Kepulangan Muso dari Moskow melalui Belanda pada Agustus 1948 dinilai TB Simatupang sebagai indikasi awal pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) Madiun. Sejarah mencatat kebengisan PKI yang menculik dan membunuh para kiai yang dianggap musuh.
Amir Syarifuddin yang pada pertengahan 1947 sempat diangkat menjadi Perdana Menteri mewakili Pemerintah Indonesia dalam Perjanjian Renville, secara terang-terangan membuka kedok bahwa ia seorang komunis. Ia bekerjasama dengan Muso menggerakkan PKI untuk mengadakan kudeta dan memproklamasikan Negara Komunis Indonesia.
Sejak itu, Magetan, Ponorogo, Pacitan menjadi sasaran berikutnya. Pesantren menjadi musuh utama PKI karena dalam pesantren terdapat kekuatan yang sangat diperhitungkan. Yel-yel PKI ketika itu adalah: “Pondok bobrok, langgar bubar, santri mati”. Aksi kejam PKI memang berhasil melumpuhkan sejumlah pesantren di Magetan.
Para santri diintimidasi PKI untuk bergabung atau mati. Di antara pesantren yang telah diserang PKI yaitu Pesantren Takeran atau dikenal dengan Pesantren Sabilil Muttaqien, yang dipimpin oleh Kiai Imam Mursjid Muttaqien yang masih berumur 28 tahun, seorang imam Tarekat Syatariyah.
Tepatnya pada tanggal 17 September 1948, seusai shalat Jumat, Kiai Imam Mursjid didatangi oleh para tokoh PKI. Mereka mengajak sang kiai untuk bermusyawarah mengenai Republik Soviet Indonesia. Hingga akhirnya, Kiai Mursjid pun dibawa pergi dan tidak ada kabar lagi.
Tak hanya itu, fakta lain menyebutkan bahwa kiai di Pondok Takeran Magetan telah dihabisi PKI, serta sekitar 168 orang tewas dikubur hidup-hidup. PKI memang terus melakukan penangkapan dan penculikan kepada para ustadz, seperti Ahmad Baidawy, Husein, Hartono, dan Hadi Addaba. Mereka tidak pernah kembali, bahkan sebagian besar ditemukan sudah menjadi mayat di lubang-lubang pembantaian yang tersebar di berbagai tempat di Magetan.
“Saya tahu tentang lubang-lubang yang disiapkan PKI kala itu,” terang KH Hasan Abdullah Sahal, Pimpinan Pondok Modern Gontor, dalam Majelis Virtual Majalah Gontor (19/9).
Tak lama berselang, PKI bergeser ke Ponorogo dengan sasaran Pondok Gontor. Untungnya berita kedatangan PKI sempat bocor dan terdengar Kiai Gontor. KH Ahmad Sahal dan KH Imam Zarkasyi kemudian berdiskusi dengan santri senior, di antaranya Ghozali Anwar dan Shoiman, mencari jalan penyelamatan bagi para santri dan pondok dari keganasan PKI.
Dari musyawarah itu lalu ditetapkan bahwa melawan pemberontak merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Mereka pun akhirnya memutuskan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dengan cara mengungsi. Lalu direncanakan pengungsian ke Trenggalek menuju jalur utara melewati Gunung Bhayangkaki.
Namun belum sempat pengungsian dilakukan, salah seorang utusan pemberontak PKI sudah datang dengan menyampaikan sepucuk surat ancaman ke Pondok Gontor. Isinya agar segenap penghuni pondok menyerah dan tidak meninggalkan pondok. Jika perintah itu dilanggar, maka akan terjadi bencana besar menimpa penduduk pondok.
Mulanya KH Ahmad Sahal dan KH Imam Zarkasyi sempat mempertimbangkan isi surat itu, sampai sekitar pukul 01.00 atau 02.00 dini hari, Lurah Gontor KH Rahmat Soekarto, kakak tertua Trimurti Pendiri Gontor, memanggil mereka ke pendopo. Ia lalu meminta kedua adiknya untuk mengungsi dan membiarkan Pondok Gontor di bawah pengawasannya.
Mendengar pesan kakak tertua, keesokan harinya kedua kiai beserta santri lantas mengungsi secara diam-diam ke Trenggalek. Selama mereka melewati Gunung Sooko sampai masuk ke Desa Ngadirejo suasana terlihat aman terkendali. Namun ketika mereka mulai memasuki Dukuh Gurik, suasana yang tidak diinginkan pun terjadi.
