اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS Al-Hujurat: 10)
Asbabunnuzul
Dalam riwayat Ibnu Jarir yang bersumber dari Al-Hasan menjelaskan ayat ini turun karena perkelahian dua suku yaitu kelompok Aus dan Khazraj. Kejadian ini dimulai ketika Rasulullah SAW yang mengendarai keledai melewati Abdullah bin Ubay Ibnu Salul yang sedang duduk dan berkumpul dengan rekan-rekannya.
Saat itu keledai Rasulullah buang air, lalu Abdullah yang merupakan tokoh kaum munafikin berkata, “Lepaskan keledaimu karena baunya sangat mengganggu kami.” Sahabat Nabi, Abdullah Ibn Rawahah, menegur Abdullah sambil berkata, “Demi Allah, bau air seni keledai lebih wangi dari minyak wangimu.” Maka terjadilah pertengkaran yang mengundang kehadiran kaum masing-masing. Saat kedua kelompok saling memukul dengan pelepah kurma, sandal dan tangan, mereka semua dipanggil ke pengadilan tapi membangkang. Kemudian Allah menurunkan ayat ini sebagai peringatan kepada orang-orang yang bertengkar agar segera damai.
Interpretasi Para Mufasir
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya makna “Innamal mu’minuuna ikhwatun” yaitu semua orang itu bersaudara, terutama yang seagama. Ia juga menjelaskan bahwa pertikaian, peperangan antarkaum Mukmin merupakan bentuk kezaliman atau aniaya, dan diibaratkan tubuh yang sedang sakit.
Rasulullah SAW bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ ، لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ
“Orang Muslim itu saudara Muslim lainnya. Ia tidak boleh berbuat aniaya terhadapnya dan tidak boleh pula menjerumuskannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Rasulullah SAW juga bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ، تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهْرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan saling berlemah-lembut di antara mereka seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota badan sakit, maka semua anggota badannya juga merasa demam dan tidak bisa tidur.” (HR Bukhari dan Muslim)
Menurut Al-Maraghi ayat ini menerangkan bahwa orang Muslim merupakan saudara Muslim yang lainnya. Jadi tidak boleh saling menzalimi, memburukkan, mencela dan memperpanjang masalah.
Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Tafsir Al Munir menjelaskan, melalui Surat Al Hujurat ayat 10 ini, Allah SWT menegaskan bahwa orang-orang Mukmin merupakan saudara seagama. Mereka disatukan oleh satu prinsip yaitu iman. Maka wajib bagi mereka mendamaikan dua orang yang berselisih.
Imam Al-Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya, “Tali ikatan persaudaraan seagama lebih kuat daripada ikatan persaudaraan nasab. Sebab ikatan persaudaraan nasab terputus karena berbeda agama sedangkan ikatan persaudaraan seagama tidak akan terputus karena berbeda nasab.”
Tafsir ayat menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Asy Syawi, sebagai berikut:
Makna “Sesungguhnya orang-orang Mukmin bersaudara” ini menunjukkan sebuah perjanjian yang ditunaikan Allah dengan sesama orang-orang beriman. Siapa pun orang yang berada di belahan timur maupun barat yang beriman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, rasul-Nya, serta beriman kepada hari akhir, maka mereka saudara orang-orang yang beriman. Maka dari itu apabila terjadi perpecahan di antara sesama Muslim yang bisa menyebabkan perpecahan, maka hendaklah kaum Mukmin yang lain mendamaikan saudara-saudaranya.
Makna “supaya kamu mendapat Rahmat,” ini menunjukkan bahwa kebaikan dunia dan akhirat pun diperoleh oleh orang-orang yang mendamaikan saudaranya yang berselisih.
Intisari ayat ini menurut Sayyid Qutb dalam Tafsir fi Zilalil Qur’an yaitu sentuhan atas hati orang-orang beriman agar menghidupkan ikatan yang kuat di antara mereka. Ayat ini merupakan pengingat bagi orang-orang yang beriman agar terus merawat persaudaraan. Hal ini merupakan bagian dari ketakwaan kepada Allah agar memperoleh rahmat-Nya.
Sayyid Qutb menekankan, rasa cinta, perdamaian, kerjasama dan persatuan harus menjadi landasan utama masyarakat Muslim.
Imam Imad Zuhair Hafidz menandaskan dalam Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah bahwa ayat ini mengandung dorongan untuk melakukan perdamaian.
Nilai-nilai Pedagogi
QS Al-Hujurat: 10 mengandung sejumlah nilai pedagogi. Pertama, mendidik hamba-Nya agar bertakwa kepada Allah dan menjaga tali persaudaraan.
