Landasan Teologis
وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا لَعِبٌ وَّلَهْوٌۗ وَلَلدَّارُ الْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
Kehidupan dunia hanyalah permainan dan kelengahan, sedangkan negeri akhirat itu sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti? (QS Al-An’am: 32 )
Interpretasi Para Mufasir
Dalam Tafsir as-Sa’di disebutkan, ayat ini menyebutkan hakikat dunia dan akhirat. Adapun hakikat dunia, main-main dan senda gurau, main-main pada badan dan senda gurau pada hati. Hati cenderung kepadanya, jiwa mencintainya, ambisi-ambisi terkait dengannya, dan menyibukkan diri dengannya. Contohnya seperti permainan anak-anak.
Adapun akhirat, “lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa,” berupa kenikmatan hati dan ruh, bukan dengan banyaknya kebahagiaan dan kesenangan. Mereka yang taat dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya. “Maka tidakkah kamu memahaminya?”, maksudnya apakah kamu tidak memiliki akal yang dengannya kamu mengetahui rumah manakah yang lebih layak diutamakan?
Dalam tafsir Abu Hayyan disebutkan bahwa permainan (la’ibun) merupakan kegiatan mengalihkan perhatian dari yang bermanfaat ke yang tidak bermanfaat. Adapun senda gurau (lahwun) adalah mengalihkan perhatian dari yang serius ke bercanda.
Lebih rinci lagi Ibnu Al-Qayyim menjelaskan dalam tafsirnya, la’ibun itu permainan untuk anggota tubuh, sedangkan lahwun hiburan untuk hati, sebagaimana dalam surat al-Anbiya ayat 3. Allah SWT berfirman:
لَاهِيَةً قُلُوْبُهُمْۗ وَاَسَرُّوا النَّجْوَىۖ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْاۖ هَلْ هٰذَآ اِلَّا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْۚ اَفَتَأْتُوْنَ السِّحْرَ وَاَنْتُمْ تُبْصِرُوْنَ
(Dan) hati mereka dalam keadaan lalai. Mereka, orang-orang yang zalim itu, merahasiakan pembicaraan (dengan saling berbisik), “Bukankah (orang) ini (Nabi Muhammad) tidak lain hanyalah seorang manusia seperti kamu? Apakah kamu mengikuti sihir itu padahal kamu menyaksikannya?” (QS Al-Anbiya’: 3)
Dalam tafsir Al-Mukhtashar disebutkan, kehidupan dunia yang mereka cintai itu tidak lain hanyalah permainan dan tipu daya belaka bagi orang yang tidak mau melakukan apa yang diridhai Allah. Sedangkan negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang takut kepada Allah dengan melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka, yaitu beriman dan patuh kepada-Nya, dan meninggalkan apa yang terlarang bagi mereka, yaitu berbuat syirik dan melakukan maksiat.
Tidakkah kalian memikirkan hal itu, wahai orang-orang musyrik? Sehingga kalian nantinya akan beriman dan beramal shalih.
Allah SWT berfirman:
وَمَا هٰذِهِ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا لَهْوٌ وَّلَعِبٌۗ وَاِنَّ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُۘ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ
Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah senda gurau dan permainan. Sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya seandainya mereka mengetahui. (QS Al-Ankabut: 63)
Nilai-nilai Pedagogis
QS Al-An’am: 32 mengandung nilai-nilai pedagogis, nilai-nilai pendidikan bagi manusia. Pertama, mendidik hamba-Nya agar senantiasa beriman dan bertakwa kepada Allah. Kedua, mengajarkan hamba-Nya agar menjadikan dunia sebagai alat memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ketiga, senantiasa menyadari bahwa apa yang kita miliki itu milik Allah dan akan dimintai pertanggungjawaban. Keempat, mendidik hamba-Nya agar senantiasa bersyukur atas karunia-Nya dan menjauhi sikap hubud-dunya.