Tiba-tiba rombongan dikejutkan dengan suara kentongan dan kepanikan santri yang berada di barisan depan. Dugaan mereka tidak salah, para gerombolan warok Ponorogo bersenjata golok, tombak, bambu runcing, dan sabit itu tiada lain adalah anggota PKI. Dengan nada kasar mereka pun menginterogasi rombongan Gontor tersebut.
Hingga akhirnya rombongan kiai dan santri ini digiring antek PKI ke kamar tahanan di Dukuh Buyut, Desa Ngadirejo selama semalam. Esok harinya mereka dipindah ke Dukuh Ploso dan keesokan harinya lagi mereka dipindah kembali ke Kecamatan Sooko. Mereka pun ditahan selama dua hari di Sooko, kemudian dipulangkan kembali ke Ponorogo.
Selama ditahan, pakaian mereka dilucuti, tinggal pakaian dalam saja yang tersisa. Mereka semakin khawatir, hingga terjadilah perdebatan antara KH Ahmad Sahal dan KH Imam Zarkasyi tentang siapa yang harus mati, jika terpaksa situasi menghendaki pengakuan salah satu di antara mereka sebagai kiai Gontor karena PKI belum tahu sosok kiai Gontor.
Saat ada ancaman senjata dan pedang terhunus, mereka pun siap berkorban nyawa demi yang lain. Kiai Sahal mengatakan, “Biar aku saja yang mati. Kamu lebih muda, ilmumu lebih banyak. Pesantren ini lebih membutuhkan kamu daripada saya. Saya sudah tua, biar saya saja yang menghadapi PKI itu. Ayo Pak Zar, mencoba badan walau sampai mati.”
Kemudian rombongan Gontor itu dibawa ke belakang Masjid Muhammadiyah Ponorogo (depan Toko Buku La Tansa sekarang). Mereka pun ditaruh di dalam satu ruangan kecil dan di luar sana bom siap diledakkan. Ibaratnya, tinggal beberapa waktu menunggu komando perintah ‘serang’ saja, maka mereka pasti sudah tewas terbunuh.
Untung saat itu reaksi Pemerintah Indonesia sangat cepat dan tepat. Tanggal 22 September 1948 Kabinet Hatta sudah memerintahkan TNI di bawah komando Jenderal Gatot Soebroto untuk menumpas habis PKI dari Solo. Hingga hari demi hari perlawanan terhadap PKI terus berjalan dengan sangat dramatis.
Di Madiun, kaum pemberontak tak bisa melawan. Bahkan belum sempat memberi perlawanan, mereka sudah lari kocar-kacir tak karuan. Di Ponorogo di bawah pimpinan Abdul Choliq Hasyim, putra KH Aang Asy’ari, tentara berhasil meluluhlantakkan pemberontak dan menyelamatkan para tahanan PKI.
Dalam waktu kurang dari sepekan, seluruh aksi PKI di Madiun dan sekitarnya sudah dapat dikalahkan. Muso ditembak mati dan Amir Syarifuddin ditangkap lalu dijatuhi hukuman mati.
Lalu bagaimana keadaan Pondok Gontor? Sehari setelah kiai dan santri mengungsi, PKI betul-betul datang. Mereka hendak membunuh semua penghuni pondok dan menggeledah seluruh isi pondok. PKI mengerahkan serangan tembakan dan bergerombol memasuki pondok dari berbagai arah mata angin. Jumlah mereka sekitar 400 orang.
Setelah mendatangi dan mencerca KH Rahmat Soekarto, pimpinan PKI lantas langsung memasuki pondok dan merusak semua fasilitas, termasuk barang-barang berharga santri. “PKI membakar semua buku berbau Arab dan kitab suci al-Qur’an. Selain itu beberapa asrama juga dibakar,” terang Prof Dr Amal Fathullah Zarkasyi MA, putra Kiai Imam Zarkasyi.
Atas dasar sejarah kelam itu, Gontor sangat setuju untuk memutar film Pengkhianatan G30S/PKI setiap tahun. Tujuannya agar semua generasi muda mengetahui kejahatan PKI. PKI adalah musuh nyata umat Islam. Kiai Hasan menegaskan, “Kudeta-kudeta PKI meski tidak lama namun menimbulkan pemikiran yang merusak hingga sekarang.”
Anak bangsa penting mengerti bahaya laten komunisme. Politik dan kemenangan politik tidak akan menyelesaikan masalah. Sebab yang menyelesaikan masalah itu adalah misi kehidupan. Karena itu berhati-hatilah. “Pemurtadan yang dilakukan PKI akan terus digencarkan, maka sejarah ini sangat mahal sekali,” pungkas Kiai Hasan. []