Fenomena sisi negatif Gen Z terus bermunculan di sejumlah pemberitaan dan media sosial. Tidak sedikit pengamat dan peneliti yang menganggap bahwa Gen Z merupakan generasi yang rentan, masa bodoh, dan tidak mudah untuk berkolaborasi. Padahal, mereka tetaplah generasi muda Indonesia yang akan menjadi pemimpin Indonesia pada 2045 mendatang.
Gen Z merupakan kelompok masyarakat muda yang lahir pada tahun 1997 hingga 2012. Generasi ini lahir di saat teknologi informasi dan digital berkembang sangat pesat. Sensus Penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2020 menunjukkan 27,94 persen penduduk Indonesia lahir pada periode tersebut.
Karenanya, penyematan stigma negatif yang berlebihan terhadap Gen Z tidak dapat dibenarkan. Setidaknya itulah yang disampaikan oleh Pimpinan sekaligus Pengasuh Pesantren Mahasiswa Alhikam II Depok, KH Muhammad Yusron Shidqi, kepada Majalah Gontor.
“Dosa apa yang sudah dilakukan Gen Z sehingga mereka diberikan stigma sebagai generasi lembek dan sebagainya. Padahal mereka datang, dunia ini sudah dibentuk, diciptakan oleh pendahulunya. Dalam bahasa lain, mereka korban dari perkembangan dunia digital, atau mungkin korban dari sisi negatif perkembangan dunia digital,” ungkap putra almarhum KH Hasyim Muzadi itu.
Wartawan Majalah Gontor, Mohamad Deny Irawan, berkesempatan mewawancarai kiai muda alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor 2005 tersebut. Simak ulasannya!
Bagaimana Anda melihat munculnya stigmatisasi negatif yang dialamatkan kepada Gen-Z?
Kalau memang ada sisi negatif yang dimiliki oleh mayoritas Gen Z maka sebenarnya itu sah-sah saja menjadi sebuah stigma. Namun, stigma yang dibangun haruslah narasi-narasi kritik membangun bukan narasi-narasi stigma kritik tapi merendahkan.
Saya kira kita tidak bisa lepas dari stigma dan kita hidup seringkali melawan stigma itu sendiri. Maka setuju atau tidak setuju, bagi orang yang memberikan stigma, mohon untuk bisa lebih bijak dan lebih objektif dalam memberikan stigma. Jangan sampai kita menggunakan cocot logika. Dan kita yang melawan stigma itu sendiri, mau tidak mau, Anda harus melawan stigma itu karena itu akan baik untuk Anda.
Sebagai seorang pengasuh pesantren mahasiswa Al-Hikam yang hidup berdampingan dengan santri Gen-Z, apa yang Anda lihat?
Saya melihat bahwa santri Gen Z ini berbeda dengan orang-orang yang hidup sebelum mereka. Karena mereka ini sebuah generasi yang dianggap sangat dekat dengan teknologi. Bagimana tidak? Saat mereka lahir, ayah ibunya sudah memfoto menggunakan smart phone. Sehingga bukan hanya familiar, mereka baru lahir saja itu mendengar suara potret kamera. Mereka memiliki sisi yang berbeda sesuai dengan lingkungan yang mereka rasakan. Jadi pasti ada bedanya antara Gen Z dengan generasi yang lain.
Apakah ada perbedaan penanganan antara santri dari generasi ini dan generasi sebelumnya?
Saya melihat santri dari Gen Z ini memiliki kecenderungan tidak ingin berkonflik, meski tidak semuanya. Mereka cenderung menghindari konflik-konflik yang tidak perlu. Terkadang, kalau mereka merasa tersinggung, mereka lebih memilih diam lalu resign. Maka di kalangan mereka dikenal istilah silent resign. Mereka akan menjadi orang yang akan terbuka dengan sesama generasinya, maka kadang berbeda dengan santri yang sebelumnya, yang terbuka dengan ustadznya, jika ada apa-apa, mereka curhat ke ustadznya. Jadi, menganggap para ustadz itu seperti kakak saja.
Mungkin seiring dengan perjalanan waktu, mungkin sebagai pengasuh pesantren, seiring dengan bertambahnya usia , mereka menjadi tidak terlalu dekat dengan saya, maka penanganannya harus berbeda. Penanganannya itu kita yang jemput bola, ditanya misalnya ada masalah apa, kamu punya masalah apa.
Kalau dulu yang 10 tahun sebelumnya itu, mereka seakan-akan sudah tercetak untuk menyelesaikan masalah; mengidentifikasi, menemukan solusi secara pribadi, kemudian, kalau sudah mentok, baru bertanya.
Kalau Gen Z, saya lihat mereka lebih diam dan lebih asyik dengan kehidupannya di dunia maya sehingga kalau ada permasalahan yang tidak bisa diselesaikan, mereka bersikap go with the flow (santai) saja. Inilah yang membuat mereka membutuhkan penanganan yang berbeda.