Tujuan Manusia dan Jin Diciptakan
Allah SWT berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS Az-Zariyat: 56)
Imam As-Sa’di dalam kitab Tafsir As-Sa’di mengatakan bahwa tujuan Allah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah dan Rasul diutus untuk menyampaikan tujuan tersebut. Tujuan tersebut yaitu menyembah Allah yang mencakup berilmu tentang Allah, mencintai-Nya, kembali kepada-Nya, menghadap kepada-Nya dan berpaling dari selain-Nya.
Semua tujuan itu tergantung pada ilmu tentang Allah, kesempurnaan ibadah itu tergantung pada ilmu dan ma’rifatullah. Semakin bertambah pengetahuan seorang hamba terhadap Rabbnya, maka ibadahnya akan semakin sempurna.
Dan inilah tujuan Allah menciptakan jin dan manusia yang diberi beban taklif, dan Allah menciptakan mereka bukan karena mereka diperlukan oleh Allah.
Allah akan menjamin dunia jika tujuan seseorang hanya untuk beribadah kepada-Nya dan mempersiapkan hari kemudian. Maka Allah akan penuhi dadamu dengan kekayaan (kecukupan) dan kefakiranmu ditutup Allah.
Rasulullah SAW bersabda:
يَا ابْنَ آدَمَ ! تَفَرَّغْ لِعِبَادَتِـيْ أَمْلَأُ صَدْرَكَ غِنًـى وَأَسُدُّ فَقْرَكَ ، وَإِلَّا تَفْعَلْ مَلَأْتُ يَدَيْكَ شُغْلًا وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ
Wahai anak Adam! Curahkanlah (gunakanlah) waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kekayaan (kecukupan) dan Aku tutup kefakiranmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan dan Aku tidak akan tutup kefakiranmu.
(HR Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Mâjah, dan Al-Hâkim)
Hakikat dunia menurut Syekh Wahbah Zuhaili bagi orang beriman sebagai tempat persinggahan sementara untuk menuju akhirat. Seyogianya menjadikan dunia sebagai tempat untuk beribadah kepada Allah SWT dan mengumpulkan bekal untuk akhirat.
Rasulullah SAW bersabda:
الْكَيْسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
Orang cerdas adalah yang bermuhasabah atas dirinya dan beramal untuk setelah kematian. Orang lemah adalah siapa saja yang dirinya mengikuti hawa nafsunya lalu ia berangan-angan terhadap Allah. (HR Ahmad)
Permainan dan Kesenangan Dunia
Allah SWT berfirman:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۗ وَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ
Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik. (QS Ali Imran: 14)
Dunia tempat kesedihan, bukan tempat kebahagiaan. Dunia seperti khayalan (mimpi) sesaat yang belum juga kita puas menikmatinya, tiba-tiba diumumkan untuk berangkat (menuju tempat tujuan).
Nabi SAW bersabda:
مَالِيْ وَلِلدُّنْيَا ؟ مَا أَنَا وَالدُّنْيَا؟ إِنَّمَا مَثَلِيْ وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رَاكِبٍ ظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
Apalah artinya dunia ini bagiku?! Apa urusanku dengan dunia?! Sesungguhnya perumpamaanku dan perumpamaan dunia ini ialah seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon, ia istirahat (sesaat) kemudian meninggalkannya. (HR Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Mâjah, dan al-Hâkim)
Jauhilah juga panjang angan-angan, merasa masih berusia panjang merupakan penyakit berbahaya dan kronis bagi manusia. Jika penyakit ini menjangkiti seorang Muslim, maka itu akan membawa kepada indikasi yang lebih serius. Misalnya ia mulai menjauhi perintah Allâh, enggan bertobat, cinta kepada dunia, lupa akan kehidupan akhirat yang abadi, dan membuat hati menjadi keras. Allah SWT berfirman:
ذَرْهُمْ يَأْكُلُوْا وَيَتَمَتَّعُوْا وَيُلْهِهِمُ الْاَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُوْنَ
Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan, bersenang-senang, dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong). Kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya). (QS Al-Hijr: 3)
‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu berkata: Sesungguhnya dunia akan pergi meninggalkan kita, sedangkan akhirat pasti akan datang.
