Pasang Iklan Pasang Iklan
  • Profil
  • Redaksi & Manajemen
  • Info Iklan
  • Panduan Kebijakan Media
  • Berlangganan Majalah
  • Komplain Majalah
Selasa, 19 Januari, 2021
Gontornews
  • Home
  • GN
  • News
    • Dunia
    • Nasional
    • Nusantara
  • Inspirasi
    • Sirah
    • Dakwah
    • Hidayah
    • Ihwal
    • Jejak
    • Sukses
    • Mujahid
    • Oase
  • Pendidikan
    • Lembaga
    • Buku
    • Beasiswa
    • Risalah
    • Khazanah
    • Keluarga
  • Muamalah
    • Ekonomi
    • Peluang
    • Halal
    • Rihlah
    • Konsultasi
  • Tadabbur
    • Tafsir
    • Hadis
    • Dirasah
  • Values
    • Tausiah
    • Sikap
    • Mahfudzat
    • Cahaya
    • Kolom
    • Afkar
  • Saintek
    • Sains
    • Teknologi
    • Kesehatan
    • Lingkungan
  • Laput
    • #IBF2020
  • Wawancara
  • Gontoriana
    • Pondok
    • Trimurti
    • Risalah
    • Alumni
    • Wali Santri
No Result
View All Result
Gontornews
No Result
View All Result
Home Values Kolom

Mengapa Pembelajaran Daring di Masa Pandemi Menuai Kontroversi di Masyarakat?

Oleh: Hana Lestari MPd (Dosen IAI Sahid) dan Cantika Putri Nindita (Mahasiswa Psikologi UMM)

Rusdiono Mukri by Rusdiono Mukri
13 Agustus 2020
in Kolom
0
Foto: RRI

Pelaksanaan pendidikan di Indonesia dalam masa pandemi COVID-19 telah menuai banyak kontroversi. Pasalnya sebagian orangtua siswa merasa pembelajaran daring (online) yang kini diberlakukan begitu menyulitkan mereka. “Daring bikin pusing,” ujar para ibu yang setiap hari harus mendampingi sang buah hati ketika pelaksanaan pembelajaran daring dilakukan. Namun, tahukah Anda bahwa bukan hanya orangtua yang mengalami stres karena hal ini, bukan pula hanya guru-guru yang perlu bekerja lebih dalam menyiapkan rangkaian pembelajaran. Nyatanya siswa sebagai sasaran dari sistem pendidikan menjadi pihak yang paling dirugikan.

Mari kita lihat ke belakang, Indonesia sebagai negara berkembang dengan sebagian penduduknya berada dibawah garis kemiskinan, bentang alam yang tidak semua memiliki akses sebaik perkotaan, dan sistem pendidikan yang boleh dikatakan kalah dibanding negara sebelah, begitu menyulitkan para siswa. Memang, siswa hanya perlu duduk manis di depan layar tanpa perlu repot-repot pergi ke sekolah, namun pada kenyataannya banyak siswa yang harus menerjang hutan, duduk di atas tebing curam, belajar di area pemakaman demi untuk mendapatkan signal agar tidak tertinggal pembelajaran.

Kondisi di atas diperburuk dengan sistem pendidikan yang jika ditilik lagi begitu berkurang keefektifannya, kita dapat melihat betapa para siswa terbebani oleh tugas yang semakin hari semakin menumpuk. Beberapa tenaga pendidik mungkin telah menyiapkan rangkaian pembelajaran yang efektif dengan memanfaatkan berbagai aplikasi seperti zoom, google meet, lms, dan sebagainya. Meskipun demikian, pada kebanyakan kasus kegiatan tersebut tidaklah bertahan lama, pada akhirnya mayoritas tenaga pendidik hanya akan menyiapkan berbagai tugas tanpa memberikan penjelasan yang layak di setiap materi pembelajaran yang seharusnya dibawakan. Alih-alih menuntut penjelasan yang runtut dari para guru, siswa lebih banyak menerima tugas tersebut dan larut dalam tugasnya sehingga membuat mereka kurang aktivitas fisik. Padahal studi menunjukkan bahwa aktivitas fisik mampu mengurangi gejala-gejala depresi (Craft et al., 1998).

