Diantara nilai yang agung dalam Islam yang berkenaan dengan aktivitas ekonomi Islami adalah penegakkan keadilan. Adil yang merupakan salah satu nama Allah Ta’ala ini juga menjadi salah satu tujuan yang harus dicapai dalam Syari’at. Sementara sebelum datangnya Islam, aktivitas ekonomi yang telah dijalankan di Jazirah Arab dan berkembang di seluruh dunia adalah riba. Karenanya riba di periode Madinah menjadi perhatian Islam.
Definisi Riba
Dalam hal ini riba dihapuskan oleh perintah Syari’at kerana bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang diantaranya ialah keadilan. Adalah riba, perilaku ini merupakan salah satu dari tujuh dosa yang membinasakan dan telah Rasulullah saw gambarkan dalam haditsnya.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,Beliau bersabda, “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Apakah itu?” Beliau menjawab, “Syirik kepada Allâh, sihir, membunuh jiwa yang Allâh haramkan kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. [HR. al-Bukhâri, no. 3456; Muslim, no. 2669]. Sehingga, praktek riba hanya akan menghilangkan keberkahan dalam kehidupan manusia karena cara yang dilakukan merupakan suatu yang haram dan tidak ada kebaikan (maslahat) di dalamnya baik bagi si pemakan dan penggunanya.
Secara harfiah riba dalam bahasa Arab berarti tambahan (ziyadah) atau berkembang (al-nâmmu). Secara istilah riba adalah tambahan pada sesuatu yang khusus, dan tambahan atas hutang sebagai pengganti waktu yang tangguh. Dalam literatur fikih, pada umumnya para fukaha membedakan riba dalam dua kategori yaitu riba fadhl dan nasi’ah.
Pertama, riba fadhl dikenal juga riba al-sunnah, riba albuyû‘, riba al-nisâ’, dan/atau riba al-khaffî. Abu Zahra dalam kitabnya Buḥūṡun fī ar-Ribā mendefisikan riba fadhl sebagai tambahan atas harta ribawi dengan harta ribawi yang lainnya sejenis. Ini merujuk kepada beberapa hadist diantaranya yang diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudri bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan denga riba. Penerima dan pemberi statusnya sama (berdosa).”(HR. Bukhari). Lainnya dari khalifah Utsman bin Affan, sesungguhnya Rasulullah saw mengatakan, ““Jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar, jangan pula satu dirham dengan dua dirham.” (HR. Muslim).
Kedua, riba nasi’ah yang dikenal juga dengan riba jahiliyah. Menurut Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh ia adalah mengakhirkan pembayaran utang dengan tambahan dari jumlah utang pokok (dan ini lazim disebut riba Jahiliyyah. Ibn Bâz dalam ‘Majmu Fatawa’ nya, ia adalah jual beli ribawi yang sejenis dengan tangguh. Dapat dikatakan riba nasiah adalah mengakhirkan atau menagguhkan pertukaran barang baik itu ribawi atau tidak dengan tambahan. Dijelaskan dalam hadits Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada riba kecuali pada nasi-ah.” (HR. Al-Bukhari). Sehingga, dapat dikatakan riba itu haram baik itu fadhl dan nasiah.
Maqasid Syari’ah
Dalam sejarah Islam maqasid Syari’ah bukan lah suatu yang baru dalam pensyariatan Islam, walaupun baru berkembang kajiannya pada zaman Usuliyyun (Pakar usul fikih) baik bersifat umum dan khusus. Ia definisikan sebagai tujuan-tujuan yang disyariatkan Syari’ untuk kemaslahatan atau kepentingan hamba-hambanya (manusia). Kemudian, apakah hubungannya maqasid Syari’ah dan maslahat. Pertanyaan ini harus dijawab agar tidak menjadi suatu kebingunan di kalangan umat Islam.
Imam Juwaeni, diantara para ulama awal yang telah memperkenalkan dan menggunakan istilah maqasid dan maslahah secara bergantian. Sedang Imam Ghazali muridnya, menjelaskan dalam bukunya Syifa al-Ghalil pembagian maqasid Syari’ah menjadi 2 maslahat, yaitu agama dan dunia; dan lebih khusus beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud maslahat adalah penjagaan atas tujuan Syari’at, dan mendukung pertanyaan tersebut Syaikh Ramadhan al-Buthi menyebutkan bahwa apa-apa yang meliputi penjagaan pokok yang lima adalah maslahah. Maka disimpulkan bahwa dalam setiap maqsud (tujuan) ada maslahat yang ingin dicapai dan mafsadah yang dihindarkan, dan maslahat adalah bagian dari maqasid Syari’ah.
