Jelang peringatan 1 Abad, Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) terus menggali potensi yang dimilikinya. Terbaru, pesantren yang terletak di Kabupaten Ponorogo itu berhasil menghimpun 87 guru besar yang berlatar belakang alumni Gontor.
Sejumlah nama seperti Prof Dr KH Amal Fathullah Zarkasyi dan Prof Dr Hamid Fahmy Zarkasyi dari internal Gontor berpadu dengan sejumlah guru besar ternama seperti Prof Dr Amin Abdullah, Prof Dr Aflatun Muchtar hingga Prof Dr Asep Saepudin Jahar yang belum lama ini memegang amanah sebagai Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2023-2027.
Sekretaris Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor, Prof Dr Husnan Bey Fananie MA, mengatakan bahwa seorang guru besar harus berdampak secara luas. “Guru besar harusnya bukan sekedar emblem nama saja. Seorang guru besar harus juga menjadi guru bagi banyak orang, masyarakat, negara dan umat,” ungkap Prof Dr Husnan Bey Fananie di kediamannya di Gandul, Cinere, Depok.
Wartawan Majalah Gontor, Mohamad Deny Irawan, berkesempatan mewawancarai peraih gelar guru besar kehormatan dari Azerbaijan University of Language (AUL) Baku, Azerbaijan. Berikut kutipan wawancaranya:
Apa definisi guru besar menurut Anda?
Bagi saya, gelar guru besar bukanlah jabatan. Guru besar merupakan pemberian atas kegiatan seorang cendekiawan, intelektual yang memiliki tingkat karya yang melebihi orang lain. Dengan itu, seorang profesor bisa memberikan sebuah ide-ide baru, membangun sebuah teori baru, membangun sebuah motivasi baru hingga memberikan contoh baru bagi masyrakat.
Seorang profesor itu harus memiliki sebuah kegiatan yang memiliki dampak langsung bagi masyarakat, negara maupun kaum intelektual. Jadi, kalau tidak dimanfaatkan percuma. Seorang guru besar itu ilmunya, gerak-geriknya, kehidupannya bisa dicontoh, dilihat, bisa digunakan dan dimanfaatkan untuk orang banyak.
Indonesia memberikan kesempatan bagi para akademisi, cendekiawan dan kalangan intelektual untuk menjadi guru besar selama memenuhi syarat yang ditentukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Ristek. Para calon guru besar harus bisa menunjukkan karya-karya seperti jurnal. Karya ini akan semakin baik dan valid jika diterbitkan di luar negeri serta mendapatkan pengakuan keilmuan di luar negeri.
Meski demikian, secara substansi, guru besar bukan sekedar urusan administratif belaka. Seorang guru besar harus bisa menjadi guru bagi orang banyak, bagi masyarakat, bagi negara bangsa bahkan umat. Mereka bukan sekedar tokoh di perguruan tinggi tetapi harus juga berdampak bagi kelompok masyarakat sosial lainnya. Bahkan, mereka diharapkan dapat juga memiliki dampak serta diakui peran dan keilmuannya oleh dunia.
Guru besar juga bukan hanya sekedar emblem nama. Di Indonesia, banyak orang yang melebih guru besar tanpa emblem nama. Banyak tokoh Indonesia yang bertitel tanpa gelar akademik dari sebuah perguruan tinggi tapi diakui oleh perguruan tinggi lain seperti di luar negeri. Sebagai contoh yaitu Buya Hamka yang keilmuannya tidak diragukan serta karya-karyanya yang bahkan berdampak hingga saat ini. Buya Hamka tidak pernah sekolah formal tapi dia mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.
Banyak tokoh lain yang menjadi ikon bagi kita, kecendekiawanan dan keintelektualan di Indonesia. Trimurti pendiri Gontor tidak punya gelar. Tapi karyanya, amal jariyahnya, apa yang mereka bangun dari tahun berdirinya KMI, tahun berdirinya pondok 1926 sampai masa depan, sudah melebihi berbagai macam gelar akademik.
Trimurti pendiri Gontor memiliki tingkat akademis yang sangat tinggi karena diperoleh dan didasari oleh kepekaan jiwa, kepekaan pola berpikir tentang masa depan. Jadi yang namanya guru besar, gelar akademik yang mereka miliki harus dibarengi dengan kepekaan intelektual untuk membangun kehidupan dan kecerdasan untuk masa depan. Karenanya, gelar guru besar itu tidak berpengaruh apa-apa tanpa keinginan untuk terus membangun pemahaman menuju masa depan.
