Bandung, Gontornews – Dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam, mengalami dampak yang sangat merugikan di era pandemi. “Ruh edukasi hilang. Pendidikan hanya untuk mentransfer pengetahuan,” ujar Prof Dr H Tedi Priatna, MAg, CEAM, Guru Besar Ilmu Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Berbicara sebagai narasumber pada Konferensi Nasional Studi Islam (KONASI) 2022 di Bandung, Selasa (29/11), Prof Tedi menyebutkan, proses pendidikan tidak bisa sepenuhnya dilakukan secara digital. Pembelajaran tidak bisa sepenuhnya dilakukan secara online sebagaimana di era pandemi. Sebab, proses pembelajaran seperti itu tidak humanis.
“Tidak ada murid yang datang ke sekolah kemudian mencium tangan gurunya. Tidak ada guru yang mendoakan siswanya di akhir pembelajaran,” katanya.
Dalam paparan bertajuk “Resiliensi Pendidikan Islam Pasca-Pandemi” Tedi mengatakan dunia saat ini mengalami perubahan. Nilai-nilai kehidupan berubah. Ada tuntutan kompetensi yang semakin spesifik dan kebutuhan literasi yang semakin kompleks. “Dunia tengah memasuki revolusi digital atau industrialisasi keempat. Penggunaan Internet of Things (IoT), big data, cloud database, blockchain, dan lain-lain akan mengubah pola kehidupan manusia,” paparnya.
Karena itu, lanjutnya, pemanfaatan teknologi secara baik dalam internalisasi nilai-nilai pendidikan Islam menjadi kunci utama dalam pembentukan karakter Islami. Dengan kata lain, perkembangan teknologi digital jangan sampai menyebabkan turunnya moral, ilmu pengetahuan, dan karakter pada peserta didik. Karena itu, pendidikan Islam harus hadir sebagai solusi cakrawala peradaban dunia yang Rahmatan lil ‘Alamin.
Menurut Tedi, di era disrupsi sekarang ini ada empat tantangan pendidikan Islam. Pertama, pertimbangkan jenis sekolah yang dipilih dan diterapkan. Inkonsistensi kebijakan pendidikan yang selalu berubah memberikan pengaruh pada lembaga pendidikan, khususnya pendidikan Islam.
Kedua, penguatan sumber daya manusia (SDM). Kompleksitas kompetensi yang dibutuhkan SDM Muslim Indonesia bukan hanya subtansi materi keislaman. Penguasaan teknologi informasi juga menjadi kebutuhan dasar.
Ketiga, penguatan manajemen kelembagaan. Sudah saatnya institusi pendidikan Islam ditata secara kontemporer dan terstruktur agar pendidikan Islam lebih berhasil dan efisien. “Ini juga merupakan metode adaptasi pendidikan Islam dalam menghadapi situasi pandemi seperti ini,” papar Tedi.
Keempat, kemajuan teknologi. Umat Islam harus beradaptasi dengan berbagai kemajuan teknologi agar bisa mengimbangi peran global yang terjadi saat ini.
“Pendidikan Islam harus memberi proporsi terbaik bagi orang tua kepada anaknya. Pendidikan bukan saja transfer of knowledge, tetapi transfer of value. Karena, di balik kedigjayaan ilmu pengetahuan, ada kebijaksanaan. Dan ini yang lebih utama,” terangnya.
Menurut Tedi, salah satu problematika pendidikan saat ini, pendidikan telah kehilangan sisi strategis sebagai salah satu pilar pembangun peradaban. “Jangan sampai pendidikan hanya ditempatkan sekadar pengukuh penjajahan kapitalisme global. Sebagai pencetak mesin pemutar roda industri belaka.
Output pendidikan harus matching dengan kebutuhan pasar perindustrian. Negara bahkan berperan besar dalam mendorong terjadinya kapitalisasi dan sekularisasi di bidang pendidikan ini. Harapan mencetak generasi emas berkepribadian Islam dan berperadaban cemerlang, kian menjauh dari ingatan,” tandasnya pada KONASI 2022 bertema “Kontekstualisasi Islam dalam Ranah Publik.”
KONASI yang berlangsung dua hari ini diikuti lebih dari seratus dosen perguruan tinggi keagamaan Islam swasta (PTKIS) di Jawa Barat. Konferensi ini diselenggarakan oleh Kopertais Wilayah II Jawa Barat bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Hidayah Bogor.[]