Sisilia, Gontornews — Samar Sinjab, wanita Suriah berusia 62 tahun yang lahir di Damaskus dan tinggal di wilayah Veneto, Italia timur laut sejak 1994, menjadi dokter ke-100 yang mati di garis depan pandemi virus corona di Italia.
Dia tertular virus dari seorang pasien pada tahap awal pandemi dan meninggal setelah menghabiskan dua pekan sisa umurnya di unit perawatan intensif.
Dia bekerja sampai hari-hari terakhirnya. Pesan WhatsApp terakhir dia kirim kepada salah satu pasiennya, menurut surat kabar Corriere della Sera.
Lebih dari 18.000 orang telah meninggal di Italia akibat COVID-19, penyakit yang telah menginfeksi lebih dari 143.000 orang di negara itu.
Lebih dari 8.000 petugas kesehatan telah terinfeksi, mayoritas di wilayah utara, menurut Institut Kesehatan Nasional Italia, dan setidaknya 100 dokter telah meninggal.
Dokter keluarga yang mengunjungi pasien di rumah, tanpa alat pelindung diri (APD), merupakan dokter pertama yang tertular virus.
Menurut Asosiasi Dokter Asing di Italia, ada sekitar 20.000 dokter keturunan dari berbagai negara. Dari jumlah tersebut, 3.700 berasal dari Timur Tengah. Sejak 1960-an, banyak pemuda Arab belajar ilmu kedokteran di Italia.
“Melayani tanah air kedua kami merupakan tugas yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Apalagi ini keadaan darurat yang belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Foad Aodi, presiden asosiasi, kepada Aljazeera.
“Akibat merawat pasien, setidaknya 15 dokter Arab dilaporkan telah dirawat di rumah sakit, tiga di antaranya saat ini berada di ruang ICU dengan kondisi parah. Kami juga kehilangan beberapa rekan dan teman kami. Kendati kami berduka, kami masih berkomitmen pada Italia dan profesi kami.”
Inilah profil empat dokter Arab yang kehilangan nyawa dalam pandemi ini:
Abdel Sattar Airoud
Airoud lahir di Aleppo, Suriah, pada tahun 1945. Pada usia 19, ia memulai mimpinya dan tiba di Italia untuk belajar ilmu kedokteran. Dia mempelajari spesialisasi onkologi dan penyakit dalam di University of Bologna, di bagian utara negara itu.
Setelah empat tahun di klinik swasta, ia membuka praktik sendiri di sebuah kota dekat Piacenza, di wilayah Emilia-Romagna, dan menjadi dokter keluarga yang terkenal.
“Dia sangat murah hati dan baik. Dia membantu saya dalam tiga kehamilan. Dia tidak pernah mengeluh kalau saya telepon karena saya mengkhawatirkan kehamilan saya. Dia dokter yang dirindukan, juga teman yang baik,” tutur Anita Santelli, salah satu pasiennya, kepada Aljazeera.
Putri sulungnya, Kinda Airoud (35), mengatakan, “Ayah saya tidak pernah melupakan akarnya, Suriah, yang merupakan bagian dari pendidikan kami.”
Dia telah lima tahun pensiun, tetapi kembali bekerja ketika epidemi coronavirus menyerang Italia. Dia tidak ingin meninggalkan mantan pasiennya pada waktu yang sulit.
“Kami menghabiskan waktu setiap musim panas di Suriah, sampai perang dimulai. Tapi dia juga berhutang kepada negara yang menyambutnya, jadi wajar baginya membantu pasien yang telah berhubungan dengannya.”
Airoud adalah salah satu dokter pertama yang terkena virus corona dari seorang pasien. Saat ia menunjukkan gejala ringan, ia dites negatif pada awalnya. “Lalu tiba-tiba di suatu malam kondisinya memburuk, lalu kami memanggil ambulans. Saat itulah kami terakhir kali melihatnya,” kata Kinda.
Airoud meninggal pada 16 Maret. Mayatnya dimakamkan di Brescia, sebuah kota yang hampir dua jam jauhnya dari Piacenza karena di Piacenza tidak ada pekuburan untuk Muslim saat itu.
Setelah warga Suriah kedua meninggal, walikota Piacenza menyediakan lahan khusus untuk pemakaman Muslim agar mereka lebih dekat dengan orang-orang yang mereka cintai.
Tahsin Khrisat
Seorang warga Palestina dari Yordania, Khrisat yang berusia 66 tahun bekerja di Brescia, salah satu kota yang paling terpukul di wilayah Lombardy.
“Dia telah kehilangan istrinya beberapa tahun yang lalu, dan menderita karenanya,” kata Federica Maestri, mantan kolega Khrisat, kepada Aljazeera.
Dia mengatakan, merebaknya epidemi virus corona tidak membuatnya ‘pensiun’ bahkan sebaliknya membuatnya lebih peka dan empati terhadap orang lain.
Dia baik, penuh kasih sayang, humoris, dan sebagai dokter UGD, dia suka berbagi cerita tentang masa kecilnya di Amman ketika ada waktu ‘istirahat yang langka’ dalam shift malam yang panjang.
Dia membuka klinik pribadi. “Hampir setiap hari, Tahsin akan mengirim pesan selamat pagi atau menyemangati teman-teman dan pasiennya, untuk mengingatkan mereka akan kehadirannya jika dibutuhkan. Itu caranya mengatakan, ‘Aku akan selalu ada untukmu’,” kata Maestri.
