb bagi makhluk selainnya.
Nilai-nilai Pendidikan
QS At-Taubah: 129 mengandung nilai-nilai pendidikan buat manusia. Pertama, mendidik hamba-Nya agar menguatkan keimanan dan ketauhidan kepada Allah.
Kedua, mendidik hamba-Nya agar senantiasa meminta pertolongan kepada Allah dalam segala urusan.
Ketiga, mendidik hamba-Nya agar meningkatkan rasa mahabbah kepada Allah SWT dengan bertawakal dan memohon ampun atas kekhilafannya.
Keempat, mengajarkan hamba-Nya agar berakhlak mulia dengan tidak berputus asa, menjaga kesatuan dan persatuan. Senang berdzikir, tafakur, tadabbur dan tasyakur.
Makna Tafakur, Tadabbur, dan Tasyakur
Akar kata tafakur adalah fakara – yafkiru – fakran – tafakkuran yang mengandung arti merenung, berpikir, dan mengamati. Tafakur dapat diartikan sebagai kegiatan merenung, berpikir, ataupun mengenang berbagai macam fenomena yang terjadi di alam semesta. Baik itu dari suatu kejadian ataupun dari suatu pengalaman inderawi.
Keutamaan tafakur membuat seseorang semakin mengenal Allah. Orang yang gemar bertafakur akan mengetahui betapa besar kekuasaan Allah, sehingga timbul rasa cinta sekaligus takut kepada Allah. Inilah yang kemudian mendorong seseorang semakin bertakwa kepada-Nya.
Para ulama mengatakan bahwa tafakur itu ibarat pelita hati, sehingga dapat terlihat baik dan buruk maupun manfaat dan mudarat dari segala sesuatu. Allah SWT berfirman:
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ ١٩٠الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka. (QS Ali Imran : 190-191)
Tadabbur mengandung arti memahami, menghayati, atapun memikirkan.
Al-Alusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma’ani menjelaskan, pada dasarnya tadabbur berarti memikirkan secara mendalam kesudahan sesuatu urusan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Tadabbur ada dua macam, yaitu:
Tadabbur alam merupakan sarana pembelajaran untuk lebih mengenal Allah SWT yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya.
Tadabbur Al-Qur’an bermakna suatu usaha untuk memikirkan, menghayati, dan memahami setiap ayat di dalam Al-Qur’an. Para ulama menjelaskannya sebagai kegiatan merenungkan lafal-lafal Al-Qur’an hingga sampai pada kandungan-kandungan maknanya.
Sedangkan tasyakur berarti mensyukuri nikmat-nikmat yang Allah berikan. Kemampuan untuk mentasyakuri nikmat Allah merupakan buah dari aktivitas tafakur dan tadabbur seseorang.
Menurut para ulama, bersyukur kepada Allah berarti mengakui dan menunjukkan adanya nikmat Allah dalam dirinya. Bersyukur bisa diungkapkan dengan lisan maupun lewat hati.
Dengan bersyukur, orang akan dengan lapang dada dan ikhlas menerima apa yang terjadi.
Dengan rajin bertafakur, bertadabbur, dan bertasyakur setiap Muslim akan memperoleh kebahagiaan dan ketenangan dalam hidupnya.
Syekh Nawawi Al-Bantani menyebutkan lima jenis tafakur dari mayoritas ulama, sebagai berikut:
Pertama, tafakur dalam rangka merenungi ayat-ayat Allah. Dalam tafakur ini, seseorang harus bertawajuh dan meyakininya.
Kedua, tafakur dalam rangka merenungi nikmat-nikmat Allah. Tafakur ini dapat melahirkan mahabbah atau cinta pada diri seseorang kepada-Nya.
Ketiga, tafakur dalam rangka merenungi janji-janji Allah. Tafakur ini dapat menyalakan atau menambah semangat beramal shalih di hati seseorang.
Keempat, tafakur dalam rangka merenungi peringatan Allah. Tafakur ini dapat melahirkan rasa takut di hati seseorang kepada (siksa)-Nya.
Kelima, tafakur dalam rangka merenungi kelalaian diri dalam menjalankan perintah-Nya. Tafakur ini dapat menumbuhkan rasa malu di hati seseorang.
Syekh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam-nya menyebutkan: “Salah satu tanda kematian batin yaitu ketiadaan rasa sedih pada dirimu atas perbuatan taat yang luput dan ketiadaan rasa sesal atas kesalahan yang kaulakukan.”
Bencana terbesar dalam hidup bermula disebabkan tidak merasa cukup bersama Allah SWT. Awal dari semua ketangguhan dan martabat kehormatan merasa cukup bersama Allah SWT.
Umur yang Allah berikan kepada kita tidak ada satu orangpun yang mengetahui berapa lama lagi umur kita hidup di dunia ini karena hal tersebut merupakan hak Allah kepada setiap makhluk-Nya. Salah satu upaya yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan dan merawat kualitas iman yaitu dengan tafakur, tadabbur dan tasyakur.