Apa saja potensi dan kelebihan santri dari Gen Z?
Kelebihan mereka tentu saja sangat dekat dengan teknologi, khususnya teknologi digital. Bayangkan, anak-anak usia lima tahun hari ini sudah bisa menggunakan HP. Anak-anak usia tiga tahun sudah bisa menggunakan smart phone; bisa mengambil foto, bisa merekam suara, bisa mengirim pesan suara (voice note), mereka sangat dekat sekali dengan teknologi. Kelebihan ini tentu saja dimiliki seiring dengan perkembangan dunia digital yang semakin canggih.
Apa saja kelemahan Gen Z dibanding dengan generasi-generasi sebelumnya?
Sebelum menjawab itu, saya pernah mendengar ada seorang profesor psikologi yang mengatakan bahwa Gen Z ini melewati proses-proses untuk mendapatkan sesuatu. Akibatnya, aspek kebahagiaan yang mungkin muncul dari proses itu, mereka tidak mendapatkannya.
Contohnya seperti ini, saat saya masih mahasiswa dan ingin makan, saya perlu pergi ke pasar untuk berbelanja. Untuk menuju ke pasar, saya terkadang berjalan kaki atau naik angkot. Setibanya di rumah, saya masak nasi dan lauk dan mengonsumsi masakan yang saya masak. Pada satu titik, proses-proses itu memberikan kebahagiaan bagi saya.
Sementara Gen Z, mereka hidup di situasi yang sangat instan, tidak perlu mengalami proses berbelanja dan masak. Saat makan, mereka lebih memilih Go Food saja, maunya yang simpel-simpel saja. Sehingga kebahagiaan yang muncul dari proses-proses itu tidak bisa mereka raih. Tentu ini menjadi catatan penting bagi Gen Z. Karena sebab inilah mereka dijuluki generasi strawberry.
Tapi itu bukan salah mereka. Ini harus saya jadikan catatan bahwa mereka datang pada saat kondisi “dunia” sudah seperti ini. Maka dosa apa yang dilakukan Gen Z sehingga mereka diberikan stigma generasi lembek dan sebagainya. Padahal mereka datang, dunia ini sudah dibentuk, diciptakan oleh pendahulunya. Sehingga bisa dikatakan mereka korban dari perkembangan dunia digital, atau mungkin korban dari sisi negatif perkembangan dunia digital.
Bagaimana aspek religiusitas santri dari Gen Z?
Santri Gen Z memiliki kelebihan untuk mengakses nilai-nilai religius atau aspek religius dari banyak pihak. Kalau dulu kita belajar agama dari Kiai ‘A’ misalnya, kita akan mengikuti gaya yang mirip dengan Kiai ‘A’. Tapi Gen Z memiliki akses yang begitu besar.
Pada beberapa aspek, mereka bisa menggabungkan teori-teori religiusitas yang dulunya tersekat-sekat. Dengan adanya akses yang luas, mereka berhasil menembus sekat-sekat tersebut. Sehingga aspek religiusitas yang dimiliki oleh Gen Z lebih inklusif daripada generasi sebelumnya manakala mereka mempelajarinya dengan baik, dilakukan dengan cara yang baik, dengan pikiran yang terbuka, mau juga berpikir dan tidak hanya sekedar menerima atau mendapatkan dogma-dogma, lalu fanatik buta. Adapun yang terkait dengan tingkat religiusitas, itu sangat bergantung dari pribadi dan pola lingkungan yang mereka geluti.
Bagaimana Anda melihat banyaknya aktivitas dan kegiatan dakwah berbasis komunitas yang sering digandrungi Gen Z?
Kegiatan-kegiatan yang mereka sukai yaitu yang asyik, menarik, tidak terlalu formal dan tidak serius. Mereka senang mengikuti pengajian-pengajian yang dilakukan melalui saluran podcast, heart to heart hingga ngobrol santai sambil berbagi pengalaman. Oleh karena mereka men-skip banyak proses, mereka merasa perlu mencari pengalaman-pengalaman yang dilakukan oleh generasi sebelumnya dan mengambil sikap dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Bagi saya, itu sangat bagus sekali.
Dalam satu sisi, kebencian-kebencian masa lalu itu tidak terwariskan kepada Gen Z, karena mungkin generasi sebelumnya sudah merasakan kalau kebencian itu diwariskan. Lalu, Gen Z ini muncul sebagai generasi yang berasal dari kertas putih yang tidak berwarna. Oleh karena itu religiusitas santri dari Gen Z ini harus diperjuangkan melalui pesantren, karena mereka benar-benar dianggap baru dan tidak mewarisi konflik maupun kebencian-kebencian masa lalu yang mungkin muncul dari generasi sebelumnya.