Nabi SAW bersabda:
إِنَّمَا يَكْفِي أَحَدَكُمْمِنَ الدُّنْيَا كَزَادِ الرَّاكِبِ
Sesungguhnya cukup bagi kalian di dunia ini seperti bekal orang yang dalam perjalanan. (HR Abu Ya’la dan At-Thabrani)
Akibat Mencintai Dunia
Lalu apa akibat mencintai dunia yang la’ibun wa lahwun tersebut? Pertama, pecinta dunia tidak akan terlepas dari tiga hal seperti disebutkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Mawâridul Amân al-Muntaqa min Ighâtsatil Lahafân:
مُـحِبُّ الدُّنْيَا لَا يَنْفَكُّ مِنْ ثَلَاثٍ: هَمٌّ لَازِمٌ، وَتَعَبٌ دَائِمٌ، وَحَسْرَةٌ لَا تَنْقَضِى
Pecinta dunia tidak akan terlepas dari tiga hal: (1) Kesedihan (kegelisahan) yang terus-menerus, (2) Kecapaian (keletihan) yang berkelanjutan, dan (3) Penyesalan yang tidak pernah berhenti.
Kedua, usahanya sia-sia di akhirat kelak. Allah SWT berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا وَزِيْنَتَهَا نُوَفِّ اِلَيْهِمْ اَعْمَالَهُمْ فِيْهَا وَهُمْ فِيْهَا لَا يُبْخَسُوْنَ ١٥اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ لَيْسَ لَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ اِلَّا النَّارُۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوْا فِيْهَا وَبٰطِلٌ مَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ١٦
Siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan kepada mereka (balasan) perbuatan mereka di dalamnya dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, sia-sialah apa yang telah mereka usahakan (di dunia), dan batallah apa yang dahulu selalu mereka kerjakan. (QS Hud: 15-16)
Ketiga, Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kefakiran. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَـهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ جَمَعَ اللهُ لَهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِـيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَـتْهُ الدُّنْـيَا وَهِـيَ رَاغِمَـةٌ
Barangsiapa tujuan hidupnya dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya negeri akhirat, Allâh Azza wa Jalla akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. (HR Ahmad, Ibnu Mâjah, Ibnu Hibbân, dan al-Baihaqi)
Mengokohkan Tujuan Hidup
Karena itulah kita harus berupaya menghindari kehidupan dunia yang la’ibun wa lahwun untuk mengokohkan tujuan hidup. Untuk itu, menurut Al-Qur’an, ada sejumlah langkah yang harus kita lakukan:
Pertama, menjauhi sikap berbangga-bangga dunia. Allah SWT berfirman:
اَلْهٰىكُمُ التَّكَاثُرُۙ (١)
حَتّٰى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَۗ (٢)
كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُوْنَۙ (٣)
ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُوْنَ (٤)
Berbangga-bangga dalam memperbanyak (dunia) telah melalaikanmu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Sekali-kali tidak (jangan melakukan itu)! Kelak kamu akan mengetahui (akibatnya). (QS At-Takatsur: 1-4)
Kedua, berinfak di jalan Allah dan senantiasa berbuat baik. Allah SWT berfirman:
وَاَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS Al-Baqarah: 195)
Ketiga, senantiasa berjuang di jalan Allah dan tidak menunda sesuatu hal. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبِي فَقَالَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ [وَعُدَّ نَفْسَكَ مِنْ أَهْلِ الْقُبُوْرِ] وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku, lalu bersabda, ‘Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau seorang musafir’ [dan persiapkan dirimu termasuk orang yang akan menjadi penghuni kubur (pasti akan mati)].”
