Depok, Gontornews – Formulasi konsep pidana Islam dalam legislasi nasional perlu dilakukan untuk mendorong akselerasi pemberantasan korupsi di Indonesia, kata Dr Harun Al Rasyid SH MHum CFE di Depok, Kamis (23/6).
Dalam bedah buku Fiqih Korupsi, Analisis Politik Uang di Indonesia Dalam Perspekif Maqashid As-Syariah yang diselenggarakan Kantor Arsip dan Perpustakaan Depok, penyelidik KPK tersebut  berpendapat bahwa operasi tangkap tangan dan pembuktian terbalik punya banyak keterbatasan dalam menindak kasus-kasus korupsi di tanah air.
OTT mungkin bagus untuk shock teraphy. Sementara pembuktian terbalik juga punya keterbatasan. ‘’Kini orang kian pandai menyembunyikn kekayaannya. Mereka bisa dapat menyembunyikannya dengan berbagai cara hingga nyaris tak terdeteksi,’’ jelas doktor hukum pidana Islam dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sebagai Muslim,  Harun Al Rasyid punya keyakinan bahwa hukum pidana Islam bisa menjadi solusi. ‘’Hukum potong tangan, bahkan hukum mati untuk koruptor dapat membuat orang jera melakukan korupsi atau politik uang. Maka, formalisasi hukum pidana Islam sudah saatnya masuk legislasi nasional,’’ jelas alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang ini.
‘’Korea dan Cina saja berani menerapkan hukum yang tegas untuk koruptor, mengapa Indonesia tidak berani,†tegasnya dalam diskusi yang dimoderatori oleh Ir Dedi Junaedi MSI, dosen ekonomi Islam Institut Agama Islam (INAIS) Bogor dan redaktur majalah Gontor.
Dalam diskusi yang dibuka Kepala Kantor Arsip dan Perpustakaan Kota Depok, Siti Chaerijah Aurijah SPd MM, dan hadiri oleh lebih 90 pejabat dan masyarakat Depok, mantan investigator Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengupas aneka bentuk politik uang di Indonesia dan  menganalisisnya dalam perpektif maqashid syariah, serta  strategi pencegahan politik uang  di Indonesia.
Harun Al Raysid, alumni Ponpes Tahfidz Qur’an Assa’idiyah Sampang, Madura, menjelaskan bahwa politik uang dalam bentuk suap atau rishwah terjadi jika memenuhi empat unsur, yaitu niat, pemberian uang, penerimaan uang, dan tujuan perbuatan untuk memenuhi kehendak/keinginan penyuap. Suap terjadi karena keinginan untuk memenangkan persaingan, yakni mengalahkan yang hak dan mengukuhkan yang batil.
Menurut dosen tidak tetap Universitas Muhammadiyah Malang ini, setidaknya  15 macam praktik politik uang yang biasa terjadi di Indonesia. Mulai dari upaya pemenangan perkara di pengadilan, pengurusan perkara di kejaksaan, kepolisian, pemenangan pilkada/pileg/pelpres, rekruitmen CPNS, perizinan, fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan, relasi bawasan-atasan, aparat pemeriksa keuangan dan pajak, jatah konsesi sda, alokasi impor/ekspor komoditas penting, penerimaan siswa/mahasiswa di lembaga unggulan, kenaikan tingkat/jabatan di lingkup lembaga pemerintah, dan gratifikasi.
Menurut Islam, tambahnya, suap atau politik uang jelas bertentangan dengan tujuan penegakkan syariah (maqashid syariah), yakni penegakkan maslahah dalam penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan, harta, dan kehormatan diri.
Dalam perspektif maqashid syariah, jelas suami  Siti Nur Faizatul Laily dan ayah tujuh anak ini,  politik uang  dapat membawa sembilan  kemudaratan. Yaitu, menghalangi keadilan, hilangnya harta benda tanpa hak, hilangnya kejujuran, melahirkan sikap pesimis, menyuburkan korupsi, merusak persaingan, menumbuhkan jiwa kerdil dan pemalas, melemahkan hak/kesempatan,  serta menyebabkan hilang dan berkurangnya kualitas SDM.
Untuk mengatasi aneka politik uang tersebut, penyelidik KPK ini menawarkan delapan jalan strategi pencegahan. Yaitu, formulasi konsep pidana Islam dalam legislasi, menjaga nilai antipolitik uang, meluruskan pemahaman agama, menjaga konsistensi penegakan hukum, dekontruksi budaya politik uang, meningkatkan kesejahteraan pegawai, meningkatkan fungsi kontrol, tranparansi dan akuntabilitas, serta membentuk hukum Islam yang progresif.
Pada saat yang sama, alumni Hukum Pidana Pascasarjana Unibraw ini menyampaikan saran: meningkatkan iman takwa melalui penyucian dan penguatan jiwa mulai pribadi, masyarakat, lingkungan dan pemerintah; kemudian melakukan terobosan kurikulum pendidikan antikorupsi di sekolah dan PT, pembinaan dan pengawasan penegak hukum, serta partisipasi aktif dari cendikawan dan alim ulama untuk terus berijtihad memperbarui akidah dan pemahaman syariah untuk menolak justifikasi politik uang.[Dedi Junaedi]