Oleh Dedi Junaedi, Redaktur Majalah Gontor
Di luar dugaan, Donald Trump berhasil meraih suara terbanyak dalam Pemilihan Presiden AS. Dia mengalahkan Hilary Clinton dengan dengan rasio 288:215. Kemenangan capres Partai Republik ini mengejutkan banyak pihak. Termasuk banyak lembaga survei yang sebelumnya mengunggulkan Hilary, capres Partai Demokrat.
Sejumlah pemimpin negara secara diplomatis menyampaikan ucapan selamat atas terpilihnya pengusaha real estate itu. Meski begitu, tersirat juga rasa keterkejutan dan kekhawatiran mereka. Bahkan, Presiden Rusia, Vladimir Putin, yang sebelumnya cenderung Capres Republik, menyatakan: “Hubungan AS dan Rusia ke depan bakal menjadi jalan yang tidak mudah.”
Pascakemenangan Trump perekonomian dunia sempat bergolak. Pasar saham di Asia dan Eropa menurun tajam. Nilai dolar melemah, dan harga emas melonjak. Tema kampanye yang cenderung ultrakonservatif, prokulit putih, anti-imigran Amerika Latin dan anti-Islam membuat banyak pihak khawatir. Termasuk dunia Islam dan masyarakat Muslim.
Ketua Council of American Islamic Relations (CAIR) cabang Kansas, Moussa Elbayoumi mengatakan, Muslim tidak bisa mengesampingkan isi kampanye Trump. Menurutnya, bagaimanapun, Trump bisa menang salah satunya karena sentimen anti-Muslim dan antiimigran. Elbayoumi meminta agar Trump menghormati konstitusi AS dan nilai-nilai yang dibangun di negeri liberal tersebut.
Yang berbahaya dari Trump, menurut Imam Islamic Center New York, Shamsi Ali, adalah pandangannya soal komunitas Muslim sebagai sumber radikalisme dan terorisme. Dia menyebut retorika kampanye Trum sangat menyakiti komunitas Muslim dan kelompok minoritas lainnya.
Memang, banyak ungkapan Donald Trump tendensius dan provokatif. Desember 2011, dalam wawancara dengan The Brody File, dia mengatakan: “Saya jelas bukan ahli Islam. Tapi, Al-Qur’an mengandung ajaran-ajaran yang sangat negatif.” November 2015, dalam wawancara dengan MSNBC, dia menyatakan kebenciannya. “Menutup masjid-masjid, saya benci melakukannya. Tapi, itu sangat layak dipertimbangkan.” Dan, sebulan kemudian, dalam siaran pers kampanyenya, Trump menyampaikan, “Pelarangan total buat Muslim memasuki AS hingga perwakilan kita tahu apa yang terjadi.”
Tahun 2016, Donald Trump kembali menyatakan sikap anti-Islam. Kepada CNN, Maret 2016, dia berkata, “Saya pikir Islam membenci kita. Sulit memisahkan Islam dengan radikalisme karena kau tak tahu siapa yang menganut apa?” Dan dua bulan sebelum waktu pemilihan, saat bertemu PM Israel Benjamin Netanyahu, dia menjanjikan akan mengakui Yerusalem sebagai Ibukota Israel yang tak terpisahkan.
Singkatnya, seperti ungkapan Muhammad Sigit Andi Rahman, Ketua Asosiasi Mahasiswwa Muslim (MSA) Cabang Old Dominion University seperti dikutip Republika, “Trump menjadi personifikasi Islamophobia di Amerika.” Maka, tak aneh, jika hampir semua Muslim kompak berharap agar Trump tak terpilih menjadi Presiden AS setelah Obama.
Atas dasar itu, kemenangan Trump tentu saja menjadi mimpi buruk bagi komunitas Muslim di Amerika dan dunia Islam pada umumnya. Daniel Cooper, pengamat politik dari Lone Star College di Houson menyampaikan pendapat bahwa terpilihnyaa Trump kemungkinan hanya menyulitkan Muslim di Timur Tengah. “Hubungan antara Indonesia dan Amerika juga menjadi kurang pasti.”
Muslim di Amerika tampak gamang merespon kemenangan politisi gaek itu. Sebagian bersikap pasrah dengan keadaan. Sejumlah Muslim lainnya menunjukkan ketakutan dan kekhawatiran. Terutama terkait rencana Presiden AS ke-45 yang ingin melarang Muslim masuk AS.
Kekhawatiran menguatnya Islamophobia di AS tidak berlebihan. Belum lagi Trump dilantik, sentimen anti-Islam di sana merebak. Pintu mushalla Universitas New York dirusak dengan aksi vandalisme berupa coretan bertuliskan kata Trump! Coretan sepupa terlihat di fasilitas Himpunan Mahasiswa Tandon School of Engineering di Brooklyn.
Harian Independent dan New York Daily News melaporkan, aksi perampokan dan pelecehan terjadi di tempat lain. Wakil Presiden Asosiasi Mahasiswa Muslim, Sana Maya (21), menyebut seorang Muslim di San Diego State University dirampok dan mobilnya ikut dibawa lari. Sementara, di San Jose State University, seorang Muslimah dipaksa lepas jilbabnya. Tindakan anarkis serupa juga terjadi di Albuquerque, New Mexico, dan Universitas Kansas. Mereka diintimidasi untuk menanggalkan jilbab.
Mendapat laporan tersebut, Presiden Mahasiswa Asosiasi Muslim, Zoya Kahn, meminta pihak berwenang segera bertindak untuk menghentikan vandalisme dan sikap diskriminatif terhadap komunitas Muslim di AS. Khan berharap pihak Trump dan Partai Republik mau turun tangan untuk menjaga kebebasan publik. Pimpinan CAIR juga sudah menyampaikan harapan dan himbauan kepada pemenang pilpres.
Ketua CAIR cabang Kansas, Moussa Elbayoumi, berharap Presiden AS yang baru dapat mengesampingkan masalah rasial, agama, juga latar belakang nasional. Jika presiden baru gagal untuk menjalankannya, Elbayoumi mengatakan, CAIR akan teguh membela kebebasan sipil warga AS, termasuk Muslim.
Menanggapi harapan itu, Ketua Partai Republik Virginia John Whitbeck menjamin partainya menjunjung tinggi kebebasan beragama. ‘’Partai Republik akan menghormati kebebasan beragama. Percayalah, Trump akan menjadi presiden untuk semua warga. Kami juga menolak larangan Muslim masuk AS,” tegasnya.
Pemimpin Koalisi Muslim Republik, Saba Ahmed, meminta kaum Muslim melupakann semua omongan negatif Trump. “Muslim AS harus lebih proaktif dan punya strategi untuk berangkulan dengan Republik,” pungkasnya seperti dikutip Aljazirah (10/11).
Profesor Basil al-Qudwa dari Al Huda University di Houston percaya Trump tidak akan mengancam Muslim. Apalagi, sikap ultrakonservatif Trump juga kini banyak ditentang warga dan komunitas pecinta HAM.