Oleh Rusdiono Mukri
Kosakata bhineka atau kebhinekaan akhir-akhir ini banyak menghiasi halaman dan ruang media massa. Begitupun di media sosial (medsos). Hal ini tak lepas dari aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok tertentu yang mengusung tagline kebhinekaan. Kendati istilah itu sebenarnya bukan istilah baru.
Apa yang dimaksud dengan bhineka? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menuliskan kata bhineka dengan double n (“bhinneka”) yang artinya berbeda atau berlainan. Sedangkan istilah bhinneka tunggal ika merupakan semboyan pada lambang negara Republik Indonesia yang menyatakan keanekaragaman suku, agama, bahasa dan berbagai aspek kebudayaan yang lain di Indonesia, akan tetapi tetap bersatu di dalam wadah keindonesiaan.
Namun, kosakata dan istilah ini kini seakan menjadi alat untuk membungkam aspirasi umat Islam. Lihat saja misalnya ketika umat Islam menggelar Aksi Bela Islam tanggal 4 November dan 2 Desember 2016. Mereka menuduh aksi itu telah membuat masyarakat dan bangsa Indonesia terkotak-kotak, tersekat-sekat. Aksi umat Islam dinilai telah menciderai kebhinekaan. Antikeragaman dan anti-NKRI. Karena itulah mereka –dengan kasat mata terlihat pemerintah ikut menjadi sponsornya—menggelar aksi tandingan, parade kebhinekaan dan keindonesiaan.
Padahal aksi umat Islam itu hanyalah respons atau reaksi atas lambannya penanganan hukum atas Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam kasus penistaan agama. Dalam kasus ini jelaslah Ahok dan pendukungnyalah yang antikeragaman, antikebhinekaan. Sebab mereka tidak menghargai keyakinan umat Islam yang dilarang oleh agamanya untuk memilih pemimpin kafir.
Bahkan mantan presiden Megawati dalam pidatonya pada HUT ke-44 PDI-Perjuangan di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Selasa (10/1) silam menyebut pihak-pihak yang antikeragaman sebagai penganut ideologi tertutup, yang memicu konflik bernuansa SARA. Menurutnya, penganut ideologi tertutup bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang selalu relevan dengan perkembangan zaman. Pemimpin kelompok berideologi tertutup itu mengklaim diri sebagai peramal yang serba tahu masa depan. “Para pemimpin yang menganut ideologi tertutup mempromosikan diri mereka sebagai self-fulfilling prophecy, para peramal masa depan. Mereka meramal dengan fasih tentang apa yang akan datang, termasuk kehidupan setelah dunia fana. Padahal notabene mereka sendiri tentu belum pernah melihatnya,” papar Megawati.
Pidato Megawati ini tidak hanya mencerminkan bahwa dia tidak paham Islam, tidak paham Rukun Iman. Tapi juga telah menyakiti hati umat Islam, khususnya para alumni Aksi Bela Islam. Sebab, umat Islam sangat berjasa dalam menegakkan NKRI dan melahirkan Pancasila. Sejarah telah mencatat, betapa KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama (NU), mendeklarasikan perang suci alias jihad melawan penjajah yang hendak kembali menguasai Indonesia yang baru merdeka. Resolusi Jihad inilah yang memompa semangat para pemuda, khususnya kaum santri, dan ulama menggelokan perang untuk mengusir penjajah demi tegaknya NKRI. Fatwa Jihad KH Hasyim Asy’ari telah menyelamatkan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa inilah yang kini setiap tahun diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Umat Islam juga berkontribusi besar terhadap lahirnya Pancasila. Umat Islam yang tidak memaksakan kehendaknya, rela menanggalkan tujuh kata dalam rumusan sila pertama Pancasila sebagaimana terdapat dalam Piagam Jakarta. Kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” akhirnya diganti dengan “yang Maha Esa”. Maka sila pertama yang semula berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Mantan Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara pernah mengatakan, Pancasila adalah hadiah terbesar dari umat Islam.
Selain itu, umat Islam sesungguhnya tidak perlu diajari soal kebhinekaan. Umat Islam sangat toleran. Hanya Islam yang mengakui keberagaman manusia dari berbagai sisi. Baik suku, agama, status ekonomi, sosial, budaya, warna kulit, dan perbedaan-perbedaan lain.
Allah berfirman dalam surat al-Hujuraat ayat 13 yang artinya, “Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa–bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Maka tak mengherankan jika bukti sejarah memperlihatkan kaum Nasrani dan Yahudi hidup dalam damai saat Islam berkuasa di Spanyol (Andalusia). Mereka bebas memeluk dan melaksanakan ajaran agamanya. Rumah ibadah mereka aman, tanpa gangguan. Begitu pula saat kekhilafahan Turki Ustmani berkuasa. Umat non-Islam hidup aman dan damai dalam naungan khilafah Islamiyah. Jadi, Islam tidak memiliki masalah dengan kebhinekaan.
Penulis Wapimred Majalah Gontor dan Dosen INAIS Bogor