Kita harus memanfaatkan usia yang telah Allah berikan dengan sebaik-baiknya karena usia umat Nabi Muhammad SAWW sekitar 60 sampai 70 tahun.
Rasulullah SAW bersabda:
أَعْمَارُ أمَّتِـي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذلِكَ
“Umur-umur umatku antara 60 hingga 70, dan sedikit dari mereka yang melebihi itu.” (HR At-Tirmidzi)
Janganlah kita terperangkap oleh dunia yang fana sehingga tidak memanfaatkan usia yang diberikan Allah.
Rasulullah SAW bersabda:
وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: {كُنْ فِى الدُّنْيَا كَأنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْعَابِر سَبِيْلٍ وَعُدَّ نَفْسَكَ مِنْ أَهْلِ الْقُبُوْرِ}“
Dari Ibnu ‘Umar RA, Rasulullah SAW bersabda: “Jadilah di dunia seperti kamu mengembara atau berjuang di jalan Allah dan anggaplah dirimu (termasuk) dari ahli kubur.” (HR Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah)
Banyak orang yang menghabiskan waktu malam dan siang mereka dengan bergelimang dalam kemaksiatan dan melanggar perintah-perintah Allah. Karena ia telah menjadi budak syahwat, hawa nafsu dan setan yang menggoda dan menyeretnya ke dalam kesesatan, kemaksiatan. Dua realita inilah yang diisyaratkan dalam hadis Abu Malik al-Haris al-Asy‘ari RA, ia berkata:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: اَلطُّهُوْرُ شَطْرُ اْلإِيْمَانِ، وَالْحَمْدُ ِللهِ تَمْلَأُ الْمِيْزَانَ، وَسُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ ِللهِ تَمْلَأۤنِ (أَوْ تَمْلَأُ) مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، وَالصَّلاَةُ نُوْرٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالْقُرْءَانُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْعَلَيْكَ. كُلُّ النَّاسِ يَغْدُوْ، فَبَائِعٌ نَفْسَهُ، فَمُعْتِقُهَا أَوْمُوْبِقُهَا (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
Rasulullah SAW bersabda: “Bersuci itu bagian dari iman, ucapan Alhamdulillâh memperberat timbangan (kebaikan), ucapan Subhanallah dan ucapan Alhamdulillah memenuhi ruangan antara langit dan bumi, shalat adalah nur (cahaya), shadaqah adalah burhan “bukti nyata”, sabar adalah pelita dan Al-Qur’an adalah “hujjah” argumen yang membela atau menuntutmu. Semua orang berusaha. Ia pertaruhkan (menjual) dirinya. Apakah ia akan membebaskan dirinya ataupun menghancurkannya.” (HR Muslim, Hadis No. 223)
Sebagai umat Islam hendaknya dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi hari penghakiman tersebut. Setidaknya ada beberapa perkara yang akan dipertanyakan kala di akhirat nanti maka kita bisa memperbaikinya dengan menghisab lebih awal di dunia. Rasulullah SAW bersabda:
لَا تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ جَسَدِهِ فِيْمَا أَبْلَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ فِيْهِ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ (رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالتِّرْمِذِيُّ)
Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak dari tempat hisabnya pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai empat hal: (1) umurnya, untuk apakah ia habiskan, (2) jasadnya, untuk apakah ia gunakan, (3) ilmunya, apakah telah ia amalkan, (4) hartanya, dari mana ia peroleh dan dalam hal apa ia belanjakan. (HR Ibnu Hibban dan at-Tirmidzi)
Cara Manfaatkan Sisa Usia
Lalu bagaimana cara memanfaatkan sisa usia dengan tafakur, tadabbur, dan tasyakur dalam meningkatkan keimanan dan ketakwaan? Pertama, memberikan hak bagi mata untuk beribadah. Rasulullah SAW bersabda:
أَعْطُوْا أَعْيُنَكُمْ حَظَّهَا مِنَ الْعِبَادَةِ. قَالُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَمَاحَظُّهَا مِنَ الْعِبَادَةِ؟ قَالَ النَّظْرُ فَي الْمُصْحَفِ وَالتَّفَكُّرُ فِيْهِ وَالْإِعْتِبَارُ عِنْدَ عَجَائِبِهِ
“Berikanlah hak mata untuk beribadah. Para sahabat lalu bertanya, ‘Apakah ibadah bagian mata itu?’ Nabi menjawab, ‘Melihat (membaca) Al-Qur’an dan memikir isinya serta ambillah pelajaran dari keajaiban isi Al-Qur’an.’” (HR Zaid bin Aslam)
Kedua, senantiasa bersyukur atas segala nikmat. Allah SWT berfirman:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.” (QS Ibrahim: 7)
Ketiga, senantiasa memperhatikan kebesaran Allah pada diri sendiri. Allah SWT berfirman:
