Ada tiga kesalahan besar bagi para penghafal Al-Qur’an. Selain kurang memahami keutamaan Al-Qur’an, beberapa kesalahan penghafal Al-Qur’an lainnya yakni dimulai dari perkara hati.
Meski hidup mengalami perubahan, substansi Al-Qur’an tetap seperti dulu. Kemurniannya dijaga oleh Allah (Al-Hijr: 9). Sejarah pembukuan Al-Qur’an dibagi ke dalam tiga fase, yaitu masa Rasulullah, khalifah Abu Bakar, dan masa Utsman bin Affan. Ketiga masa memiliki perkembangan masing-masing agar Al-Qur’an semakin mudah dibaca dan dihayati umat Islam.
Dengan keterbatasannya karena tidak dapat membaca dan menulis, setiap Rasulullah SAW mendapatkan wahyu, beliau langsung menyampaikannya kepada para sahabat. Adapun Sahabat yang ditunjuk untuk menuliskan Al-Qur’an yakni Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan, dan Ubay bin Kaab.
Saat itu, belum terkumpul menjadi satu mushaf, karena tidak ada faktor pendorong dalam membukukan Al-Qur’an, mengingat Rasulullah SAW masih hidup dan para sahabat juga menghafal. Alasan lain, karena Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur atau bertahap.
Pada masa ini banyak sahabat penghafal Al-Qur’an syahid karena ikut berperang. Maka, Utsman bin Affan mulai risau dan memikirkan masa depan Al-Qur’an. Kemudian berdialog dengan Khalifah Abu Bakar untuk pengumpulan kembali Al-Qur’an. Akhirnya, beliau meminta Zaid ibn Tsabit untuk mengumpulkan kembali dan menuliskan Al-Qur’an agar menjadi lembaran yang dapat disatukan.
Pada masa Khalifah Utsman proses memperbanyak mushaf terus digalakkan. Ia menunjuk Zaid sebagai ketuanya dengan anggota-anggotanya Abdullah bin Zubair, Said ibnu Ash, dan Abdurahman bin Harits. Sejak itu mushaf Al Qur’an tersebut dinamai mushaf al Imam atau lebih dikenal dengan mushaf Utsmani, karena disalin pada masa khalifah Utsman bin Affan. Lalu lahirlah para penghafal Al-Qur’an untuk menjaga kemurnian kalam Ilahi ini.
Ustadz Adi Hidayat menyampaikan beberapa keutamaan menjadi penghafal Al-Qur’an. Di antaranya secara singkat yaitu mereka akan memberikan keberkahan bagi dirinya dan lingkungan sekitarnya.
Allah SWT juga akan mengangkat kehormatan orangtua dari anak-anaknya yang menghafal Al-Qur’an. Allah juga akan menjaga jasad para penghafal Al-Qur’an tetap utuh dalam kubur hingga hari kiamat tiba.
Ustadz Adi juga menjelaskan Allah SWT membuka seluruh pintu surga bagi para penghafal Al-Qur’an. Kemudian memanggil seluruh anggota keluarga mereka untuk berbondong-bondong masuk ke dalamnya.
Namun tak semua penghafal Al-Qur’an akan mendapatkan kemuliaan tersebut. Menurut Ustadz Adi, para penghafal Al-Qur’an terbagi menjadi tiga jenis, pertama penghafal Al-Qur’an yang zalim dalam perilakunya. Ia mampu menghafal Al-Qur’an bahkan membacanya dengan benar sesuai dengan kaidah, tetapi perilakunya menyimpang dari Al-Qur’an.
“Penghafal Al-Qur’an yang zalim ini menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Seperti ada orang yang hafal qul huwallahu ahad, dia hafal suratnya sempurna membacanya cuma sayang tidak digunakan dalam hidupnya, lisannya bisa mengucapkan semua agama itu sama,” tuturnya.
Kedua, penghafal yang belum bisa mengamalkan Al-Qur’an yang dihafalnya untuk kemaslahatan umat. Dia sebatas menghafal dan mengambil manfaatnya bagi diri sendiri.
Sementara jenis penghafal Al-Qur’an yang ketiga, yakni orang yang mampu menghafal Al-Qur’an dan menyegerakan untuk melaksanakan setiap ayat yang dihafalnya dalam kehidupan sehari-hari. Inilah jenis penghafal Al-Qur’an yang sejatinya akan mendapatkan kemuliaan tadi.
“Walaupun dia belum hafal 30 juz, tapi dengan cepat dia melaksanakan setiap yang telah dihafalnya dalam kehidupan,” tuturnya.
Sementara itu Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Dakwah, KH Muhammad Cholil Nafis, Ph.D mengatakan, penghafal Al-Qur’an akan memiliki banyak godaan yang akan dihadapi di masa yang akan datang.
