Jika tidak ada halangan merintang, Arab Saudi akan kembali membuka pelayanan haji bagi masyarakat internasional. Bukan hal yang mudah bagi Arab Saudi untuk membuka pelayanan haji tahun 2022. Belum adanya kepastian kapan pandemi Covid-19 berakhir menjadi penyebabnya. Namun, tingginya angka antrean jamaah haji dari setiap negara bisa jadi pertimbangan pemerintah Arab Saudi dalam menetapkan pelaksanaan haji tahun ini.
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Agama, telah merilis bahwa 100.051 jamaah haji Indonesia yang akan berangkat ke Makkah. Tentu saja angka ini bukanlah jumlah yang sedikit mengingat ‘janji’ pemerintah Arab Saudi kepada negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk memberikan kesempatan bagi satu tiap seribu orang Muslim melaksanakan ibadah haji.
Menurut Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji Umrah Republik Indonesia (Amphuri), masa tunggu haji reguler di Indonesia mencapai rata-rata 35 tahun. Belum lagi haji khusus yang berbiaya mahal, antrean tunggu mencapai 7-8 tahun. Lagi-lagi, pandemi menjadi penyebab semakin lamanya antrean haji tersebut.
Sempat muncul ide haji furoda (visa mujamalah) atau haji yang berangkat dengan menggunakan undangan khusus dari Kerajaan Arab Saudi tanpa mengikuti mekanisme antrean. Bisa berangkat langsung. Tetapi biayanya, lebih mahal. Sekitar 2 kali lipat biaya haji khusus. Pun soal keberangkatan, belum ada kepastian, karena belum ada rilis resmi tentang berapa jumlah jamaah haji furoda yang akan diberangkatkan.
Tetapi, satu yang pasti, pemerintah maupun asosiasi penyelenggara ibadah haji seperti Amphuri menganggap pelaksanaan ibadah haji ini sebagai ujian. Jika sukses, kemungkinan besar kuota haji akan menjadi normal, berkisar di angka 220 ribu jamaah, atau bahkan bertambah jika mengacu visi 2030 Arab Saudi yang menargetkan kunjungan 30 juta jamaah haji.
Tidak terkecuali Arab Saudi sebagai negara penyelenggara. Negara Kerajaan tersebut menetapkan kebijakan ketat: melarang keberangkatan jamaah haji berusia 65 tahun ke atas, mewajibkan vaksinasi, melakukan tes PCR sebelum keberangkatan dan hanya mengizinkan 1 juta dari total 3 juta kapasitas jamaah haji.
Euforia haji ini tentu saja perlu disambut dengan gegap gempita. Banyak jamaah haji Indonesia yang sangat mendambakan berangkat ke Baitullah demi melengkapi rukun Islam yang ke-5. Hanya karena pandemi, kesempatan itu urung terlaksana. Jika selama ini uang menjadi kendala, maka akhir-akhir ini yang menjadi kendala risiko usia. Itulah mengapa Arab Saudi tegas memegang teguh prinsip Hifz Nafs (melindungi jiwa) sebagai prioritas utama.
Bukan bermaksud untuk mencari persamaan, tetapi apa yang dialami oleh calon jamaah haji juga dialami oleh calon pelajar Pondok Modern Darussalam Gontor. Sebetulnya, tidak hanya di Gontor, tingginya animo masyarakat untuk menjadikan pesantren sebagai tempat menuntut ilmu bagi putra-putrinya juga banyak terjadi di pesantren lain.
Jika keberangkatan haji tahun 2020 dan 2021 terkendala pandemi, pendaftaran Gontor justru mencapai puncaknya. Meskipun tidak ada perincian secara angka, namun ramainya pendaftar yang diikuti dengan proses keberangkatan calon pelajar Gontor melalui Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) di daerah menjadi buktinya. Bekasi misalnya, pada tahun 2020, keberangkatan calon pelajar mencapai 374 santri. Sementara pada tahun 2021, jumlah calon pelajar yang berangkat dari IKPM Bekasi mencapai 342 anak dengan perincian 200 putra dan 142 putri.
Sejak satu tahun terakhir, para calon pelajar mempersiapkan diri dengan baik mulai dari persiapan administratif, fisik hingga mental. Para calon pelajar belajar dengan teguh mempersiapkan ujian masuk Gontor dengan baik, mulai dari pembelajaran Al-Quran & Tajwid, doa-doa harian, bacaan-bacaan shalat, Berhitung Angka, Berhitung Soal dan Imla (dikte bahasa Arab). Para peserta pun dengan seksama mengikuti program-program yang dilaksanakan oleh IKPM melalui program Bimbingan Masuk Gontor.
Tidak cukup di situ, wali santri calon pelajar pun juga berjibaku dengan tugasnya: menyiapkan mental keluarga untuk memondokkan/jauh dari anak, memastikan ketersediaan biaya, memastikan persetujuan dari keluarga hingga melakukan upaya agar segala urusan-urusan, secara administratif, sekolah selesai tepat waktu sebelum putra-putrinya melakoni keberangkatan ke Gontor.
Saat pandemi, Gontor tidak mengizinkan kedatangan wali. Maksudnya sama, _hifz nafs,_ menjaga keselamatan seluruh penghuni Gontor mulai dari santri, guru hingga pimpinan pondok. Jika tahun 2020, Gontor mengharuskan para calon pelajar, santri dan guru melakukan tes antibodi, maka tahun 2021, Gontor mewajibkan tes antigen kepada seluruh keluarga besarnya 1 x 24 jam jelang jadwal keberangkatan ke Gontor.
Sebagai konsekuensi, semua tanggung jawab calon pelajar selama di pondok menjadi kewenangan penuh pondok dan pembimbing Bimago yang mendampingi. Semua satu komando. Setiap kebijakan dan aturan menjadi domain penuh pondok termasuk larangan kunjungan wali yang, pada akhirnya, nekad berangkat untuk sekedar mengucap kabar kepada anaknya yang berpisah dalam kurun kurang lebih 10 hari.
Suasana haru pun hadir di setiap kegiatan calon pelajar, mulai dari keberangkatan, suasana pembelajaran harian, permohonan doa jelang ujian dan, yang paling haru, pengumuman hasil ujian masuk. Semua tidak terelakkan, bahkan, pembimbing masuk Gontor yang relatif muda saja, tanpa sadar menitikkan air mata melihat kebahagiaan calon pelajar Gontor yang usianya berkisar antara 12 sampai 15 tahun.
Jika ditelisik, ‘nasib’ calon haji dan calon pelajar Gontor kurang lebih sama. Mereka sama-sama punya niat untuk beribadah, mereka berusaha untuk terus belajar, mereka mempersiapkan diri baik secara finansial, fisik maupun mental. Persamaan lain antara calon haji dan calon pelajar Gontor yaitu soal pengantar pendamping keberangkatan, 1 keluarga besar mendampingi 1 jamaah haji. Yang terakhir, tentunya tidak perlu dijelaskan karena sudah menjadi rahasia umum.
Allahummaj’alnā minalladzīna yastami’ūna al-qawla fayattabi’ūna aḥsanah. []