Manila, Gontornews — Pemimpin Muslim di Mindanao, Filipina, menghimbau Presiden Rodrigo Duterte untuk menunda undang-undang baru yang mengatur tentang kriminalisasi pelaku pernikahan usia dini di seluruh negeri. Mereka menganggap praktik pernikahan dini masih merupakan bagian integral dari budaya pemerintah.
Sebagai informasi, pemerintah Filipina, Kamis (6/1/2022), mengesahkan UU Republik Nomor 11596 tentang larangan praktik pernikahan anak berikut dengan pemberlakuan sanksi. Dua organisasi masyarakat, Bangsamoro Transition Authority (BTA) dan Bangsamoro Autonomous Region of Muslim Mindanao (BARMM) mengeluarkan resolusi yang meminta Presiden Duterte menghentikan penerapan undang-undang tersebut.
βKami meminta Presiden untuk mempertimbangkan kembali dan memveto undang-undang tersebut,β ungkap Menteri Tenaga Kerja dan Ketenagakerjaan BARMM, Romeo Sema, kepada media lokal Filipina, Inquirer.
Presiden menandatangani undang-undang itu pada 10 Desember untuk mengakui perlunya menghapus semua praktik, struktur tradisional dan budaya yang melanggengkan diskriminasi, pelecehan, eksploitasi seperti pernikahan anak.
Melalui undang-undang tersebut, pelanggar yang mengatur, memfasilitasi atau mengatur pernikahan anak akan menghadapi denda maksimal 40.000 Peso atau 1,1 juta Rupiah atau hukuman penjara 12 tahun.
βNegara mengakui peran perempuan dalam pembangunan bangsa. Karenanya, pemerintah harus melindungi dan mempromosikan pemberdayaan mereka. Ini mencakup penghapusan struktur dan praktik yang tidak setara yang melanggengkan diskriminasi dan ketidaksetaraan,β kata Sema.
βItu budaya. Sangat sulit untuk diubah,β ucap Sema.
Sementara itu, Anwar Emblawa, seorang pemimpin Muslim di kota Shariff Aguak di Maguindanao, mengatakan Islam memperbolehkan pernikahan jika seorang wanita sudah mencapai akil baligh. βDalam Islam, tidak ada batasan usia (bagi anak perempuan) untuk menikah. Selama seorang gadis mencapai usia pubertas, (dia dan suaminya) diizinkan untuk menikah,β jelas Anwar. [Mohamad Deny Irawan]