Uṭlubi al-‘ilma walaw bi al-ṣīn, tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina. Mungkin tidak ada yang menduga bagaimana perjalanan Annisa Irba Widyasari (21), alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 2018, dalam mencari ilmu hingga ke negeri Cina. Tapi siapa sangka, kurang dari setahun perjalanan pendidikan Annisa di negeri Tirai Bambu, wabah virus korona menyebar ke sebagian besar wilayah Cina. Bahkan kemudian menyebar ke seluruh dunia.
Annisa berkesempatan melanjutkan studinya di Fakultas Kedokteran Hubei Polytechnic University, Huangshi, Provinsi Hubei, Cina. Hubei sendiri tercatat menjadi wilayah paling terdampak virus bernama resmi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) itu.
Provinsi Hubei mencatat lebih dari 67.000 pasien dengan 3.132 kematian akibat COVID-19. Sementara ibukota Provinsi Hubei, Wuhan, merupakan lokasi pertama virus tersebut ditemukan.
“Bagi saya, masalah penyebaran COVID-19 di dunia saat ini sebagai peringatan bahwa tidak ada yang abadi di dunia. Kalau hanya dengan virus yang tidak terlihat saja kita sudah tidak berdaya, bagaimana kondisi kita saat melawan musuh Islam di akhir zaman,” kata Annisa kepada Majalah Gontor.
Wartawan Majalah Gontor, Mohamad Deny Irawan, berkesempatan mewawancarai wanita kelahiran Bulungan-Kalimantan Utara, 28 Agustus 1999, itu. Berikut kutipan wawancaranya:
Bisa diceritakan bagaimana Anda bisa melanjutkan studi di Hubei?
Awalnya, saya mendapatkan tawaran dari orangtua saya mengenai program kuliah di Cina. Hal ini tidak lepas dari banyaknya anak di sekitar saya melanjutkan kuliah ke Cina. Bak gayung bersambut, keinginan saya untuk kuliah di luar negeri pun terwujud. Saya pun memberanikan diri untuk mengikuti program yang ditawarkan.
Saya sendiri sempat merasa nervous dan tidak yakin apakah ijazah Gontor dapat diterima untuk mendaftar di tempat saya belajar saat ini, Hubei Polytechnic University di Huangshi, Provinsi Hubei, Cina. Meski ada beberapa kendala administratif terkait perbedaan-perbedaan bentuk surat keterangan lulus, namun kendala tersebut bisa diselesaikan, syarat administratif saya bisa dipenuhi dan pendaftaran saya pun diterima.
Bagaimana kondisi masyarakat Huangshi sebelum COVID-19 mewabah?
Sebelum COVID-19 merebak di Hubei, aktivitas masyarakat setempat berjalan sebagaimana biasanya. Sedangkan kami, para mahasiswa, dosen-dosen selalu menyampaikan berita terkini baik dari dalam negeri maupun luar negeri serta selalu mengingatkan tentang pentingnya menjaga kesehatan.
Sebagai seorang Muslim dan menjadi minoritas di sebuah daerah di Cina, bagaimana Anda menyikapinya?
Sebagai komunitas minoritas dan baru tinggal di lingkungan yang baru, saya sempat mengalami sejumlah kendala dalam beribadah. Saya sendiri merasa tidak bebas dalam menjalankan ibadah di daerah terbuka kecuali di kamar atau tempat ibadah seperti masjid. Terkadang, masyarakat setempat merasa aneh melihat penampilan kami yang menggunakan kerudung. Saya sendiri sempat merasa takut akan kondisi tersebut. Akan tetapi, proses adaptasi tersebut bisa saya lewati dengan baik.