وَفِيْٓ اَنْفُسِكُمْۗ اَفَلَا تُبْصِرُوْنَ
(Begitu juga ada tanda-tanda kebesaran-Nya) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memperhatikan? (QS Adz-Dzariyat: 21)
Keempat, memperbaiki amalan. Rasulullah SAW bersabda:
يَا رَسُولَ اللهِ مَنْ خَيْرُ النَّاسِ قَالَ : مَنْ طَالَ عُمرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ
’’Wahai Rasulullah, siapakah sebaik-baik manusia? Beliau menjawab: Orang yang panjang umurnya dan baik amalannya.” (HR Tirmidzi)
Kelima, banyak menyebut Allah dan nikmat-Nya. Allah SWT berfirman:
وَاَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْࣖ
Terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur). (QS Ad-Dhuha: 11)
Keenam, bekerja dengan baik karena Allah. Allah SWT berfirman:
اِعْمَلُوْٓا اٰلَ دَاوٗدَ شُكْرًاۗ وَقَلِيْلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ
Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur. Sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang banyak bersyukur. (QS Saba: 13)
Kisah Teladan
Abu Darda’ merupakan ahli hikmah yang besar di zamannya. Ia sosok yang telah dikuasai oleh kerinduan yang amat besar untuk melihat hakikat dan menemukannya. Ia menyerahkan diri secara bulat kepada Allah, berada di jalan lurus hingga mencapai tingkat kebenaran yang teguh. Pernah ibunya ditanyai orang tentang amalan yang sangat disenangi Abu Darda’. Sang ibu menjawab, “Tafakur dan mengambil i’tibar (pelajaran).”
Pada saat memeluk Islam dan berbaiat pada Rasulullah SAW, Abu Darda’ merupakan seorang saudagar kaya yang berhasil di antara para saudagar Kota Madinah. Sebelum memeluk Islam, ia telah menghabiskan sebagian besar umurnya dalam perniagaan, bahkan sampai Rasulullah dan kaum Muslimin lainnya hijrah ke Madinah. Tidak lama setelah memeluk Islam, kehidupannya berbalik arah.
Abu Darda’ sangat terkesan hingga mengakar ke dasar jiwanya dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi bantahan terhadap, “Orang yang mengumpul-ngumpulkan harta dan menghitung-hitungnya.” (QS Al-Humazah: 2-3).
Ia juga sangat terkesan sabda Rasulullah SAW, “Yang sedikit mencukupi, lebih baik daripada yang banyak namun merugikan.”
Oleh sebab itulah, ia kerap menangisi mereka yang jatuh menjadi tawanan harta kekayaan. “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hati yang bercabang-cabang.”
Orang-orang bertanya, “Apakah yang dimaksud dengan hati yang bercabang-cabang itu?”
“Memiliki harta benda di setiap lembah!” jawabnya. Ia mengimbau manusia untuk memiliki dunia tanpa terikat padanya. Itulah cara pemilikan hakiki. Adapun keinginan hendak menguasainya secara serakah, takkan pernah ada kesudahannya. Maka yang demikian merupakan seburuk-buruk corak penghambaan diri.
Saat itu ia juga berkata, “Barangsiapa yang tidak pernah merasa puas terhadap dunia, maka tak ada dunia baginya.”
Bagi Abu Darda’, harta hanyalah alat bagi kehidupan yang bersahaja dan sederhana, tidak lebih. Berpijak dari sini, maka manusia hendaknya mengusahakannya dengan cara yang halal, dan mendapatkannya secara sopan dan sederhana, bukan dengan kerakusan dan mati-matian. “Jangan kau makan kecuali yang baik. Jangan kau usahakan kecuali yang baik. Dan jangan kau masukkan ke rumahmu kecuali yang baik!”
Menurut keyakinannya, dunia dan seluruh isinya hanya semata-mata pinjaman dan menjadi jembatan untuk menyeberang menuju kehidupan yang abadi.
Pada suatu hari, para sahabat menjenguknya ketika ia sakit. Mereka mendapatinya terbaring di atas hamparan dari kulit. Mereka menawarkan kepadanya agar kulit itu diganti dengan kasur yang lebih baik dan empuk.
Tawaran ini dijawabnya sambil memberi isyarat dengan telunjuknya, sedangkan kedua bola matanya menatap jauh ke depan.
“Kampung kita nun jauh di sana, untuknya kita mengumpulkan bekal. Dan ke sana kita akan kembali. Kita akan berangkat kepadanya dan beramal untuk bekal di sana.”
اَللّهُمَّ اجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِيْ فِي كُلِّ خَيْرٍ وَالْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ
“Ya Allah, jadikanlah kehidupan ini sebagai nilai tambah bagiku dalam semua kebaikan, dan jadikanlah kematian sebagai peristirahatan bagiku dari segala kejahatan.” (HR Muslim) []