Oleh Nurul Siam Fajriani
Mahasiswi Fakultas Tarbiyah Universitas Darussalam Gontor
Dunia telah memasuki masa milenium III yang ditandai dengan perubahan fundamental kehidupan manusia seperti perubahan di bidang transportasi, telekomunikasi, ilmu pengetahuan hingga informasi yang membuat hubungan jarak jauh menjadi dekat. Mereka menyebut fenomena ini sebagai fenomena globalisasi yaitu sebuah fenomena yang membuat dunia seperti halnya global village dengan ‘memendeknya’ jarak dan interaksi manusia di berbagai belahan wilayah bumi manapun.
Meski demikian, seorang sosiolog kelahiran London, Anthony Giddens memprediksi sebuah fenomena kontradiksi, konflik dan pembalikan arah di balik kemajuan transportasi, telekomunikasi, ilmu pengetahuan serta komunikasi dan informasi antar manusia secara global.
Pun dengan Guru Besar Psikologi Islam, Zakiah Darajat (Allahummaghfir lahā), yang menjelaskan bahwa teknologi modern yang membuat sekat komunikasi lintas benua, negara, kota hingga ke pedesaan menipis dapat membawa sisi positif maupun negatif. Saya menganggap bahwa fenomena phone snubbing atau yang akrab disebut Phubbing sebagai salah satu dampak negatif globalisasi di bidang telekomunikasi. Mengapa demikian?
Phubbing merupakan fenomena baru, kependekan dari ‘phone snubbing’, yang berarti sebuah tindakan acuh seseorang kepada lingkungan sekitar karena lebih fokus kepada gawainya ketimbang berinteraksi dengan sekitarnya. Istilah itu juga dikenalkan oleh agensi periklanan McCann yang lantas diperbincangkan di media masa seluruh dunia hingga akhirnya resmi terdaftar dalam kamus Macquarie.
Saat ini, jutaan pria dan wanita terindikasi mengalami kecanduan arus teknologi informasi seperti mengirim pesan teks secara daring, mengirim tweet, mengunggah foto di instagram dan lain sebagainya. Bahkan tidak jarang, Phubbing diartikan sebagai tindakan menyakiti orang lain dalam interaksi sosial karena lebih berfokus pada gawai.
Fenomena inilah yang kemudian menjelaskan bahwa phubbing adalah fenomena dimana seseorang memperlakuan gawai lebih dari bagiamana mereka memperlakukan keluarga, teman bahkan pasangan.
Phubbing juga dapat digambarkan sebagai sesosok individu yang melihat gawainya saat berbicara dengan lawan bicara serta mengabaikan komunikasi interpersonalnya karena terlalu sibuk.
Sisi negatif lain dari phubbing yang tidak kalah penting untuk tetap diperhatikan adalah degradasi moral yang sangat mungkin terjadi bagi setiap penggunanya seperti hilangnya moral etika, kesopanan hingga akhlak.
Seorang phubber, julukan bagi pelaku phubbing, akan bersikap apatis terhadap lingkungan dan berfokus pada apa yang sedang dipengangnya (baca: gawai). Tidak hanya sampai di situ, phubber juga akan mengalami perubahan dari sisi emosionalnya karena menganggap bahwa ia dapat memberi pengaruh di dunia maya.
Phubbing juga menyebabkan degradasi moral seperti menurunnya kepekaan seseorang dalam hal solidaritas serta toleransi. Jika dikontenstualkan dengan fenomena apatis, serta menurunnya angka solidaritas serta toleransi saat ini, maka fenomena phubbing di masyarakat layak dipersalahkan seraya dimintai pertanggungjawaban.
Penggunaan gawai secara berlebihan di dunia maya tidak lantas menjadikan seseorang beradab di dunia maya, bahkan, justru membuat mereka semakin liar karena merasa bebas dari norma-norma yang berlaku di dunia nyata. Padahal, distorsi informasi sangat rawan terjadi ketika seseorang berinteraksi melalui smartphone. Lantaran phubbing telah membuat kondisi komunikasi kita dengan lingkungan mengalami banyak gangguan seperti hoaks dan ujaran kebencian.
Pesan Abdullah Nāṣih ‘Ulwan
Karenanya, para orang tua pun perlu memperbaik interaksi komunikasi maupun sosial anaknya. Orang tua perlu mengajari anak-anak tentang lingkungan dan berfungsi sebagai madrasatul ula (sekolah yang pertama). tokoh pendidikan Islam, Dr Abdullah Naṣih ‘Ulwan menejlaskan ada tujuh pokok perlakuan orang tua terhadap anaknya, yaitu:
Pertama, tanggung jawab pendidikan iman. Mengajarkan kepada anak – anaknya tentang membuka kehidupan anak dengan kalimat Lā Ilāha Illallāh; mengenalkan hukum halal dan haram; memerintahkan kepada anak untuk melakukan ibadah shalat ketika telah memasuki usia tujuh tahun; dan mendidik anak untuk mencintai Rasul.
Kedua, tanggung jawab pendidikan moral. Mendidik anak untuk berpijak pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu ingat, takut, tawakal, meminta pertolongan kepada Allah dan berserah diri kepada-Nya, membiasakan anak-anak terdidik dengan akhlak mulia agar anak akan terhindar dari perilaku suka berbohong, mencuri dan terhindar dari perilaku yang menyimpang dari ajaran agama.
Ketiga, tanggung jawab pendidikan fisik. Tanggung jawab mendidik anak agar tumbuh dewasa dengan kondisi fisik yang kuat, sehat, dan bergairah. Membiasakan anak berolah raga, membiasakan anak zuhud dan tidak larut dalam kenikmatan serta membiasakan anak untuk bersikap tegas.
Keempat, tanggung jawab pendidikan rasio (akal). Orang tua hendaknya mampu membentuk pola pikir anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat, seperti ilmu agama, peradaban, serta menumbuhkan kesadaran berfikir, dan kejernihan berfikir.
Kelima, tanggung jawab pendidikan kejiwaan. Sebagai orang tua harus mampu mendidik anak agar berani bersikap terbuka, mandiri, suka menolong, dan bisa mengendalikan amarah. Agar anak terhindar dari sikap dengki, iri, pemarah dan kurang percaya diri.
Keenam, tanggung jawab pendidikan sosial. Mendidik anak agar terbiasa menjalankan perilaku sosial yang berlandaskan pada aqidah Islamiyah. Sehingga anak dapat bergaul di tengah masyarakat dan berperilaku sosial dengan baik dan tindakan yang bijaksana.
Ketujuh, tanggung jawab pendidikan seksual. Orang tua hendaknya mampu mendidik anak-anak tentang masalah seksual agar ketika tumbuh menjadi dewasa, seorang anak mampu membedakan apa yang diharamkan dan apa saja yang dihalalkan.
Phubbing memang menjadikan seseorang yang berada jauh menjadi terasa dekat. Tetapi di sisi lain, juga menyebabkan apa yang sudah dekat menjadi semakin jauh. Semoga Allah swt senantiasa memberikan petujuk dan hidayah bagi mereka yang mengalami phubbing agar ‘sembuh’ dapat beriteraksi sosial secara normal dan nyaman baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Wallāhu a’lam bi al-ṣowāb