Dan Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma pernah mengatakan, “Jika engkau berada di sore hari, janganlah menunggu pagi hari. Dan jika engkau berada di pagi hari, janganlah menunggu sore hari. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum sakitmu dan hidupmu sebelum matimu.” (HR Imam Bukhari)
Keempat, berdzikir kepada Allah. Rasalullah SAW bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ
“Dunia itu terlaknat dan segala yang terkandung di dalamnya pun terlaknat, kecuali orang yang berdzikir kepada Allah, yang melakukan ketaatan kepada-Nya, seorang ‘alim atau penuntut ilmu syar’i.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Kelima, memikirkan apa yang diperbuat untuk hari esok. Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Hasyr: 18)
Keenam, janganlah lalai karena harta benda dan anak-anakmu. Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُلْهِكُمْ اَمْوَالُكُمْ وَلَآ اَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta bendamu dan anak-anakmu membuatmu lalai dari mengingat Allah. Siapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS Al-Munafiqun: 9)
Kisah Teladan
Sebuah kisah teladan yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwatha’-nya, tepatnya dalam “Kitâb al-Janâ’iz, Bâb Jâmu‘ al-Hisbah fî al-Mushîbah,”.
Pada suatu ketika, Muhammad ibnu Ka‘b al-Qurazhî bertakziah kepada al-Qasim ibn Muhammad saat istrinya meninggal. Rupanya, ulama tersebut begitu terkesan dan sangat cinta terhadap istrinya. Sehingga karena kesedihannya, ia sampai mengurung diri dan tidak mau bergaul dengan masyarakat. Bahkan, tidak mau dijenguk siapa pun.
Suatu hari, datanglah kepadanya seorang perempuan yang ingin menemuinya dan meminta fatwa kepadanya. Dengan sabar, si perempuan menunggu di depan pintu rumahnya. Namun, sang ulama yang ditunggu tetap menolak memenuhi permintaan si perempuan. Tapi, si perempuan tak putus asa. Ia terus bertahan di depan rumahnya, hingga seorang di antara mereka membantunya menyampaikan kepada sang ulama, “Ada seorang wanita yang ingin meminta fatwamu. Ia ingin sekali bertemu denganmu. Walau orang-orang sudah pergi, ia tetap tidak jauh dari pintu rumahmu.”
Akhirnya sang ulama berkenan menerima tamu si perempuan dan berkata, “Jika begitu, izinkahlah ia masuk.”
Setelah mendapat izin, sang wanita pun masuk dan menyampaikan, “Aku datang kepadamu untuk meminta fatwa tentang sesuatu.”
“Tentang apa itu?” tanya sang ulama.
Sang wanita lalu menyampaikan pertanyaannya, “Aku meminjam perhiasan dari tetanggaku. Aku pun memakainya hingga beberapa lama. Namun kemudian mereka mengirim utusan kepadaku untuk mengembalikan perhiasan itu. Pertanyaannya, apakah aku harus mengembalikannya?”
Sang ulama pun terkejut dengan pertanyaan yang sudah bisa ditebak jawabannya. Selama beberapa saat sang ulama diam tak bicara. Akhirnya, ia buka suara, “Demi Allah, tentu saja perhiasan itu harus dikembalikan. “Itu lebih berhak engkau kembalikan kepada mereka. Apalagi mereka telah meminjamimu selama beberapa lama.”
Mendapat jawaban itu, si perempuan berkomentar, “Semoga Allah merahmatimu. Lantas mengapa engkau bersedih atas apa yang telah Allah pinjamkan kepadamu?
Dulu Dia pinjamkan seorang istri kepadamu, lalu sekarang Dia mengambilnya lagi. Padahal Dia lebih berhak atasnya.”
Sang ulama pun sadar atas apa yang disampaikan perempuan yang ada di hadapannya. Di saat yang sama, Allah pun memberikan manfaat atas apa yang diucapkan si perempuan.
Sesungguhnya, apa yang dicontohkan oleh perempuan itu hanyalah perumpamaan terhadap keadaan sang ulama yang ditinggal oleh istrinya. Bagi seorang suami, istri ibarat harta pinjaman dan titipan yang harus dikembalikan. Begitu pula dengan semua harta dan kekayaan dunia lainnya. Semuanya akan ditarik dan dikembalikan kepada Allah.
Setelah perempuan itu mengumpamakan keadaan sang ulama, barulah ulama itu mau mengambil pelajaran dan manfaat dari nasihatnya.
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْفَقْرِ وَالْقِلَّةِ وَالذِّلَّةِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kekurangan, kehinaan. Aku juga memohon perlindungan kepada-Mu dari menganiaya atau dianiaya.” (HR Nasa’i) []