Oleh: Adnin Armas
(Pemimpin Redaksi Majalah Gontor)
“Menanamkan adab ke dalam diri manusia adalah hakikat tujuan pendidikan,†demikan pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas (SMNA), intelektual Muslim kontemporer, asal Bogor, warga negara Malaysia dalam buku monumentalnya Islam and Secularism.
Namun bagi SMNA, adab bukan saja dibatasi pada persoalan perilaku. Bagi SMNA, adab memiliki makna yang lebih luas dari sebatas perilaku. Menurut SMNA, adab tidak bisa dipisahkan dengan akal dan jiwa. Adab bisa terbentuk jika sebelumnya akal dan jiwa dibenahi. Namun, SMNA menegaskan akal yang mengetahui konsep kebenaran dan kebaikan, tentunya, tidak terlepas dari Wahyu. SMNA menyatakan Wahyu menjadi fondasi bagi pengetahuan akal, kebersihan hati dan kedisiplinan jiwa. Adab muncul karena bersumber dari Wahyu dan akal. Adab yang baik diketahui dari Wahyu dan pengetahuan akal akan konsep-konsep dan perbuatan yang baik. Sebaliknya, adab yang buruk juga diketahui dari Wahyu pengetahuan akal akan konsep-konsep dan perbuatan yang buruk. Disebabkan Wahyu sebagai sumber utama, maka pengetahuan akal akan kebenaran dan kebaikan harus diimbangi dengan penyucian jiwa. Konsep kebaikan harus disertai dengan kebersihan hati dan kedisiplinan jiwa.
Menurut SMNA dalam bukunya berjudul The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education, adab adalah kedisiplinan raga, akal dan jiwa; kedisiplinan yang menjamin pengenalan dan pengakuan terhadap tempat seseorang yang layak dalam kaitannya dengan kemampuan dan potensi jasmani, intelektual dan spiritual seseorang; pengenalan dan pengakuan realitas bahwa ilmu dan wujud disusun secara hirarki menurut tingkat dan tahapan yang beragam.†(Adab is the recognition and acknowledgement of the reality that knowledge and being are ordered hierarchically according to their various grades and degrees of rank, and of one’s proper place in relation to that reality and to one’s physical, intellectual and spiritual capacities and potentials).
Adab terkait dengan daya kognitif, afektif dan psikomotorik. Adab tidak terlepas dari Wahyu, pengetahuan akal dan kedisiplinan jiwa. Manusia yang beradab adalah manusia yang mengetahui dirinya adalah sebagai hamba Allah. Ia tidak mengingkariNya. Ia menyadari berasal dariNya dan akan kembali kepadaNya. Ia hidup untuk mengabdi kepadaNya. Pengabdian yang tidak direduksi hanya saat melakukan ibadah ritual tapi juga mencakup keseluruhan aspek kehidupan. Ia melakukan berbagai aktivitas baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya sebagai bagian dari ibadah kepadaNya. Manusia yang beradab mengetahui jika Allah menciptakan antara laki laki dan perempuan sebagai pasangannya. Jadi, manusia yang beradab mengetahui jika perkawinan antara laki laki dan perempuan. Bukan perkawinan sejenis seperti yang sekarang sedang dipropagandakan pihak pihak tertentu.
Adab terkait dengan akhlak. Melalui sikap, perbuatan dan tindakan yang baik dan berkesinambungan, akhlak yang baik dapat diraih. Kebiasaan berbuat baik akan membentuk sikap spontan yang baik. Pendidikan adalah sebuah proses yang seharusnya diarahkan untuk meraih kemuliaan budi pekerti. Untuk pelajar meraih akhlak yang tinggi, maka peran guru, kurikulum, dan lingkungan sangat penting sekali. Guru berakhlak merupakan model bagi pembentukan keilmuan dan karakter anak didik. Guru yang memiliki akhlak yang baik, berintegritas yang tinggi, punya jiwa yang kuat, pengetahuan yang mumpuni, akan membentuk anak didik yang berkarakter dan mumpuni. Ironinya, persoalan pendidikan saat ini mencakup pelajar, guru, kurikulum, lingkungan bahkan orangtua. Dampaknya, generasi yang berilmu tinggi dan berakhlak mulia masih sulit menjadi kenyataan dalam proses pendidikan yang berlangsung. Niat dan tujuan utama pendidikan yaitu penanaman adab bagi guru dan murid, dengan wawasan ontologis, epistemologis dan aksiologis perlu terus dilakukan.