“Kelak mereka bisa menjadi ulama, cendekiawan, dokter, arsitek dan lain-lain. Di era sekarang ini banyak godaan bagi pembawa misi Al-Qur’an dan pejuang agama Islam,” ujarnya.
Kiai Cholil menyebut, godaan pertama menghadapi arus pemikiran. Karena, pemikiran yang menghantui ajaran Islam saat ini terdapat ekstrimisme, baik yang pemikiran terlalu ke kanan ataupun terlalu ke kiri. “Karena tidak memahami Islam dengan benar sehingga tak bisa menjadi umat yang wasathi maka muncullah Muslim liberal dan Muslim radikal,” ucapnya.
Pemikir liberal yang terlalu ke kiri seringkali merasa pintar, sehingga salah dalam memahami ayat Al-Qur’an. Sementara, pemikir radikal yang ke kanan-kananan memiliki pemahaman literalis dan tekstualis, sehingga tak jarang mengafirkan yang lain. “Itulah yang menjadi tantangan pertama bagi penghafal Al-Qur’an,” ujarnya.
Tantangan kedua, yaitu terkait dengan persoalan ekonomi. “Ekonomi yang melilit dalam kehidupan seseorang kadang menjadi lupa dengan Al-Qur’an yang telah dihafalnya. Harapannya bagi para penghafal Al-Qur’an agar dapat memilih profesi yang seiring dengan kewajiban menjaga Al-Qur’an di qalbunya,” katanya.
Tantangan ketiga yaitu tantangan politik. Menurut dia, politik juga menjadi tantangan bahkan hambatan bagi pejuang Islam dan penghafal Al-Qur’an. Karena, kesibukan berorganisasi dan berpolitik kerap melalaikan tujuan awal perjuangan.
Awalnya hanya untuk mengimbangi dinamika sosial, tapi selanjutnya kadang terhanyut iming-iming politik yang bertolak belakang dengan misi perjuangan yang ada di Al-Qur’an. “Tak terkecuali penghafal Al-Qur’an menjadi lupa untuk menjaganya bahkan kadang lengah untuk mengamalkannya,” ujar Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah Depok ini.
Ustadzah Nabilah Abdul Rahim Bayan, MA, Juri Hafidz Indonesia, menjelaskan ada tiga kesalahan besar bagi para penghafal Al-Qur’an. Selain kurang memahami keutamaan Al-Qur’an, beberapa kesalahan penghafal Al-Qur’an lainnya yakni dimulai dari perkara hati.
“Maka, pastikan niatnya mempelajari Al-Qur’an semata-mata untuk mencari ridha Allah SWT,” tekan ustadzah kelahiran Mekkah tersebut.
Ketika Allah sudah mengizinkan kita untuk membuka Al-Qur’an, membacanya, bahkan menghafalkannya, itu rezeki yang besar bukti kasih sayang Allah untuk kita. Untuk menjadi temannya Al-Qur’an, itu bukan hal yang mudah. “Karena setan pasti akan menggoda kita,” tambah Pimpinan Pondok Pesantren Ibnu Syam itu.
Kesalahan kedua yaitu menghafal Al-Qur’an hanya untuk dipuji bukan untuk mencari ridha Allah. “Perkara niat ini kita jangan menyepelekannya dan harus selalu diingatkan kembali, alasan terbesar kenapa kita harus menghafal Al-Qur’an,” tegasnya.
Kesalahan berikutnya harus diperhatikan ialah dosa. Pengaruh dosa kepada para penghafal ini luar biasa. Bagi ahlul Qur’an sangat penting untuk menjaga perilakunya, adabnya, bahkan salah satu contoh yakni tertawa terbahak-bahak saja tidak dibolehkan, tidak seperti orang lain.
Masalah niat juga menjadi perhatian hafidz Al-Qur’an, Muzammil Hasballah, sebab untuk menghafal Al-Qur’an yang dibutuhkan pertama kali niat yang lurus. “Yang harus ada itu niat yang lurus lillahi ta’ala dan ikhlas, selebihnya soal teknis,” ujarnya dalam sebuah acara belum lama ini.
Dia mengatakan harus ada kemauan dalam diri seseorang ketika ingin menghafal Al-Qur’an. Jangan melakukannya hanya untuk mengikuti tren. Menurut dia, tidak sedikit hafidz yang menyangka dirinya akan menjadi penghafal Al-Qur’an.
Menurut Muzammil, niat menghafal Al-Qur’an hendaknya ditujukan untuk menjaga Kalamullah yang mulia. Allah SWT dapat menjaga Al-Qur’an dengan atau tanpa manusia. Muzammil mengatakan hal tersebut sesuai dengan Surah al-Hijr ayat 9 yang memiliki arti, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”[]