Apa pendapat Anda tentang peraih guru besar dari kalangan pesantren?
Saya kira itu banyak dan bagus sekali. Informasi yang saya peroleh, alumni Pondok Modern Darussalam Gontor yang meraih gelar guru besar sudah mencapai 87 orang. Fakta ini tidak perlu dipertanyakan dapatnya dari mana atau diakui oleh siapa. Secara nyata, jujur dan murni, seorang yang memiliki gelar guru besar harus bertanggung jawab atas keintelektualannya, karya-karyanya dan apa yang akan ia bangun di masa depan sehingga dapat dirasakan oleh orang banyak di masa depan.
Apa saja nilai-nilai yang digunakan oleh para guru besar alumni pesantren?
Santri itu punya etos kerja dan etos dalam belajar. Santri Gontor misalnya, sudah memiliki cara dalam belajar, cara dalam mengejar sesuatu dan cara dalam menimba ilmu. Sejak kecil, santri Gontor sudah mendapatkan mahfudzat yang berbunyi Jarrib wa lāhidz takun ‘ārifan, “coba, coba, coba maka kamu akan tahu”. Para santri, bahkan, diajar untuk tidak takut mencoba, membaca, menimba ilmu di mana pun dengan cara apa pun. Kita ditekankan oleh kiai dan guru-guru kita dahulu, “Kalian jangan khawatir tidak lulus, kalau pun akhirnya kalian tidak lulus, kalian sudah lulus karena kalian tahu kalian tidak lulus berarti kalian mengikuti ujian.” Maksudnya, bukan kelulusannya yang penting tapi keberanian untuk ikut di setiap ujian dan menghadapi segala macam tantangan.
Setiap santri yang sadar akan ujian, pasti akan mempersiapkan segala ujian dan tantangan yang akan mereka hadapi. Di Gontor diajarkan, dalam melakukan segala hal, kita harus mempersiapkan diri atau i’dad.
Artinya, perilaku ke-profesor-an di pesantren sudah terbiasa?
Sudah biasa. Seorang alumni Gontor sudah terbiasa dengan ujian dan sudah terbiasa dengan tantangan. Maka, tidak mungkin mereka menerima gelar profesor tanpa diuji, tanpa ditatar. Tidak ada profesor yang diraih secara cuma-cuma. Jadi, membangun pemahaman akademik itu berarti membangun atas pemahaman diri kita sendiri. Bagaimana akademik kita diuji dan bagaimana diri kita disiapkan.
Santri-santri KMI pasti mempersiapkan semua hal sebelum ujian. Terserah, apa pun hasilnya yang penting dia ikut ujian dulu dan itu tidak masalah karena semua pelajaran yang diujikan sudah pernah dipelajari, paling tidak di kelas.
Apakah gelar profesor itu menjadi beban?
Peraih gelar guru besar pasti memiliki beban moril dan akademik yang berat. Setelah dinobatkan sebagai profesor, mau jadi apa? Apakah sudah selesai? Tidak. Tanggung jawab seorang profesor lebih besar. Dia harus mengajarkan ilmunya, menyebarkan pemahamannya, idenya, menjelaskan tentang prinsip-prinsipnya, menjelaskan tentang bagaimana dia belajar, bagaimana dia mendapatkan gelar profesor, bagaimana dia bisa menyampaikan ilmunya kepada yang lain. Percuma jadi profesor kalau hanya digunakan untuk hal-hal yang tidak penting.
Apa khidmah yang paling ideal bagi para profesor?
Seorang profesor harus tetap mengajar. Itu wajib. Profesor adalah guru besar, “guru” dan “besar”. Walau bagaimana pun mereka adalah guru. “Guru kecil” saja mengajar, apalagi “guru besar”. Terkadang, sudah jadi profesor tapi mengajar saja tidak, memberikan kuliah tidak. Seorang profesor harus mengajar tanpa pilih-pilih. Siapa pun bisa dia ajar. Tidak harus, karena dia profesor, lantas hanya memberikan kuliah di pascasarjana saja, mengajar strata 2, strata 3 atau membimbing saja. Mengapa? Karena ilmu itu akan berkembang ketika dia mengajar. Ilmu itu, yang ideal yang terus berkembang. []