Jakarta, Gontornews — Pemerintah memastikan bahwa biaya haji bagi 10 ribu jemaah kuota tambahan tidak bersumber dari APBN. Demikian disampaikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam rapat kerja bersama Komisi VIII DPR tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) Kuota Tambahan di Senayan, Jakarta.
“Kementerian Keuangan menyatakan APBN hanya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan operasionalisasi petugas haji, tidak untuk membiayai kegiatan dan atau keperluan seperti akomodasi, konsumsi, dan transportasi jemaah haji,” jelas Menag seperti dikutip laman resmi Kemenag (17/5)
Sebelumnya, pada rapat kerja antara Komisi VIII DPR dengan Pemerintah pada 23 April 2019 lalu disepakati tambahan anggaran BPIH sebesar Rp 353 miliar sebagai konsekuensi dari bertambahnya kuota haji tahun ini. Sebesar Rp 183,7 miliar di antaranya semula direncanakan akan diambil dari APBN Bagian Anggaran – Bendahara Umum Negara (BA-BUN).
Namun setelah dilakukan kajian hukum disimpulkan hal tersebut tidak dapat dilakukan. Regulasi tidak memungkinkan. Karena APBN hanya terkait dengan petugas atau secara tidak langsung dengan jemaah. Untuk mengatasi hal tersebut, Menag mengusulkan solusi guna menutup kekurangan sebesar Rp 183,7 miliar.
Pertama, terkait tambahan nilai manfaat keuangan haji dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan BPKH bersedia menyediakan Rp 100 miliar dari tambahan nilai manfaat keuangan haji.
“Dari kekurangan Rp 183,7 miliar tersebut, Kemenag bersyukur BPKH bersedia memberikan tambahan nilai manfaat keuangan haji sehingga bisa menyisihkan Rp 100 miliar untuk menutup kekurangan tersebut. Tersisa Rp 83,7 miliar,” terang Menag.
Kedua, relokasi tambahan efisiensi pengadaan layanan di Arab Saudi oleh Kementerian Agama. Ia mengungkapkan realisasi penggunaan dana pengadaan akomodasi di Makkah ternyata dapat dilakukan efisiensi sebesar Rp 50 miliar.
“Setelah pada raker sebelumnya, 23 April 2019 lalu relokasi efisiensi pengadaan akomodasi di Makkah bisa menyisihkan Rp 50 miliar, dan sekarang hal yang sama bisa dilakukan kembali. Sehingga sisa kekurangan menjadi Rp 33,7 miliar,” lanjut Menag.
Untuk menutup kekurangan tersebut, maka dilakukan tiga langkah rasionalisasi anggaran. Pertama, penyesuaian jumlah kloter untuk 10 ribu jemaah. “Yang semula 25 kloter menjadi 20 kloter, bisa dilakukan dengan melakukan pemadatan penerbangan,” imbuhnya.
Kedua, melakukan penghapusan biaya safeguarding khusus untuk 10 ribu jemaah, dengan asumsi tidak lagi diperlukan untuk tambahan 10 ribu. Namun, biaya safeguarding untuk kuota sebelumnya tetap ada. Rasionalisasi ketiga, dengan melakukan penyesuaian biaya satuan manasik haji di KUA.
Semula Panja telah menyepakati biaya satuan manasik haji di KUA sebesar Rp 85 ribu per jemaah. Namun, karena anggaran tidak dapat dipenuhi oleh APBN BA-BUN maka dilakukan rasionalisasi biaya satuan manasik menjadi Rp 63.092,- per jemaah. “Dengan perhitungan tersebut total rasionalisasi yang bisa dilakukan sebesar Rp 33,7 miliar,” jelas Menag.
Maka besaran kebutuhan anggaran untuk 10 ribu jemaah kuota tambahan yang semula sebesar Rp 353,7 miliar berubah menjadi Rp 319 miliar. Terkait kebutuhan dana Rp 319 miliar, dengan dana yang tersedia hasil raker terdahulu Rp 170 miliar, masih ada kekurangan dana Rp 149,9 miliar.
“Ini bisa ditutupi dengan tambahan nilai manfaat dari BPKH sebesar Rp 100 miliar dan tambahan efisiensi akomodasi Makkah sebesar Rp 49,9 miliar. Dengan begitu seluruh kekurangan tambahan anggaran bisa ditutupi dari kedua sumber tersebut,” imbuhnya.
Terkait penyediaan anggaran sebesar Rp 100 miliar yang bersumber dari tambahan nilai manfaat pengelolaan keuangan haji, Kepala BPKH Anggito Abimanyu menyampaikan kesiapannya. Dikatakannya, per 1 April 2019, dana BPKH telah terkumpul sebesar Rp 115 triliun. Jadi aman dan tidak berkurang. “Bahkan meningkat Rp 10 triliun dibandingkan tahun lalu,” kata Anggito. [Muhammad Khaerul Muttaqien]