Ada yang berbeda dalam pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan tahun ini terutama saat dunia dijangkiti wabah COVID-19. Meski demikian, puasa di bulan Ramadhan tetaplah ibadah fardu ‘ain bagi setiap muslim di seluruh dunia. Puasa tetaplah ibadah menahan diri dari makan, minum dan segala hal yang membatalkannya. Kerenanya, puasa tetaplah ibadah yang memiliki tujuan dan maksud kemaslahatan bagi manusia.
Salah seorang ulama yang fokus dalam membahas tujuan dan maksud ibadah puasa adalah Izzuddin Abdussalām (Wafat 660). Ulama berjuluk Sulṭānul ‘Ulama itu menjelaskan tujuan-tujuan puasa dalam 10 pembahasan. Secara praktis, para ulama klasik dan kontemporer sespakat bahwa maqāṣīd sharī’ah bertujuan untuk kemaslahatan dan menghilangkan kerusakan (mafsadah).
Di awal pembahasan, Izzuddin Abdussalam menejlaskan bahwa puasa menjauhi manusia dari api neraka. Puasa, sambungnya, berfungsi sebagai penggugur dosa dan mendorong seseorang untuk menjadi pribadi bertakwa. Faidah lain dari ibadah puasa adalah meningkatnya derajat seseorang, menutupi kesalahan-kesalahan, melimpahkan keta’atan, meningkatkan level kesyukuran seorang hamba, menghilangkan syahwat hawa nafsu serta menahan diri dari perbuatan maksiat.
Secara khusus, Izuddin Abdusalam mencatat 3 poin penting ibadah puasa di masa COVID-19 seperti saat ini. Pertama, puasa menghilangkan syahwat hawa nafsu seseorang. Menurutnya, rasa lapar dn haus menghilangkan hawa nafsu maksiat seseorang. Imbasnya, perilaku-perilaku seseorang cenderung membaik dibandingkan saat mereka tidak dalam kondisi berpuasa.
Puasa juga menjadi cara ampuh mengunci diri, atau lockdown, dari segala bentuk larangan Allah swt yang bersumber dari hawa nafsu. Dengan puasa, seseorang mampu bertahan untuk tidak makan-minum dan berkata tidk baik dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Pun kebijakan #DiRumahAja yang digaungkan pemerintah membuat seorang muslim bisa berfokus pada ibadah-ibadah sunnah seperti memperbanyak tadaruss hingga mengikuti kajia keislaman berbasis daring atau online.
Kedua, berpuasa dapat meningkatkan aktifitas sedekah atau social finance. Dalam kondisi lapar, orang yang berpuasa akan mengingat apa saja yang dimilikinya. Saat itu pula, mereka mengajak khalayak ramai untuk memberikan makanan kepada orang yang membutuhkan. Ibrah yang diberikan Nabi Sulaiman dan Nabi Yusuf ‘Alayhimassalam yang memilih unuk tidak makan sebelum rakyatnya makan dapat dijadikan acuan. Keduanya lebih takut menjadi sosok yang kenyang sehingga melupakan rakyatnya yang kelaparan.
Dalam situasi COVID-19 seperti saat ini, rasa empati seorang muslim yang berpuasa akan bermunculan. Muslim yang muhsin akan dengan ikhlas menginfakkan zakat, infak, sodaqoh dan wakaf bagi masyarakat yang terdampak COVID-19. Dalam benak mereka, harta yang mereka keluarkan di bulan Ramadhan akan berlipat ganda berbeda dengan perbuatan serupa di bulan yang berbeda.
Ketiga, rasa syukur. Izzuddin Abdussalam menjelaskan bahwa rasa kenyang dan kenikmatan dalam berpuasa merupakan bagian dari nikmat Allah yang tak terhitung jumlahnya. Kenikmatan ini akan hilang dikala seorang muslim tidak mampu memanfaatkannya dengan seksama.
Karenanya, Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Minhājul ‘ābidin, menjelaskan bahwa kesyukuran merupakan satu dari tujuh kunci kesuksesan seseorang hidup di dunia. Kondisi ‘jaga jarak’ antar warga, minimnya interaksi fisik antar masyarakat serta hampir hilangnya ibadah shalat tarawih berjama’ah di masjid sudah tentu membuat Ramadhan tahun ini berbeda dengan ramadhan di tahun-tahun sebelumnya. Dalam kondisi ‘aneh’ seperti saat ini, bersyukur menjadi salah satu ikhtiyar agar mendapatkan kenikmatan serta keridhoan Allah swt di bulan Ramadhan.
Salah satu bentuk bersyukur yang bisa kita lakukan adalah berbagi dengan masyarakat sekitar. Sebut saja berbagi makanan-minuman berbuka untuk sesama. Sementar ibadah shalat jama’ah dan tarawih bisa dilakukan berjama’ah dari rumah. Semuanya dibangun dengan maskud menuju kualitas takwa paripurna sebagaimana dijanjikan Allah swt dalam Surat Al-Baqarah 183.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah [2]: 183). Wallahu A’lam bi al-ṣawab!