Salah satu kemaslahatan yang ingin dicapai manusia sebagai makhluk Allah Ta’ala di muka bumi ini adalah kesejahteraan dunia dan akhirat sebagaimana yang Imam Ghazali jelaskan, lain halnya dengan konsep Barat bahwa kesejahteraan hanya difokuskan pada aspek kedunian semata. Sehingga, 3 target utama kesejahteraan dalam maqasid Syari’ah yang harus dicapai manusia dalam Islam yaitu aspek spiritual, materi dan non-materi.
Ketiga aspek tersebut dapat diwujudkan dalam klasifikasi maslahat yang dirumuskan oleh Imam Ghazali yaitu dasar yang lima (kulliyyah al-khomsah) yaitu penjagaan agama dalam aspek spiritual; penjagaan jiwa, akal dan keturunan dalam aspek non-materi; dan yang terakhir adalah penjagaan harta dalam aspek materi. Selanjutnya, ketika telah terpenuhi kulliyyah al-khomsah, tingkatan yang lain dapat dipenuhi adalah hajiyat dan tahsiniyat. Hajiyat adalah kepentingan/kebutuhan yang seyogyanya dipenuhi untuk menghilangkan kesulitan dan tahsiniyat merupakan pelengkap kebutuhan dalam kehidupan manusia.
Selanjutnya maqasid Syari’ah terus dikembangkan oleh para ulama setelahnya seperti Imam Syatibi, al-Fasi, Imam Syatibi, Ibn Asyur, dan Abu Zahrah. Pada intinya maqasid Syari’ah harus dijadikan tujuan untuk menuju falah (sukses di dunia dan akhirat) bagi tiap-tiap individu dan dapat diaplikasikan diseluruh aspek kehidupan manusia seperti dalam ekonomi, sosial dan politik. Tanpa realisasinya akan menyebabkan kekacauan dan kerusakan dalam kehidupan manusia. Dalam sisi hukum syari’at, ia berfungsi sebagai penguat isi hukum dengan menghasilkan hikmah dari illatnya untuk manusia sebagai sarana untuk kelangsungan hidupnya di dunia untuk mencapai tujuan akhirat.
Maqasid Syari’ah dari Pengharaman RIba
Diantara tanda keadilan sistem ekonomi Islam ialah pengharaman Riba. Penjelasan itu tertulis dalam Surat al-Baqarah dari ayat 278-279, yaitu dengan tidak mengambil riba maka sesungguhnya kita tidak berbuat kezaliman/ ketidakadilan atas orang lain dan mewujudkan keadilan dalam berekonomi.
Tujuan keadilan merupakan tujuan primer dalam maqasid Syari’ah (Maqasid al-aȿli), dan pelengkapnya (maqasid al-tabi’iyyah) adalah agar teciptanya keadilan dalam pertukaran antara komoditas yang satu dengan yang lainnya yang sejenis (dalam riba fadhl), keadilan dalam usaha yang mana hasilnya bisa saja untung dan rugi (dalam riba qardh), peredaran uang yang alamiah yang mana fungsinya sebagai alat pertukaran, bukan sebagai komoditas yang bisa menghasilkan ketika diperjual belikan (dalam riba nasiah). Karena itu kemaslahatan pengharaman riba itu mendatangkan keadilan dalam sistem ekonomi syariah.
Selanjutnya apa dampak kerugian (mafsadah) dari praktek riba? Tidak dapat dipungkiri bahwa riba merupakan kerusakan kritis, keburukan besar. Dan Islam tidak mensyariatkan kepada manusia kecuali didalamnya ada kemaslahatan bagi manusia di dunia dan akhirat. Beberapa kerusakan yang ditimbulkan oleh riba. Pertama, dampak riba pada akhlak dan ruh. kita tidak menemukan orang-orang yang bermu’amalah dengan riba melainkan orang-orang yang dalam dirinya melekat sifat pelit (bakhil), hati yang sempit, hati yang mati, penghambaan harta, dan rakus terhadap materi yang termasuk dalam sifat hina. Logikanya adalah pinjaman dalam fikih merupakan muamalah kabajikan (tabarru’) dengan memberikan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan yang lebih dari pokoknya. Jika seseorang masih memakan riba atas pinjaman, maka pantas lah perilaku-perilaku yang telah disebutkan melekat padanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa para pelaku riba memilki ketaqwaan yang lemah atas agamanya.