Teman-teman kami yang laki-laki juga tetap bisa beribadah seperti biasa seperti shalat Jumat. Sementara makanan halal juga banyak tersedia bahkan di kantin perguruan tinggi tempat kami belajar. Saya sendiri pernah ada pengalaman membeli roti dengan taburan abon di atasnya. Saat saya mengambil roti tersebut, sang penjaga kantin tanpa ragu mengingatkan jika taburan abon yang ada di atas roti tersebut berasal dari daging babi. Kala itu saya masih ingat betul sang penjaga toko roti bilang “你不能吃这是猪肉 (Nǐ bùnéng chī, zhè shì zhūròu), yang artinya: Kamu tidak boleh makan ini. Ini daging babi. Sejak saat itu, saya tidak takut lagi atau berpikir yang aneh-aneh.
Saat wabah COVID-19 merebak di Hubei, apakah mereka panik?
Yang saya lihat mereka tidak ada yang panik.
Saat pemerintah Wuhan memberlakukan lockdown, wilayah Hubei sangat sepi bak kota hantu. Bagaimana kondisinya saat itu?
Saat saya berada di Wuhan pada 23 Januari pukul 10.00 waktu Cina, Pemerintah menghentikan seluruh transportasi dan menutup akses keluar masuk dari dan menuju Wuhan. Di hari itu, saya melihat penduduk Wuhan masih ramai dan sibuk berlalu lalang. Saya sendiri awalnya tidak paham karena saat itu suasana di Wuhan dan Cina secara umum tengah merayakan Tahun Baru Imlek. Mereka pun berbondong-bodong pulang ke daerahnya masing-masing mirip fenomena mudik di Indonesia. Sehingga meski pemerintah memberlakukan penutupan akses keluar-masuk, masyarakat tidak panik dan kondisinya biasa saja.
Baru di hari kedua, kondisi Wuhan mendadak sepi. Di jalan protokol hanya terlihat beberapa kendaraan lokal milik pribadi. Warga sekitar pun sangat sedikit yang berlalu lalang. Kalaupun mereka keluar rumah, mereka hanya keluar untuk membeli bahan makanan saja.
Saat kondisi tersebut, sebagian besar toko ditutup. Kalaupun ada yang buka, itu hanya toko yang menjual kebutuhan-kebutuhan seperti masker ataupun kebutuhan pokok. Alhamdulillah, apotek di dekat apartemen saya juga masih buka.
Bagaimana respon KBRI Beijing dalam membantu warga Indonesia saat kondisi COVID-19 mulai merebak?
Alhamdulillah, KBRI Beijing bertindak sangat tanggap dan cepat dalam menangani, menanyakan kabar atau apa saja hal yang dibutuhkan hingga mendata semua mahasiswa. Saat itu, setiap orang dari kami mendapatkan bantuan uang 280 yuan, sekitar 600 ribu rupiah, untuk jangka waktu 1 minggu. Mereka hanya meminta kami untuk melaporkan penggunaan uang saja.
Apa yang Anda lakukan saat melihat kondisi Hubei mencekam?
Yang saya lakukan saat itu hanya berdiam diri di apartemen dan melakukan hal-hal seperti biasa. Andai pun keluar, saya hanya membeli makanan dan kebutuhan lainnya. Saya dan rekan-rekan mahasiswa asal Indonesia di Wuhan juga memantau berita-berita yang ada. Saya juga memperbanyak bacaan tentang bagaimana mencegah COVID-19 sekaligus memperbanyak doa. Harapan saya waktu itu adalah agar kondisi di Wuhan segera membaik lalu kembali ke kampus atau berharap agar kami segera dievakuasi kembali ke Indonesia.
Bagaimana perasaan Anda saat Pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengevakuasi seluruh warga Indonesia di Wuhan?
Alhamdulillah, saya dan tentunya kawan-kawan mahasiswa di Wuhan sangat bersyukur dan sangat senang sekali. Perwakilan Pemerintah Indonesia di Beijing sangat sigap dalam melakukan evakuasi sekalipun belum ada kepastian mengenai kapan kami akan dievakuasi.
