Pondok pesantren telah menjadi buah bibir dalam beberapa waktu ke belakang. Jika pesantren dulu dianggap sebagai lembaga pendidikan alternatif bagi murid-murid nakal dan tidak dapat sekolah formal, saat ini lembaga pendidikan Islam khas Indonesia itu mulai menunjukkan peranan nyata di masyarakat. Peran serta alumni pondok pesantren di berbagai lini mulai dari tingkat RT/RW hingga Wakil Presiden telah membuktikan bahwa pesantren masih memiliki peran untuk mengisi kemerdekaan Indonesia.
Secara teknis, pesantren di Indonesia memiliki dua sistem besar: sistem tradisional dan sistem modern. Jika sistem pertama mengandalkan model pendidikan sorogan dan kitab kuning, maka sistem modern mengusung ide pembelajaran klasikal dan dirasat Islamiyah. Sistem pertama kemudian dikenal dengan istilah salafiyah, sementara sistem kedua dikenal dengan sistem ‘asriyah.
Pada kesempatan kali ini, Wartawan Majalah Gontor, Mohamad Deny Irawan, diperkenankan untuk berbincang tentang sistem pesantren ‘asriyah atau modern melalui wawancara bersama Ketua Forum Komunikasi Pesantren Muadalah (FKPM) sekaligus Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, Prof Dr KH Amal Fathullah Zarkasyi, MA melalui sambungan telepon. Berikut kutipannya:
Apa yang dimaksud dengan Pesantren Muadalah?
Pesantren Muadalah adalah pesantren yang diakui sistem pendidikannya oleh pemerintah. Yang diakui itu sebetulnya sistem pendidikannya bukan pondoknya. Dulu, Gontor telah diakui pemerintah sejak 1998. Oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) pada tahun 2000. Muadalah dari Dikbud itu dimasukkan ke Kemenag. Setelah Sisdiknas, kita harus ikut ke sana. Yang sudah berlaku di Kemenag itu pondok yang sudah diakui di luar negeri itu juga dimasukkan ke muadalah. Jadi kalau prosesnya, Dikbud itu mendatangi Gontor. Mereka menanyakan mata pelajaran, gurunya, muridnya. Kalau Kemenag, sudah diakui semua. Jadi lebih mudah.
Embrio UU Pesantren itu telah terbentuk sejak lama, panjang dan berdarah-darah. Saat kami mengusahakan PMA (Peraturan Menteri Agama) tentang pesantren muadalah itu dulu ramai karena pondok salaf tidak mau ilmu umum. Kita duduk dan rayu, akhirnya mau. Karena jika tidak ada ilmu umum, tidak diakui oleh Kemenag. Bagi Kemenag, aturan adanya pengajaran ilmu umum merupakan harga mati.
Apa fungsi dan peran utama dari keberadaan Forum Komunikasi Pesantren Muadalah?
Kita dulu sering diusulkan oleh Kemenag untuk ikut menyusun Peraturan Menteri Agama. Berhubung peraturannya masih ruwet dan kita sering dihadapkan dengan pemerintah, akhirnya kita ini yang sering dikumpulkan membentuk Forum Komunikasi Pesantren Muadalah. Waktu itu, pembentukannya di Gontor. Kita sepakat untuk membuat organisasi supaya kuat. Akhirnya, saya dipilih (sebagai ketua) sampai sekarang, Hingga hari ini, Kemenag masih melihat kita seperti penyusunan sejumlah PMA dan UU Pesantren.
FKPM terbentuk pada tahun 2007. Sejak itu, tantangan kita sebetulnya makin banyak. Dulu, kami sempat protes karena kita diarahkan untuk masuk diniyah formal supaya pondok kita diakui.
Berapa jumlah pesantren atau lembaga pendidikan Islam yang tergabung dalam FKPM?
Kalau tidak salah 80 pesantren. Jumlahnya memang belum banyak jika dibandingkan jumlah pesantren di Indonesia yang mencapai 23.000-28.000 pesantren. Tetapi, 80 pesantren ini terdiri dari pesantren besar baik salafiyah atau ‘asriyah seperti Gontor, Tebu Ireng, Tremas, Lirboyo, dan Langitan.
Apa yang menjadi syarat bagi sebuah pesantren agar terlibat dalam keanggotaan FKPM?
Syarat pertama ialah kelembagaan pesantren harus diakui pemerintah. Kalau belum diakui tidak boleh masuk FKPM karena pondoknya harus muadalah. Jika belum, FKPM akan membantu dalam menerbitkan rekomendasi pesantren muadalah. Maka, kalau mau mengajukan muadalah, kita dari FKPM bisa memberikan rekomendasi. Sampai hari ini rekomendasi kita masih dipandang.
Bagaimana Anda menyikapi aturan tentang Majelis Masyayikh?
