Pelaksanaan pendidikan di Indonesia dalam masa pandemi COVID-19 telah menuai banyak kontroversi. Pasalnya sebagian orangtua siswa merasa pembelajaran daring (online) yang kini diberlakukan begitu menyulitkan mereka. “Daring bikin pusing,” ujar para ibu yang setiap hari harus mendampingi sang buah hati ketika pelaksanaan pembelajaran daring dilakukan. Namun, tahukah Anda bahwa bukan hanya orangtua yang mengalami stres karena hal ini, bukan pula hanya guru-guru yang perlu bekerja lebih dalam menyiapkan rangkaian pembelajaran. Nyatanya siswa sebagai sasaran dari sistem pendidikan menjadi pihak yang paling dirugikan.
Mari kita lihat ke belakang, Indonesia sebagai negara berkembang dengan sebagian penduduknya berada dibawah garis kemiskinan, bentang alam yang tidak semua memiliki akses sebaik perkotaan, dan sistem pendidikan yang boleh dikatakan kalah dibanding negara sebelah, begitu menyulitkan para siswa. Memang, siswa hanya perlu duduk manis di depan layar tanpa perlu repot-repot pergi ke sekolah, namun pada kenyataannya banyak siswa yang harus menerjang hutan, duduk di atas tebing curam, belajar di area pemakaman demi untuk mendapatkan signal agar tidak tertinggal pembelajaran.
Kondisi di atas diperburuk dengan sistem pendidikan yang jika ditilik lagi begitu berkurang keefektifannya, kita dapat melihat betapa para siswa terbebani oleh tugas yang semakin hari semakin menumpuk. Beberapa tenaga pendidik mungkin telah menyiapkan rangkaian pembelajaran yang efektif dengan memanfaatkan berbagai aplikasi seperti zoom, google meet, lms, dan sebagainya. Meskipun demikian, pada kebanyakan kasus kegiatan tersebut tidaklah bertahan lama, pada akhirnya mayoritas tenaga pendidik hanya akan menyiapkan berbagai tugas tanpa memberikan penjelasan yang layak di setiap materi pembelajaran yang seharusnya dibawakan. Alih-alih menuntut penjelasan yang runtut dari para guru, siswa lebih banyak menerima tugas tersebut dan larut dalam tugasnya sehingga membuat mereka kurang aktivitas fisik. Padahal studi menunjukkan bahwa aktivitas fisik mampu mengurangi gejala-gejala depresi (Craft et al., 1998).
Para siswa yang setiap harinya menghadapi layar elektronik untuk kegiatan pembelajaran, tanpa paham betul apa yang sebenarnya sedang mereka pelajari, dapat membuat para siswa menjadi stres. Hal ini sejalan dengan studi lain yang menunjukkan bahwa peningkatan waktu dalam keadaan diam seiring dengan peningkatan penggunaan gadget berimplikasi pada depresi dan kecemasan (Elhai et al., 2017). Belum lagi perihal materi pembelajaran yang luar biasa beragam harus mampu mereka cermati dengan hanya melihat layar gadget dan menelan bulat-bulat segala tugas yang telah diberikan. Mungkin bagi para siswa tingkat atas seperti universitas sudah mampu untuk berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi ini, namun perlu diperhatikan lebih lanjut bila sistem pembelajaran (menelan bulat-bulat tugas) tersebut diberlakukan bagi para siswa yang berada dalam tahap remaja, seperti pada jenjang SMP dan SMA.
Apalagi bagi para siswa yang usianya lebih muda daripada itu, mereka seharusnya lebih banyak belajar melalui interaksi secara langsung, namun harus dipaksakan untuk menonton layar. Akibatnya, banyak pembelajaran yang seharusnya didapatkan melalui interaksi sosial dalam rangka pembangungan karakter menjadi terganggu.
Sementara pembelajaran mungkin terus berlanjut tanpa hambatan bagi anak-anak dari keluarga berpenghasilan tinggi, anak-anak dari keluarga yang berpenghasilan rendah cenderung berjuang untuk menyelesaikan tugas dan pembelajaran daring dikarenakan keadaan ekonomi mereka. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada sebanyak 26.42 juta orang di Indonesia yang termasuk ke dalam kategori penduduk miskin pada Maret 2020 lalu. Itu artinya kondisi perekonomian keluarga yang ikut turun di masa pandemi memungkinkan banyak orangtua siswa mengeluhkan keterbatasan kuota bagi kelangsungan pendidikan anaknya. Belum lagi perihal siswa yang tidak memiliki gadget pintar sebagai kunci dari pembelajaran dalam jaringan. Mereka harus meminjam kepada temannya yang memiliki gadget tersebut dan menggunakannya secara bergantian.
Tentu saja kondisi ekonomi orangtua di masa pandemi ini menambah beban pemikiran anak-anak mereka. Meskipun telah banyak pihak menyediakan kemudahan dengan membangun ruang-ruang public free wifi, tetap saja ketidakmerataan fasilitas ini menjadi batu sandungan bagi para siswa yang belum mendapatkannya. Lebih dari itu, hal ini sejalan dengan pembelajaran daring yang diperkirakan akan terus menerus diberlakukan. Anak-anak memang memiliki waktu yang lebih banyak dengan keluarga, orangtua pun akan berperan sebagai pendamping mereka ketika kegiatan belajar berlangsung. Hal tersebut sangat baik bagi tumbuh kembang anak.
Di sisi lain, kesenjangan pendidikan antara anak-anak yang berasal dari keluarga dengan perekonomian tinggi dengan yang sebaliknya akan semakin melebar (Alexander et al., 2007). Penelitian menunjukkan bahwa faktor nonsekolah merupakan sumber utama ketidaksetaraan dalam hasil pendidikan (Lancker, 2020). Pandemi yang sedang berlangsung diperkirakan akan menyebabkan resesi ekonomi yang parah. Resesi ekonomi ini mampu memperburuk tingkat kemiskinan anak dengan konsekuensi jangka panjang bagi kesehatan, kesejahteraan, dan hasil belajar mereka (Cantillon et al., 2020).
Oleh karena itu, sudah sepatutnya baik tenaga pendidik maupun orangtua siswa mampu menyediakan dukungan penuh bagi para siswa. Bukan hanya kesehatan mental mereka yang rentan stres diakibatkan ketidaksiapan menghadapi sistem pembelajaran daring, namun mereka pula yang menanggung dampak buruk yang berkepanjangan dari masa pandemi ini, baik dalam bidang pendidikan maupun kesejahteraan sosial. []