Kedua, mengajarkan hamba-Nya agar menciptakan perdamaian, kesatuan, persatuan, dan menjauhi permusuhan yang mendatangkan Rahmat-Nya.
Ketiga, mendidik hamba-Nya agar menjadi insan yang memperhatikan saudaranya dalam suka dan duka.
Keempat, mendidik hamba-Nya agar menerapkan akhlak mulia dengan membangun ikatan ukhuwah Islamiyah, Insaniyah, dan wathaniah dengan silaturahmi dan halal bihalal.
Makna Ukhuwah
Menurut Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam Mufadrat Alfazhil Qur’an, ukhuwah secara etimologi berasal dari kata akhun yang artinya “berserikat dengan yang lain, karena kelahiran dari dua belah pihak, atau salah satunya atau karena persusuan.”
Secara terminologi, ukhuwah Islamiyah adalah jalinan persaudaraan yang didasari oleh keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan bahwa orang-orang Mukmin bersaudara meskipun berbeda-beda suku bangsa, adat, warna kulit, dan tingkat sosial ekonominya.
Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (QS Al-Hujurat: 13)
Macam-macam Ukhuwah
Ada beragam ukhuwah. Pertama, Ukhuwah Islamiyah. Ukhuwah Islamiyah adalah persaudaraan dengan berlandaskan nilai keislaman dan diikat oleh akidah tauhid (laa ilaha illallah, muhammadur rasulullah). Perbedaan bangsa, suku, adat istiadat, dan warna kulit tidak menjadi halangan untuk tetap menjalin persaudaraan.
Kedua, Ukhuwah Wathaniah. Ini persaudaraan karena tanah air, tempat kelahiran, tanah tumpah darah, atau kampung halaman. Ukhuwah jenis ini berarti menganggap seseorang sebagai saudara sebangsa tanpa memandang agama dan suku.
Ketiga, Ukhuwah Insaniyah. Persaudaraan yang cakupannya lebih luas, yaitu antarsesama umat manusia di seluruh dunia. Ukhuwah Insaniyah meminta syarat ketulusan, kejujuran, tenggang rasa, saling menerima, dengan syarat ketulusan, gentleman, kejujuran, keterbukaan, simpati dan empati sebagaimana yang terkandung dalam perintah Allah SWT.
Makna, Sejarah, dan Esensi Halal Bihalal
Secara bahasa, halal bihalal terdiri dari dua kata, yaitu halal dan bihalal yang secara harfiah mempunyai pengertian halal dengan halal, halal dibalas dengan halal, ridha dibalas dengan ridha, rela dibalas dengan rela, maaf dibalas dengan maaf. Arti halal bihalal umumnya dilakukan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan oleh sekelompok orang.
Arti halal bihalal bertujuan menghormati sesama manusia, dalam bingkai silaturahmi. Halal bihalal menjadi kesempatan bagi individu untuk mengakui kesalahan mereka, meminta maaf kepada orang-orang yang mungkin telah terluka dan memulai lembaran baru dengan hati yang tulus. Halal bihalal juga mengingatkan kita tentang nilai-nilai luhur seperti kesederhanaan, kerendahan hati, dan rasa syukur.
Secara historis, kronologi istilah halal bihalal muncul di tengah-tengah masyarakat. Pertama, fase sebelum gagasan yang dimunculkan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. “Setelah melihat beberapa manuskrip kuno, seperti babad Cirebon, Demak, Pasai, dan Jawa, sebenarnya kegiatan halal bihalal sudah terjadi pada abad ke-15, yaitu pada masa Walisongo. Waktu itu Walisongo memanfaatkan ritual Dharma Sunya bagi pemeluk Kapitayan. Setahun sekali mereka punya tradisi saling menghilangkan kesalahan.”
Fase kedua muncul pada abad ke-18 (tahun 1900-an). Diceritakan, dalam babad Cirebon, Raja Arya Mangkunegara I (nama lahir Raden Mas Said) pendiri Kadipaten Mangkunegaran Surakarta, Jawa Tengah, mentradisikan sungkeman. Di sana para prajurit berkumpul di balai, kemudian sowan pada raja dan permaisuri yang terjadi setelah Idul Fitri.
Di awal abad ke-20 awal, dokumen majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 5 tahun 1924 menyebutkan bahwa orang dulu menggunakan istilah halal bahalal. Dalam riwayat lain, seorang penjual martabak asal India yang mempromosikan dagangannya di sekitar Taman Sriwedari Solo (tahun 1935-1936) dengan menyebut martabak semakin lebar alias halal bihalal. Dokumen ini ditemukan dalam catatan sejarah. Namun yang menjadi patokan yaitu gagasan yang disampaikan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah pada tahun 1948 di kala Presiden Soekarno meminta solusi padanya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi pada elite politik di pemerintahan.
