Jakarta, Gontornews — Koordinator International People Tribunal (IPT) 1965 Nursyahbani Katjasungkana meminta kepada Amerika Serikat, Inggris dan Australia mengakui keterlibatannya dalam peristiwa 1965. Pernyataan ini disampaikan setelah adanya putusan pengadilan IPT yang digelar di Den Haag, Belanda 10 – 13 November 2015.
“AS, UK dan Australia agar mengakui keterlibatan mereka karena itu sudah terbukti dari berbagai komunikasi diplomatik mereka dan tidak bisa dipungkiri lagi,†ujarnya seperti dikutip dari laman time, Rabu (20/7).
Dalam laporan time, tragedi berdarah tahun 1965-1966 tersebut, dipicu oleh pembunuhan enam jenderal dan perwira lainnya pada malam 30 September 1965. Pada 1 Oktober Jenderal Suharto menyalahkan Partai Komunis Indonesia (PKI), kemudian dibantu organisasi Muslim dan kelompok paramiliter, tentara Indonesia memimpin perburuan besar-besaran menargetkan anggota PKI dan simpatisannya serta etnis Tionghoa.
Pembunuhan massal, dalam fakta yang diungkap di pengadilan tersebut, memunculkan korban dengan asumsi sebanyak 400-500 ribu orang. Oleh karena itu Indonesia juga dianggap bertanggung jawab. Tindakan yang dimaksudkan untuk memusnahkan bagian dari populasi masyarakat dapat dikategorikan sebagai genosida.
Namun Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai, putusan sidang International People’s Tribunal tentang kasus pada tahun 1965 tidak bersifat mengikat sehingga tidak memiliki pengaruh bagi negara.
“IPT itu bukan pengadilan (resmi) dan keputusannya tidak mengikat. Sama sekali tidak mengikat,” ujarnya di Jakarta.
Dalam sistem hukum di Indonesia, ujar Mahfud, hanya dikenal dua macam pengadilan pidana, yakni pengadilan internasional di bawah kewenangan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dan pengadilan negara di dalam negeri masing-masing.
“Pengadilan pidana itu hanya dua, pengadilan negara dan internasional. ICC dan pengadilan negara di negaranya masing-masing, kalau di Indonesia itu MA (Mahkamah Agung). IPT itu liar,” katanya dilansir dari laman republika.co.id. [Ahmad Muhajir/Rus]