Para siswa yang setiap harinya menghadapi layar elektronik untuk kegiatan pembelajaran, tanpa paham betul apa yang sebenarnya sedang mereka pelajari, dapat membuat para siswa menjadi stres. Hal ini sejalan dengan studi lain yang menunjukkan bahwa peningkatan waktu dalam keadaan diam seiring dengan peningkatan penggunaan gadget berimplikasi pada depresi dan kecemasan (Elhai et al., 2017). Belum lagi perihal materi pembelajaran yang luar biasa beragam harus mampu mereka cermati dengan hanya melihat layar gadget dan menelan bulat-bulat segala tugas yang telah diberikan. Mungkin bagi para siswa tingkat atas seperti universitas sudah mampu untuk berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi ini, namun perlu diperhatikan lebih lanjut bila sistem pembelajaran (menelan bulat-bulat tugas) tersebut diberlakukan bagi para siswa yang berada dalam tahap remaja, seperti pada jenjang SMP dan SMA.

BACA JUGA

Dilema Pembelajaran Tatap Muka Awal Tahun 2021

Maraknya Kebohongan

Hentikan Drama dan Spiral Kekerasan

Puisi Rakitan

Presiden Jokowi, Ajari Kami Keadilan!

Apalagi bagi para siswa yang usianya lebih muda daripada itu, mereka seharusnya lebih banyak belajar melalui interaksi secara langsung, namun harus dipaksakan untuk menonton layar. Akibatnya, banyak pembelajaran yang seharusnya didapatkan melalui interaksi sosial dalam rangka pembangungan karakter menjadi terganggu.

Sementara pembelajaran mungkin terus berlanjut tanpa hambatan bagi anak-anak dari keluarga berpenghasilan tinggi, anak-anak dari keluarga yang berpenghasilan rendah cenderung berjuang untuk menyelesaikan tugas dan pembelajaran daring dikarenakan keadaan ekonomi mereka. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada sebanyak 26.42 juta orang di Indonesia yang termasuk ke dalam kategori penduduk miskin pada Maret 2020 lalu. Itu artinya kondisi perekonomian keluarga yang ikut turun di masa pandemi memungkinkan banyak orangtua siswa mengeluhkan keterbatasan kuota bagi kelangsungan pendidikan anaknya. Belum lagi perihal siswa yang tidak memiliki gadget pintar sebagai kunci dari pembelajaran dalam jaringan. Mereka harus meminjam kepada temannya yang memiliki gadget tersebut dan menggunakannya secara bergantian.

Tentu saja kondisi ekonomi orangtua di masa pandemi ini menambah beban pemikiran anak-anak mereka. Meskipun telah banyak pihak menyediakan kemudahan dengan membangun ruang-ruang public free wifi, tetap saja ketidakmerataan fasilitas ini menjadi batu sandungan bagi para siswa yang belum mendapatkannya. Lebih dari itu, hal ini sejalan dengan pembelajaran daring yang diperkirakan akan terus menerus diberlakukan. Anak-anak memang memiliki waktu yang lebih banyak dengan keluarga, orangtua pun akan berperan sebagai pendamping mereka ketika kegiatan belajar berlangsung. Hal tersebut sangat baik bagi tumbuh kembang anak.

Di sisi lain, kesenjangan pendidikan antara anak-anak yang berasal dari keluarga dengan perekonomian tinggi dengan yang sebaliknya akan semakin melebar (Alexander et al., 2007). Penelitian menunjukkan bahwa faktor nonsekolah merupakan sumber utama ketidaksetaraan dalam hasil pendidikan (Lancker, 2020). Pandemi yang sedang berlangsung diperkirakan akan menyebabkan resesi ekonomi yang parah. Resesi ekonomi ini mampu memperburuk tingkat kemiskinan anak dengan konsekuensi jangka panjang bagi kesehatan, kesejahteraan, dan hasil belajar mereka (Cantillon et al., 2020).