Sowan yang dilakukan Bung Karno itu membuahkan jalan keluar, yakni diselesaikan dengan silaturahim. Hanya saja istilah itu sudah lumrah dikenal masyarakat. Akhirnya, sambungnya, KH Abdul Wahab menggantinya dengan istilah baru yakni halal bihalal. “Para elite politik yang tak mau bersatu dikumpulkan dalam suatu meja supaya mereka tidak punya dosa atau harus dihalalkan dosanya. Hingga kini cerita legendaris ini dikenal oleh masyarakat luas,” ujarnya.
Gagasan KH Abdul Wahab menjadi dua argumentasi ilmiah. Pertama, adanya thalabu halal li thariqi halal. Maksudnya, menyelesaikan masalah dalam sebuah keharmonisan dengan cara mengampuni sebuah kesalahan. Kedua, membedakan kesalahan yang dibalas dengan kebebasan atau memaafkan. Makanya saat lebaran, warga menggunakan istilah kosong-kosong. Jadi esensi halal bihalal adalah memberikan maaf pada orang lain.
Halal bihalal berarti menyelesaikan problem, kesulitan, meluruskan benang kusut, dan mencairkan sesuatu yang beku. Jadi, halal bihalal dikonotasikan pada kegiatan silaturrahim atau saling memaafkan.
Halal bihalal bukan sekedar ritual keagamaan, tapi menyangkut kemanusiaan. Karena silaturrahim berasal dari dua kata, yaitu silah bermakna positif dan rahim bermakna kasih sayang.
Allah SWT berfirman:
وَلَا يَأْتَلِ اُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ اَنْ يُّؤْتُوْٓا اُولِى الْقُرْبٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَالْمُهٰجِرِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِۖ وَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْاۗ اَلَا تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَكُمْۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan (rezeki) di antara kamu bersumpah (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(-nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Nuur: 22)
Makna dan Keutamaan Silaturahmi
Secara bahasa, silaturahmi dalam bahasa asalnya, yaitu bahasa Arab terdiri dari dua kata, silah yang artinya pemberian atau hubungan yang menyambungkan antara dua orang atau bahkan lebih.
Kemudian yang perlu dipertegas bahwa ‘rahmi’ dengan ‘rahim’ merujuk kepada kantong selaput dalam perut seorang ibu di mana janin dikandung selama kurang lebih sembilan bulan. Sehingga dapat dimaknai bahwa tali persaudaraan dalam silaturahmi berlaku pada saudara yang memiliki hubungan nasab.
Silaturahmi sendiri biasa diartikan oleh para ulama sebagai perbuatan baik kepada para kerabat, baik dengan harta atau bantuan atau kunjungan atau bahkan hanya dengan ucapan salam.
Mereka yang menyambung silaturahmi akan dipanjangkan umurnya oleh Allah, diluaskan rezekinya dan diselamatkan dari kematian yang buruk.
Nabi SAW bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أنْ يَمُدَّ اللهُ في عُمُرِه وَيُوَسِّعَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ وَيَدْفَعَ عَنْهُ مِيْتَةَ السُّوْءِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ (رَوَاهُ الْحَاكِمُ فِي الْمُسْتَدْرَكِ)
“Barangsiapa menginginkan dipanjangkan umurnya, diluaskan rezekinya, dan diselamatkan dari kematian yang buruk oleh Allah, maka hendaklah ia sambung tali silaturahim dengan kerabatnya.” (HR Al-Hakim dalam al-Mustadrak).