Pada hari-hari awal pandemi, ia terinfeksi oleh seorang pasien.
“Kami menggunakan fitur Facebook Live untuk mengabari kerabat baik di Italia dan Yordania perasaan berduka yang mendalam,” papar Raisa Labaran, juru bicara Pusat Kebudayaan Islam Brescia, kepada Aljazeera.
Penyakit jantungnya membuatnya lebih rentan terhadap virus. Dia meninggal pada 22 Maret. Hanya imam dan karyawan dari rumah duka Muslim setempat yang diizinkan menghadiri pemakamannya.
Jenazahnya dimakamkan di pemakaman umum Brescia, di bagian khusus pemakaman Muslim. Banyaknya warga yang meninggal akibat corona telah membuat kritis ketersediaan lahan untuk pemakaman. “Sekarang hanya ada 20 tempat yang tersisa di pekuburan, dengan situasi kuncian saat ini, sulit untuk mengatur pemakaman atau memulangkan jenazah ke negara asal mereka.
“Ketakutan akan kemungkinan kremasi, yang dilarang dalam Islam, menambah perasaan cemas itu,” kata Labaran.
Abdulghani Makki
Lahir di Aleppo, Suriah, pada tahun 1941, Makki tidak hanya dikenal sebagai dokter tetapi juga sebagai pilar budaya di komunitas lokalnya di Sant’Elpidio a Mare, di wilayah Marche, Italia.
“Dia adalah simbol integrasi budaya, kisahnya akan menjadi warisannya,” kata temannya, Corrado Virgili, yang terakhir kali melihatnya pada 2 Maret.
Setelah mempelajari kedokteran dan ilmu operasi di Italia, dia berencana untuk kembali ke Suriah. Tetapi dia jatuh cinta kepada wanita Italia.
Makki membantu putri sulungnya, Leila, membuka dan menjalankan klinik keluarga.
“Dia sangat bersemangat untuk membantu pasiennya, tidak pernah melupakan perannya sebagai suami, ayah, dan kakek,” kata Leila kepada Aljazeera.
Di sela-sela profesinya sebagai dokter, Makki gemar bercerita kepada cucunya dan menuliskannya dalam buku untuk anak-anak. Dalam kisahnya, Makki mencampurkan tradisi Arab dan Italia untuk mendorong dialog antarbudaya di komunitas lokalnya.
Leila mengatakan cinta ayahnya untuk Suriah dan Italia setara. “Di rumah tangga kami, tidak ada perbedaan antara Muslim dan Kristen, Italia atau Suriah. Aku dan adikku tumbuh dengan pemahaman yang lebih luas tentang umat manusia. Terima kasih kepada ayah,” katanya.
Makki meninggal pada 24 Maret, dalam usia 79 tahun. Buku terbarunya, diilustrasikan oleh temannya Virgili, akan diterbitkan secara anumerta dengan tajuk Mariam and the Savannah Queen.
Ghvont Mouradian
Dikenal dengan nama panggilan Revont, Mouradian meninggal pada 29 Maret, dalam usia 61 tahun.
Selain mempelajari kedokteran modern, ia juga ahli dalam akupunktur dan hidroterapi.
Mouradian lahir dari keluarga Armenia di Qamishli, Suriah bagian utara, tempat ia menghabiskan masa kecilnya.
Dia pergi ke India untuk belajar ginekologi dan pada tahun 1987, dan ke Italia untuk mengambil spesialisasi dalam bidang hidrologi medis di University of Pavia.
Dia menjadi dokter termal yang disegani di Salsomaggiore, sebuah kota di Italia bagian utara yang dikenal karena pemandian air panasnya, tempat dia terus merawat pasiennya sampai kota itu dikunci.
Kerabat Mouradian, baik di Suriah maupun Lebanon, sangat sedih karena tidak bisa memberikan penghormatan terakhir karena pembatasan perjalanan.
Keponakannya di Beirut, Sarkis Kerkezian, menulis di Facebook: “Dia ada di sana untuk kita semua pada saat kesulitan dan ketika kita memiliki masalah kesehatan.”
“Pria dengan selera humor yang unik, baik hati, mencintai dan peduli kepada semua keluarga dan teman-temannya. Dia meninggalkan jejak kepada semua orang yang mengenalnya, dengan semangat uniknya.”
Rekannya Roberta Bianchi mengatakan di halaman media sosialnya: “Ketika Anda pergi ke India atau Cina selama beberapa pekan, semua orang akan merindukan Anda. Sekarang Anda pergi selamanya, Anda akan meninggalkan kekosongan yang tidak dapat dijembatani. Dia adalah seorang kolega, seorang teman, penuntun spiritual bagi kita semua. ”
Mirko Avesani, seorang ahli saraf dari wilayah Lombardy yang mengenal Mouradian, mengatakan kepada Aljazeera bahwa dokter-dokter Arab ini, yang telah memberikan pengorbanan tertinggi, harus selalu diingat. “Imigrasi seharusnya tidak hanya dikaitkan dengan masalah. Pengorbanan para dokter ini memberi kita pelajaran penting untuk referensi di masa depan,” katanya. []