Oleh karena itu, sudah sepatutnya baik tenaga pendidik maupun orangtua siswa mampu menyediakan dukungan penuh bagi para siswa. Bukan hanya kesehatan mental mereka yang rentan stres diakibatkan ketidaksiapan menghadapi sistem pembelajaran daring, namun mereka pula yang menanggung dampak buruk yang berkepanjangan dari masa pandemi ini, baik dalam bidang pendidikan maupun kesejahteraan sosial. []

 

Tags: Pembelajaran daringStres
Share8Tweet5Send
Previous Post

Beasiswa S1 / S2 di Monash University

Next Post

Menyikapi Kemerdekaan di Tengah Pandemi COVID-19

Rusdiono Mukri

Rusdiono Mukri

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Klik Untuk Memesan Buku

  • Trending
  • Comments
  • Latest
Kehidupan Muslim Timor Leste

Kehidupan Muslim Timor Leste

15 Maret 2020
Informasi Pendaftaran Santri Baru Ma’had Al-Muqoddasah Li Tahfidzil Qur’an

Informasi Pendaftaran Santri Baru Ma’had Al-Muqoddasah Li Tahfidzil Qur’an

22 Desember 2020
Lima Makanan Herbal Membantu Mengobati Cikungunya

Lima Makanan Herbal Membantu Mengobati Cikungunya

19 September 2018
foto: kompas.com

Merdeka Belajar: Konsep dan Implementasi di Era Digital

29 Februari 2020
Amanah dan Tanggung Jawab Pemimpin

Amanah dan Tanggung Jawab Pemimpin

19 Agustus 2018
Kementerian Kesehatan dan Pencegahan UEA mengatakan jumlah total kasus COVID-19 sejak pandemi dimulai telah mencapai 256.732, sedangkan jumlah kematian naik menjadi 751. (File / Reuters)

UEA Catat Jumlah Kasus COVID-19 Tertinggi Sejak Pandemi Dimulai

19 Januari 2021
Busyro Muqoddas: Bahaya Ancaman Oligarki Bisnis dan Politik, KPK Melemah!

PP Muhammadiyah: Kasus Penembakan 6 FPI Pelanggaran HAM Berat

19 Januari 2021
Foto: kesatu.co

HNW Pinta Menag Realisasikan Bantuan Mahasiswa Perguruan Tinggi Agama di Luar Negeri

19 Januari 2021
Covid-19 Meningkat, Jepang Siap Melindungi Sistem Kesehatan

Covid-19 Meningkat, Jepang Siap Melindungi Sistem Kesehatan

19 Januari 2021
Covid-19 Meningkat, Sistem Kesehatan Ghana Rusak

Covid-19 Meningkat, Sistem Kesehatan Ghana Rusak

19 Januari 2021
Gontornews

Kantor:
Jalan Raya RS Fatmawati Jl. Madrasah Taman Sejahtera No.1A RT.06 RW.03 (Area Masjid Jami' Al-Munir) Gandaria Selatan, Cilandak, Jakarta Selatan
Telp: 021-29124801
021-29124802
Email:
sirkulasi@gontornews.com
iklan@gontornews.com
penjualan@gontornews.com

Cari

No Result
View All Result

Tentang Kami

  • Profil
  • Redaksi & Manajemen
  • Info Iklan
  • Panduan Kebijakan Media
  • Berlangganan Majalah
  • Komplain Majalah

© 2018 gontornews.com. All Rights Reserved

  • Home
  • GN
  • News
    • Dunia
    • Nasional
    • Nusantara
  • Inspirasi
    • Sirah
    • Dakwah
    • Hidayah
    • Ihwal
    • Jejak
    • Sukses
    • Mujahid
    • Oase
  • Pendidikan
    • Lembaga
    • Buku
    • Beasiswa
    • Risalah
    • Khazanah
    • Keluarga
  • Muamalah
    • Ekonomi
    • Peluang
    • Halal
    • Rihlah
    • Konsultasi
  • Tadabbur
    • Tafsir
    • Hadis
    • Dirasah
  • Values
    • Tausiah
    • Sikap
    • Mahfudzat
    • Cahaya
    • Kolom
    • Afkar
  • Saintek
    • Sains
    • Teknologi
    • Kesehatan
    • Lingkungan
  • Laput
    • #IBF2020
  • Wawancara
  • Gontoriana
    • Pondok
    • Trimurti
    • Risalah
    • Alumni
    • Wali Santri
No Result
View All Result

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com