Lalu bagaimana cara merajut ikatan ukhuwah Islamiyah, Insaniyah, dan wathaniah melalui halal bi halal dan silaturahmi? Pertama, jangan bercerai berai. Allah ST berfirman:
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا ۖوَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَا ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ
“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” (QS Ali-Imran: 103)
Kedua, mencintai saudaranya. Rasulullah SAW bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah sempurna keimanan seorang kamu sehingga ia mencintai bagi saudaranya apa-apa yang dia cintai bagi dirinya sendiri (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ad-Darimi)
Ketiga, saling menghargai, saling menolong, dan saling melindungi. Rasulullah SAW bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Muslim adalalah saudara Muslim yang lainnya, jangan saling menganiaya dan saling menghina. Barangsiapa membantu memenuhi kebutuhan saudaranya, niscaya Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa memberi jalan kemudahan bagi saudaranya, niscaya Allah akan membukakan pintu kemudahan baginya. Dan barangsiapa menutupi aib saudaranya, niscaya Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat.” (HR Bukhari, Tirmidzi, Abu dawud, dan Ahmad)
Keempat, tidak memandang rupa dan harta. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak memandang rupa dan harta kalian, tetapi Dia memandang hati dan amal perbuatan kalian.” (HR Muslim)
Kelima, tidak berselisih pendapat. Allah SWT berfirman:
وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلَا يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَۙ
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat).” (QS Hud: 118)
Keenam, mencintai tanah air, menjaga kerukunan dan pertahanan negara. Rasulullah SAW bersabda:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ حُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ، فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ المَدِينَةِ، أَوْضَعَ رَاحِلَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا»
“Ketika Rasulullah hendak datang dari bepergian, beliau mempercepat jalannya kendaraan yang ditunggangi setelah melihat dinding kota Madinah. Bahkan beliau sampai menggerak-gerakkan binatang yang dikendarainya tersebut. Semua itu dilakukan sebagai bentuk kecintaan beliau terhadap tanah airnya.” (HR Bukhari)
Kisah Teladan
Perbedaan suku, ras, bangsa, bahkan agama di Yatsrib (Madinah) tidak menjadi penghalang bagi Nabi Muhammad untuk membangun sebuah negara yang bersatu dan berdaulat, tapi justru menjadi kesempatan baginya dalam mempersatukan umat yang bahkan sempat terjebak dalam konflik saudara selama puluhan tahun.
Setelah berhasil menebar benih-benih komunitas Muslim di Yatsrib, seiring dengan penindasan kaum Quraisy Mekkah terhadap umat Muslim yang semakin menjadi-jadi, Nabi Muhammad bersama umatnya hijrah ke negara yang kelak dinamainya Madinah pada 622 M. Ada yang menarik pada peristiwa ini, yaitu Nabi mempersaudarakan kaum Muhajirin sebagai pendatang dan kaum Anshar sebagai pribumi.
Nabi menyadari para Muhajirin migrasi ke negara baru tidak membawa apa-apa. Semua harta tidak bisa mereka bawa. Sebagai solusinya, Nabi mempersaudarakan mereka dengan Muslim pribumi. Keputusan ini disambut baik oleh kedua belah pihak, bahkan kaum Anshar rela membagi separuh hartanya untuk saudara baru mereka. Padahal, secara ekonomi kaum pribumi juga sedang tidak membaik. Keimanan dan semangat persatuan dalam jiwa merekalah yang telah berhasil menyatukan.
Nabi Muhammad SAW memulai kepemimpinannya dengan menyatukan kaum Anshar dan Muhajirin. Nabi menegakkan ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan sesama umat Islam, antara kaum Muhajirin yang datang dari Mekkah, kaum Anshar, pribumi Madinah, dan berbagai bangsa lain seperti orang Persi, orang Rum atau Bizantium. Nabi mengokohkan tali persaudaraan sesama umat Islam, disatukannya antara orang-orang Muhajir dengan Anshar dan bangsa lain dalam persaudaraan yang penuh kasih sayang.
Selain membina persaudaraan sesama orang-orang Islam atau ukhuwah Islamiyah di Kota Madinah, Nabi Muhammad juga membina ukhuwah wathaniyah, sehingga mengarahkan pada penduduk Madinah dari suku apa pun dan agama apa pun agar menjaga keamanan Kota Madinah. Mereka diarahkan agar bersatu mempertahankan Kota Madinah, apabila ada serangan dari luar.
Selanjutnya Nabi Muhammad membina persaudaraan antara sesama umat manusia atau ukhuwah insaniyah. Dalam mengatur Kota Madinah yang penduduknya terdiri dari berbagai suku, ras dan agama, Nabi SAW membuat perjanjian dengan berbagai kalangan yang disebut Konstitusi Madinah atau Piagam Nabi Muhammad.
Di antara isi butir-butir perjanjian itu yaitu agar kedua belah pihak Muslim dan Yahudi saling melindungi, menyatakan musuh bersama kepada siapa saja yang bermaksud menyerang Madinah, dan siapa pun yang melanggar perjanjian ini berarti telah berbuat zalim.
Dari kisah Rasulullah membangun negara Madinah dapat diambil hikmah bahwa perbedaan bukan menjadi penghalang untuk menciptakan kerukunan, tetapi justru peluang untuk mewujudkan persatuan.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌࣖ
“Ya Tuhan kami, ampunilah kami serta saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kedengkian terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hasyr: 10) []