Balada COVID-19 benar-benar menguji ketangguhan sekaligus ‘vitamin’ bagi Pondok Pesantren Al-Aqsho, Selopuro, Blitar. Bagi Al-Aqsho, COVID-19 bukan sekedar virus penyakit fisik tetapi juga menjadi virus psikis yang tidak saja membutuhkan imun tetapi juga iman dan amal dalam berjuang mendidik anak bangsa.
“Kami baru saja kena lockdown sejak 1 Februari sebab ada 70-an santri yang positif COVID-19. Hari ini, jadwal semua santri balik ke pondok. Termasuk saya sendiri kena 14 hari karantina. Alhamdulillah, saya sekarang sudah sehat,” ungkap Pimpinan Pondok Pesantren Al-Aqsho, KH Hadi Muchlison, kepada Majalah Gontor.
Tetapi Kiai Hadi tidak patah arang. Baginya, sosok Juwaini yang menjadi inspirasi tidak akan menyerah dengan musibah COVID-19 yang melanda Al-Aqhso. Kiai Hadi menjelaskan bahwa pendirian Al-Aqsho terinspirasi dari pamannya yang juga seorang alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor, Juwaini atau Makinuddin.
Sejarah penamaan Makinuddin tidak lepas dari peran dan keterampilan Juwaini dalam mengadakan atau membangun jaringan listrik berbasis mesin diesel di Gontor untuk pertama kalinya. Karenanya, pendiri sekaligus pengasuh Gontor kala itu, KH Imam Zarkasyi dan KH Ahmad Sahal, memberi julukan Makinuddin yang berarti Mesin Agama (Makīnatun dalam bahasa Arab berarti Mesin dan Dīn berarti Agama) .
Selain kemampuannya di bidang elektrifikasi, sosok Juwaini juga merupakan salah satu pencetus dokumentasi berbasis fotografi di Gontor. “Beliau menguasai teknik cetak-mencetak dan mencuci foto film,” ujar Kiai Hadi.
“Beliau benar-benar menginspirasi dan mewarnai perjalanan hidup saya hingga saat ini,” imbuh putra asli Blitar tersebut.
Kiai Hadi mengisahkan perjalanan hidup Juwaini yang menjadi sosok inspriatif di balik pendirian Pesantren Al-Aqsho. Salah satu kisah epik Juwaini atau Makinuddin yaitu saat Pondok Modern Darussalam Gontor diserang oleh segerombolan simpatisan PKI. Akibatnya, Pengasuh dan Kiai Gontor serta sejumlah santri, termasuk Juwaini, pergi meninggalkan Gontor sementara waktu dengan alasan keselamatan.
Dalam perjalanan, Kiai Gontor dan rombongan tiba di sebuah tempat yang menawarinya tempat istirahat dan logistik makanan. Namun siapa sangka, tuan rumah ternyata simpatisan PKI yang lantas menghubungi markas PKI di Madiun seraya menyampaikan bahwa Kiai Gontor dan rombongan telah berada di kediamannya.
Tidak lama setelah itu, pada malam hari, Kiai Gontor dan rombongan dijemput oleh truk PKI dan dibawah ke sebuah tempat di Madiun mengantre untuk dibunuh. Beruntung, Allah SWT mengirimkan bala bantuan yakni pasukan Siliwangi dan Hizbullah ke markas PKI yang membuat seluruh tahanan melarikan diri tak terkecuali Juwaini.
Juwaini, yang saat itu menjadi santri, pulang ke Blitar berjalan kaki dan berbekal kain sarung tanpa pakaian. Keluarga yang mendengar kisah penahanan Kiai Gontor oleh kelompok PKI pun pasrah dengan kondisi ataupun nasib Juwaini. Maka kehadiran Juwaini di kediamannya, Blitar, disambut gembira oleh masyarakat sekitar yang bahkan sudah mengadakan tahlilan atas wafatnya.
“Ketika beliau muncul, semua yang berada di rumah geger. Ada yang mengatakan bahwa ‘yang mati bisa hidup lagi’. Dikiranya sudah terbunuh, tapi ternyata masih selamat dan bisa pulang (ke Blitar),” ucap Kiai Hadi.
Setibanya di rumah, Juwaini bersama ponakannya, Kiai Hadi, mendirikan kursus yang diberi nama Al-Azhar, yang nantinya menjadi cikal bakal pendirian Pondok Pesantren Al-Aqsho. Kursus Al-Azhar ini mengajarkan keterampilan elektrifikasi serta pembuatan turbin air dan listrik. Tak berhenti di situ, pengembangan kursus juga bergerak ke pembelajaran bahasa Arab, Inggris, baca tulis Al-Qur’an dan ushuluddin.