Dalam kacamata Anda, pemuda seperti apa yang dibutuhkan oleh bangsa?
Dalam kacamata saya, pemuda yang dibutuhkan oleh bangsa yaitu pemuda yang kuat. Pemuda yang pintar dan mengurangi tindakan-tindakan yang kontraproduktif.
Generasi yang diinginkan dan dibutuhkan itu adalah generasi yang mampu mereduksi sisi lemah dari manusia ini, dzoluman jahulan, banyak berbuat salah, menyakiti orang lain, dan banyak ketidaktahuannya. Sehingga pemuda yang dibutuhkan ke depan yaitu pemuda-pemuda yang berupaya untuk selalu menyedikitkan keburukan yang bisa menyakiti orang lain, ataupun menyakiti dirinya sendiri, dan mengurangi tingkat ketidaktahuannya dengan terus mengembangkan diri secara intelektual. Itu yang dibutuhkan menurut saya.
Beberapa kasus seperti gantung diri, terjerat pinjol, itu menjadi catatan negatif dari kalangan Gen Z. Bagaimana menurut Anda?
Sebenarnya kalau menyematkan kepada generasi itu juga tidak bijak juga. Sebenarnya saya lebih suka menggunakan pernyataan: saya tidak setuju! Saya lebih suka menggunakan anak-anak di usia produktif, usia dewasa muda itu memang rata-rata melakukan kegiatan yang berisiko, misalnya melakukan kegiatan finansial yang berisiko, kadang-kadang ya hubungan pranikah yang berisiko, kadang-kadang ya hubungan pernikahan yang berisiko, kadang-kadang ya mendekati mau nyerempet–nyerempet hukum sedangkan itu juga berisiko. Jadi daripada ini disematkan kepada kalangan Gen Z, saya lebih suka melihat mereka sebagai dewasa muda yang memang karakternya lebih suka untuk bertarung dengan risiko.
Nanti kalau Gen Z ini sudah berusia, dia akan mengurangi itu. Ganti generasi Alfa yang masuk dalam dunia-dunia yang penuh risiko. Sehingga ini bukan tentang generasi, tapi ini tentang usia mereka yang memang perilakunya sedang terjebak pada perilaku-perilaku yang berisiko.
Bagaimana cara menanggulangi permasalahan ini?
Dengan edukasi dan regulasi. Jadi tidak ada cara lain: edukasi. Yang bisa kita lakukan mengedukasi mereka bahwa kita jauhkan mereka dari perilaku-perilaku yang berisiko dan menjelaskan tentang konsekuensi atas perilaku-perilaku yang mereka lakukan. Kemudian, regulasi juga harus mendukung. Jangan sampai kita koar-koar agar generasi muda tidak terjebak dalam jebakan ekonomi, jebakan sosial, dan sebagainya, tapi ternyata regulasinya dibiarkan saja. Jadi ini tidak ada kolaborasi yang baik antara pemerintah dengan ulama. Saya kira kolaborasinya yaitu antara pemerintah dengan regulasinya dan para ulama/cendekia dengan pendidikannya. Ini akan melahirkan kolaborasi yang baik. Tinggal nanti disuburkan dengan air-air ibadah.
Bagaimana Anda melihat maraknya konten dakwah di media sosial?
Sebenarnya ini baik-baik saja. Tetapi perlu dicatat bahwa membuat konten-konten dakwah itu juga ada etikanya sehingga tidak semua hal bisa langsung distempel sebagai konten dakwah. Ada hal-hal yang harus diperhatikan adab-adabnya, pilihan bahasanya. Tapi untuk konten-konten dakwah, pada umumnya saya sepakat.
Generasi pemuda seperti apa yang Anda harapkan di masa depan?
Di masa mendatang sebagaimana yang tadi saya sebutkan yaitu generasi pemuda yang mengurangi potensi kezalimannya atau mengurangi hal-hal buruk yang bisa menciderai dirinya dan orang lain, dan menghindari jahulan, mereduksi ketidaktahuannya. Mereka berkembang untuk meningkatkan intelektual dan pengalamannya.
Apa pesan Anda untuk masyarakat?
Untuk memaksimalkan potensi masyarakat, kita perlu banyak literasi, banyak membaca buku. Jangan sekadar memberikan stigma buruk kepada Gen Z, tapi kita harus proaktif.
Saya harapkan generasi 1980-an hingga akhir 1980-an mampu menjembatani generasi baby boomers dengan Gen Z karena generasi yang lahir pada akhir 1980-an sampai 1990-an itu pernah hidup bersama dan adaptif terhadap pola pendidikan dan pola hidup pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an. Mereka hendaknya menjadi jembatan yang baik, yang bijak, yang ramah terhadap dua generasi yang kadang berbeda dan saling menjauh satu sama lain karena terlalu banyak jurang perbedaannya. Itu pesan saya. []