Saya juga sangat senang dengan penyambutan yang dilakukan oleh tim evakuasi yang lengkap dengan baju pelindung, masker dan kacamata khusus. Saya sempat melihat ada seorang pilot yang memperlihatkan tulisan: “Ayo mulih, rek! We Love You” dari jendela pesawat. Dari situ perasaan kami campur aduk antara terharu dan bangga dengan perjuangan mereka yang berusaha mengevakuasi kami dari Wuhan.
Selama menjalani karantina 14 hari di Natuna, bagaimana kondisi Anda dan WNI yang berada dalam karantina?
Alhamdulillah, kondisi kami saat dikarantina di Natuna sehat dan tidak ada yang sakit. Pemerintah pun menyediakan makanan sehat serta buah.
Apa saja kegiatan yang dilakukan WNI di kamp karantina di Natuna selama 14 hari?
Setiap pagi kami selalu olahraga wajib karena setiap pagi seluruh hanggar, tempat kami diobservasi, disemprot cairan desinfektan. Para petugas juga mengecek para WNI secara rutin mulai dari pengecekan suhu dan kesehatan setiap pagi dan malam. Mereka juga kerap menyampaikan beberapa materi. Ada juga materi dari TNI, Kementerian Kesehatan, Kedutaan Besar Republik Indoneisa, dan Kementerian Luar Negeri. Setiap sore, kami diperbolehkan untuk bermain bersama atau jalan-jalan di sekitar bandara untuk refreshing atau menghilangkan penat.
Apa himbauan atau pengarahan yang diberikan oleh Pemerintah sesaat setelah Anda dan rekan-rekan WNI di Natuna dikembalikan ke rumah masing-masing?
Mereka meminta kami untuk tetap menjaga kesehatan, kebersihan seperti kami dikarantina di Natuna. Mereka juga berharap kami dapat mengedukasi masyarakat tentang COVID-19 dan bagaimana cara mencegah virus tersebut.
Bagaimana perasaan Anda saat mengetahui COVID-19 telah masuk ke Indonesia?
Perasaan saya campur aduk. Semua orang di dunia tidak berharap COVID-19 masuk ke negaranya. Tapi sebenarnya yang jadi pertanyaan, bagaimana cara kita menyikapi hal tersebut merujuk pada pengalaman serupa di negara orang.
Sebagai seorang Muslim, apa hikmah yang dapat Anda ambil dari wabah COVID-19?
Saya melihat bahwa wabah COVID-19 merupakan sebuah peringatan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Kalau hanya dengan virus yang tidak terlihat saja kita sudah tidak berdaya apalagi nanti, saat kita melawan musuh Islam di akhir zaman. Jadi, hikmahnya kita bisa introspeksi diri dan makin mendekatkan diri kepada Allah SWT, Sang Maha Penyembuh.
Sebagai seorang mahasiswa kedokteran, apakah obat COVID-19 sudah tersedia?
Sampai saat ini belum ditemuan obat khusus dan vaksin untuk COVID-19.
Sebagai seorang santri, bagaimana Anda menyikapi penyebaran virus COVID-19? Apakah kita perlu takut dengan COVID-19?
Kita tidak perlu takut dengan virus ini. Namun, kita juga harus tetap waspada dan disiplin dalam menjaga kebersihan tangan serta disiplin dalam menjaga asupan gizi agar daya tahan tubuh kita atau imunitas dalam diri selalu kuat.
Apa pesan yang ingin Anda sampaikan kepada masyarakat terkait cara mencegah atau mengantisipasi penyebaran COVID-19?
Pesan saya tetap waspada dan tidak boleh panik. Selalu sarapan pagi. Jaga kebersihan dan kesehatan. Tidak berjabat tangan untuk sementara waktu. Selalu menjaga kebersihan.. Sesering mungkin mencuci tangan dengan sabun dan dibasuh dengan air yang mengalir. Istirahat yang cukup. Menghindari kerumunan orang banyak. Mengonsumsi makanan dengan gizi yang seimbang. Memperbanyak makan sayur dan buah dan terus memperbarui informasi mengenai COVID-19 agar kita tetap waspada. []