“Mula-mula, muridnya hanya dua orang. Namun, sejalan dengan perkembangannya, jumlah murid mencapai 100 orang lebih yang juga dibantu oleh dua alumni Gontor. Dalam beberapa kesempatan, kursus kami pernah dikunjungi oleh ibu-ibu dari keluarga Gontor,” kenang Kiai Hadi.
Berawal dari Kursus
Perkembangan kursus yang dibina oleh Hadi dan pamannya meningkat pesat. Bahkan peserta kursusnya sampai 100 orang saat itu. Peningkatan ini pun tidak luput dari sorotan keluarga besar yang mendorong untuk mendirikan pesanten di atas tanah wakaf keluarga seluas kurang lebih 1500 hektare di Selopuro, Blitar.
Pada masa awal rintisan, mayoritas santri Al-Aqsho peserta kursus. Namun, dari ratusan peserta kursus hanya 10 orang saja yang memiliki niat untuk melanjutkan pendidikan di pesantren. Dari sepuluh santri tersebut, pihak Al-Aqsho berjuang untuk memberikan porsi belajar pesantren yang memadai walau masih terkendala sarana dan prasarana.
Seringkali, rumah keluarga dimanfaatkan sebagai lokasi tempat belajar. Saat jumlah santri bertambah sementara sarana prasarana tidak bertambah, rumah orang kampung pun dipinjam untuk difungsikan sebagai asrama sementara.
“Lambat laun, kami berhasil mencetak bahan bangunan dan mengumpulkan kayu-kayu dari infak wali santri. Alhamdulillah, pada tahun 1987, Pimpinan Gontor, (alm) KH Abdullah Syukri Zarkasyi, berkenan hadir untuk meletakkan batu pertama pembangunan gedung pondok KMI,” ucap alumnus Gontor tahun 1984 tersebut.
Saat periode rintisan berjalan, cobaan pun datang. Kiai Hadi mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar Kairo. Kebahagiaan memuncak ia rasakan karena mimpinya selangkah lagi terwujud. Tetapi di sisi lain, ia bimbang karena proses kaderisasi pondok yang ia bina sedang berjalan dan tidak mungkin untuk dihentikan.
Hadi pun sowan ke Kiai Syukri untuk meminta arahan dari kebimbangan yang ia rasakan saat itu. “Beliau diam sejenak kemudian menjawab: tidak usah! Kamu tidak usah melanjutkan studi ke Al-Azhar. Lebih baik enam santrimu yang sedang kamu didik itu diteruskan. Delapan tahun saya di Al-Azhar, (hasilnya) begitu-gitu saja. Maka lebih baik dan lebih manfaat jika proses mengajar enam orang itu kamu lanjutkan,” tegas Kiai Syukri kepada Hadi.
Pondok Pesantren Al-Aqsho menganut sistem KMI Gontor, tanpa terdaftar di Kementerian Agama maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak dirintis tahun 1985. Mereka tidak pernah berpaling dari sistem KMI Gontor.
Karena tidak berafiliasi dengan kedua regulator pendidikan nasional tersebut, Al-Aqsho merasa berada dalam sebuah ruang gelap, minim sarana prasarana, minim popularitas, minim amunisi di tempat gersang. Bahkan setiap pendaftaran santri baru, 70 persen dari mereka akan mengundurkan diri karena tidak mendapatkan jaminan ijazah.
“Alhamdulillah, kami diberi kekuatan untuk bertahan sampai pada waktunya Allah SWT menurunkan bala bantuan para pejuang yang gigih sehingga kami wajib berterima kasih yang tak terhingga kepada mereka,” kenangnya.
Saat ini, Al-Aqsho mendidik kurang lebih 100 orang santri baru dengan 50-an santri berasal dari beberapa daerah di Indonesia. Jumlah pengajarnya terdiri dari 20 orang yang merupakan alumni Al-Aqsho dan lima orang alumni perguruan tinggi.
Kiai Hadi berpesan bahwa pesantren harus selalu berjalan dengan rambu-rambu maupun tuntunan jiwa pesantren, akhlak mulia yang diseimbangkan dengan upaya membangun moralitas berkompetensi. “Hidupilah pesantren dengan sepenuh hati dan tidak sekedar bangga punya pesantren. Tetaplah mengajar meskipun pesantrennya sudah besar, banyak gurunya, banyak santrinya,” ujarnya.
“Anggaplah pesantren lain itu mitra dan bukan pesaing apalagi ancaman sehingga kita mudah dan ringan dalam bersinergi untuk mendapatkan Ridha Ilahi Rabbi.” [] Mohamad Deny Irawan