Jakarta, Gontornews — Pemahaman agama terutama Islam semakin dipromosikan banyak orang di seluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun penyebarannya bermula dari jazirah Arab, namun kini agama Islam telah menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk di negeri Sakura, Jepang. Adalah jumlah Muslim yang tinggal di Jepang, meskipun kecil namun telah meningkat lebih dari dua kali lipat dalam dekade terakhir, dari 110.000 pada 2010 menjadi 230.000 pada akhir 2019 (termasuk 50.000 mualaf Jepang), menurut Tanada Hirofumi dari Universitas Waseda seperti dikutip economist.com (09/01/2021)
Berbeda dengan masa lalu yang mana untuk menjadi Muslim di Jepang kurang disambut baik, dalam beberapa tahun terakhir, warga Jepang menjadi lebih menerima dalam hal pemahaman agama atau budaya yang berbeda dari mereka. Dikutip Republika, pertumbuhan pesat populasi Muslim di Jepang antara lain didorong oleh beberapa faktor berikut. Pertama, karena faktor pernikahan dimana sekitar setengah dari Muslim yang menetap di Jepang berstatus sudah menikah. Dengan pernikahan ini Jepang di masa depan akan memiliki lebih banyak Muslim generasi kedua dan seterusnya. Melalui Muslim generasi baru ini akan dihadapkan dengan latar belakang budaya dan sosial yang beragam dan akan menjadi kunci untuk menjembatani masyarakat tradisional Jepang dengan komunitas Muslim.
Kedua, karena pertumbuhan ekonomi, orang-orang dari negara mayoritas Muslim seperti Iran, Pakistan, Indonesia, Bangladesh, dan lainnya datang ke Jepang untuk bekerja. Dari imigran Muslim yang datang untuk bekerja tersebut kemudian membuat masuknya pemagang dan pekerja lainnya, yang tidak hanya menambah populasi tetapi juga mengakibatkan peningkatan jumlah masjid di seluruh Jepang.
Ketiga, menjamurnya masjid sebagaimana diberitakan economist.com, di negeri sakura ini ada lebih dari 110 masjid. Ditambah masuknya imigran Muslim sebagaimana diberitakan Republika, masjid-masjid tersebut memiliki sejumlah fungsi komunitas termasuk memberikan kesempatan bagi non Muslim Jepang untuk bersosialisasi dan belajar agama. Keempat, Islamofobia bahwa persepsi anti-Islam di seluruh dunia berdampak pada peningkatan umat Islam di Jepang. Orang-orang menjadi penasaran dan ingin tahu bagaimana salah satu agama besar di seluruh dunia telah memicu kekerasan atau tidak. Kelima, tingkat perpindahan agama yang rendah. Perpindahan agama relatif rendah di masyarakat Muslim dan hal yang sama berlaku untuk Muslim Jepang.
Kendati pertumbuhan jumlah Muslim di Jepang cukup menggembirakan. Namun sayang hampir tidak ada kuburan bagi mereka untuk dimakamkan sesuai dengan keyakinan agama mereka. Karena hanya ada tujuh lokasi pemakaman Muslim di seantero negeri Sakura, salah satunya di Yoichi, Hokkaido. Apalagi bagi imigran Muslim yang menetap di Jepang, jika pun ingin memakamkan orang terkasihnya di negara asal, tentu membutuhkan biaya, waktu yang tidak sedikit. “Sangat butuh banyak biaya, waktu dan usaha untuk dimakamkan di negara asal saya, dan itu sungguh tidak realistis,” kata pria asal Pakistan berusia 57 tahun yang namanya disamarkan sebagaimana dilansir the Japan Times pada Ahad (02/08).
Jika pun hendak dimakamkan di Jepang, jenazah dimakamkan di tempat yang tidak dekat dari tempat tinggal. Karena tidak semua daerah menyediakan pemakaman Muslim. Salah satunya di Tohuku atau daerah lain di Chugoku, yang belum menyediakan pemakaman Muslim. Karenanya jenazah sering kali dibawa ke makam yang jauh. “Ini bisa saja merusak jenazah atau berakibat biaya transportasi yang tinggi,” ujar Direktur Jenderal Japan Islamic Trust, Qureshi Haroon.
Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang menyebutkan, tak ada aturan resmi untuk pemakaman di Jepang. Pemda setempat lah yang mengatur soal pemakaman. Dalam hal ini beberapa otoritas kota memiliki peraturan yang melarang penguburan, tetapi Hiji tidak memiliki larangan penguburan terkait pemakaman lokal. Selama Wali Kota Hirofumi Honda memberikan izin, pemakaman untuk umat Islam dapat dibangun.
Asosiasi Muslim Beppu, sebuah lembaga keagamaan yang telah berupaya membangun pemakaman Muslim pertama di Kyushu dengan membeli sebidang tanah sekitar 8.000 meter persegi di Kota Prefektur Hiji pada Desember 2018. Tanah yang dibeli tersebut letaknya di daerah pegunungan sekitar tiga kilometer dari pemukiman terdekat dari rumah dan ladang, dan berdampingan dengan kuburan yang memungkinkan untuk interniran umum dan pemakaman Katolik. “Saya pikir kami akan mampu menyelesaikan masalah ini,” kata Tahir Khan (53) perwakilan asosiasi kepada Mainichi Shimbun.
Namun dalam rapat penjelasan yang digelar dari Februari-Mei 2020 di sejumlah wilayah setempat, penyelenggara menghadapi kendala. Seperti dikutip Republika dan Mainichi.jp di antara komentar-komentar miring yang menentang pembangunan pemakaman tersebut adalah “Jika ada gempa bumi yang kuat, apakah mayat-mayat itu tidak akan keluar dari tanah?” dan “Itu akan merusak citra kota ini.”
Hiji memang memiliki peraturan yang meminta penduduk untuk membuat pertimbangan agar tidak menimbulkan kekhawatiran terhadap sanitasi, tetapi bagian kehidupan dan lingkungan pemerintah kota telah mengambil sikap bahwa situs yang diusulkan tidak memiliki masalah terkait kesehatan masyarakat.
Tahir Khan, perwakilan dari asosiasi Muslim Beppu mengungkapkan keputusasaannya terkait sulitnya pemakaman ini. “Saya khawatir apa yang akan terjadi pada kita setelah kita mati. Jika terus seperti ini kita tidak akan bisa berduka atas kematian kita. Dahulu kala di Jepang merupakan hal biasa untuk dimakamkan. Kami ingin Jepang lebih toleran terhadap agama dan budaya yang berbeda,”jelasnya.
Peraturan daerah tidak membutuhkan persetujuan warga. Ditanya apakah akan memberikan izin, Walikota Honda menyatakan pihaknya tengah memeriksa dokumen yang diserahkan oleh asosiasi. “Kami akan membuat keputusan yang sesuai dengan peraturan kota dan pedoman pemerintah nasional,” ungkapnya dikutip mainichi.jp (28/10/2020)
Terkait sulitnya pemakaman bagi umat Muslim, Profesor kehormatan Universitas Waseda, Hirofumi Tanada memandang pemerintah Jepang perlu mengakomodasi kebutuhan penduduk dari berbagai latar belakang agama. Karena Jepang sendiri sudah memudahkan aturan imigrasi sejak April lalu demi menerima tenaga kerja asing. “Masalah terkait pemakaman (Muslim) hanya salah satu contoh saja,” sebut pria yang akrab dengan komunitas Muslim itu.
Sementara Yoko Nagae, seorang profesor di Universitas Seitoku dan pakar budaya pemakaman, mengatakan, tampaknya ada ketidaknyamanan tentang gagasan pemakaman di Jepang, tetapi bagi umat Islam, kuburan penting. Dalam kasus Prefektur Oita, penyelenggara telah memilih tanah yang tidak menimbulkan masalah kesehatan masyarakat, dan terletak di pegunungan di mana penduduk setempat tidak akan diganggu. “Keragaman budaya pemakaman untuk hidup berdampingan, kita harus memperdalam pemahaman kita satu sama lain dan bergerak maju,”jelasnya.