Kedua, dampak riba pada sosial kemasyarakatan. Masyarakat yang bermu’amalah dengan riba merupakan masyarakat sakit dan hancur karena tidak adanya tolong menolong antara masing-masing individu diantara mereka. Seseorang tidak akan membantu orang lainnya melainkan ada sesuatu dibelakangnya yang menyebabkan ia mau membantunya. Dengan riba hubungan sosial di masyarakat makin tidak terjalin dengan baik, bahkan yang muncul ialah eksploitasi dan kekerasan. Karena itu riba dalam beberapa surat al-Qur’an sedekah atau zakat selalu disandingkan sebagai bentuk kontra atau anti tesis dari praktek riba. Sedekah dan zakat adalah simbol dari solidaritas sosial yang memunculkan sifat kedermawanan, tolong menolong, dan perhatian pada sesama di masyarakat.
Ketiga, dampak riba pada ekonomi. Salah satu dampaknya adalah ketimpangan distribusi kekayaan di masyarakat, sehingga yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Lainnya, berdampak kepada inflasi yang mana uang tidak mampu memberikan fungsinya alamiahnya untuk memberikan keadilan sebagai alat pertukaran, tetapi sebaliknya menjadi komoditas dan digunakan untuk hal-hal yang spekulatif dalam aktivitas ekonomi dan keuangan.
Dari sini dapat kita katakan bahwa pengharaman riba merupakan suatu yang penting (dharuriyyat) dalam menjaga kemaslahatan individu-individu dan publik dalam maqasid Syariah. Karena itu Pengharaman riba memiliki hubungan dengan maqasid al-khamsah. Dengan pengharamannya, agama kita akan terjaga karena riba merupakan dosa besar yang harus dijauhi dan melemahkan ketaqwaan kepada Allah Ta’ala. Sifat-sifat tercela seperti pelit, kikir dan rakus terhadap materi akan terjaga dan eksploitasi dan kekerasan atas seseorang akan terjaga dalam kehidupan manusia ketika riba itu diharamkan.
Adapun hubungannya dengan penjagaan akal, menghindari kita dari pemikiran yang materialistik yang mana akal hanya didorong untuk berfikir terhadap materi yang mampu memaksimalkan kepuasannya. Dalam ekonomi Islam, akal digunakan untuk mencapai kemaslahatan di dunia dan akhirat dengan menkonfirmasinya pada kebenaran wahyu. Sedang dalam penjagaan keturunan, menghindari keluarga kita dari jerat hutang yang berbunga yang terus mengikat bagi para peminjamnya.
Terakhir dalam penjagaan harta, dengan pengharaman riba sesungguhnya menjaga harta yang diamanahkan kepada manusia tetap berkah (segala kebaikan dari Allah Ta’ala). Rasulullah saw mengatakan pada Hakim bin Hizam, Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau lagi manis. Barangsiapa yang mencarinya untuk kedermawanan dirinya (tidak tamak dan tidak mengemis), maka harta itu akan memberkahinya. Namun barangsiapa yang mencarinya untuk keserakahan, maka harta itu tidak akan memberkahinya, seperti orang yang makan namun tidak kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.”(HR. Bukhari).
Penutup
Persoalan riba adalah persoalan, individu, kelompok, ummat dan kemanusiaan sehingga pelarangan terhadap riba tidak hanya terjadi didunia Islam saja akan tetapi juga pada agama-agama lain. Karena itu pengharaman riba merupakan syariat yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Kerusakan (mafsad) menyeluruh yang muncul dari praktek riba adalah ketidak adilan (kezaliman), sedangkan pengharamannya mewujudkan keadilan di masyarakat. Sehingga, pengharamannya jelas dalam Qur’an, hadits, dan ijma para ulama.
Karena itu praktek riba berdampak multidimensial kepada kemanusian seperti pada perilaku pelakunya, sosial kemasyarakatan, dan ekonomi. Pengharaman riba merupakan suatu yang dharuriyyat terutama berhubungan dengan penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dengan pengharamannya, tujuan Syari’ah dalam aktivitas ekonomi Islam akan tercapai yaitu falah (kesejahteraan di dunia dan akhirat).