Dalam UU, pesantren dibagi dua: salafiyah dan ‘asriyah/muallimin. Dalam UU itu terlampir keberadaan Majelis Masyayikh dan Dewan Masyayikh yang berfungsi sebagai tim akreditasi. Kalau Majelis Masyayikh berskala nasional, maka Dewan Masyayikh berskala lokal atau dari internal pesantren. Dalam prosesnya, Kemenag membentuk Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) yang mengakomodir masukan dan usulan dari asosiasi-asosiasi pesantren yang ada. AHWA lantas mengajukan 21 nama anggota Majelis Masyayikh.
Tetapi, saat Menteri Agama mengumumkan sembilan anggota Majelis Masyayikh, kami baru menyadari bahwa rekomendasi kami melalui tim AHWA tidak terakomodir. Kami melihat mungkin ada 1 atau 2 nama saja yang selama ini berada di AHWA sementara sisanya murni pilihan Menteri. Keputusan ini yang kemudian mencederai konstitusi karena, secara keanggotaan, AHWA merupakan representasi dari semua asosiasi yang bertugas untuk memilih Majelis Masyayikh. Tetapi, sekali lagi, pilihan Majelis Masyayikh tidak masuk dan yang paling fatal tidak ada perwakilan dari kalangan muallimin.
Dari perspektif model pembelajaran, pesantren terbagi menjadi dua: tradisional (salafiyah) dan modern (khalaf). Di mana posisi FKPM dalam merespons kehadiran dua ‘madzhab’ pesantren tersebut?
Kita ini mengumpulkan semua itu, salafiyah dan asriyah, tujuannya ukhuwwah islamiyah. Ukhuwwah pesantrennya islamiyah. Yang penting, yang kita harapkan ialah mempersatukan semua jenis pesantren yang ada di Indonesia. Teman-teman pesantren lain juga merasakan peran serta kehadiran FKPM.
Bagaimana hubungan antara pemerintah dan pesantren pascapengesahan UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren?
Sebetulnya, hubungannya akomodatif. Karena kita ikut membentuk undang-undang dan membentuk PMA.
Baru-baru ini, pesantren-pesantren anggota FKPM menyelenggarakan program penyetaraan ijazah ke Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Apa pesan yang ingin disampaikan oleh FKPM dalam agenda luar negeri ini?
Syarat untuk mendaftar ke Universitas Al-Azhar adalah muadalah. Kalau tidak muadalah tidak akan diterima dengan cara apapun. Dengan itu, keberangkatan kami ke Mesir dalam rangka me-muadalah-kan pesantren-pesantren di Indonesia. Alhamdulillah, kehadiran kami diterima baik oleh Syekh Al-Azhar, Wakil Syekh Azhar dan Majma’ Buhuts.
Dalam kunjungan ke Mesir, kira-kira ada 50 pesantren muadalah yang ikut. Tapi mereka yang berangkat ada yang belum terdaftar sebagai bagian pesantren muadalah di dalam negeri. Tapi saya dorong supaya pesantren-pesantren tersebut untuk segera mendaftar ke muadalah sepulangnya dari Mesir.
Apa pesan yang ingin FKPM sampaikan saat mendeklarasikan Risalah Tegalsari?
FKPM berusaha memberikan konsep moderasi beragama atau wasathiyah Islam. Konsep wasathiyah Islam ini berbeda dengan konsep moderasi beragama ala Kementerian Agama. Bagi FKPM, konsep wasathiyah dalam Islam itu adalah umat pertengahan. Dalam beribadah, dalam bermuamalah kita tidak boleh ekstrem atau berlebihan. Ekstrem dalam beragama itu terlalu berlebihan. Tapi ekstrem tidak mengamalkan agama juga berlebihan. Islam ada di pertengahan itu. Tapi, sampai ada yang meninggalkan dunia untuk akhirat itu juga ekstrem. Islam itu wasathiyah: Ya dunia ya akhirat.
Bagaimana prospek masa depan bagi dunia pesantren pascapengesahan UU Pesantren?
Alhamdulillah, saya bersama teman-teman FPKM dan FPAG (Forum Pesantren Alumni Gontor) hadir dalam pengesahan undang-undang. Habis itu, insya Allah, ini nanti ada misi ke muadalah atau mualimin dan ini sudah dirasakan. Jadi prospek ke depan, dunia pesantren akan lebih semarak dan lebih bagus lagi dengan adanya Undang-Undang Pesantren itu.
Apa pesan Anda bagi dunia pendidikan pesantren?
Saya melihat bahwa di masa depan, pesantren muallimin lebih menarik bagi masyarakat. Dari pengamatan saya di Banten, jumlah pesantren salafiyah di sana banyak tapi santrinya sedikit sementara pesantren muallimin tidak banyak tapi santrinya lebih banyak. Itu menunjukkan kalau sistem kita diinginkan oleh masyarakat. Dengan demikian, kita tambah mantap untuk mengingatkan pesantren-pesantren lain tentang sistem muallimin. []