Allah SWT berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab : 21)
Asbabunnuzul
Asbabunnuzul ayat tersebut menurut Ibnu Katsir berkaitan dengan peristiwa Perang Khandaq. Pasukan gabungan kaum kafir dalam jumlah besar (10.000 prajurit) membuat sebagian kaum Muslim yang hanya berkekuatan 3.000 prajurit merasa gentar. Kala itu, umat Muslim tengah diuji dengan kesabaran, keteguhan, perjuangan, dan tetap menanti jalan keluar dari Allah SWT.
Mereka yang gentar dan ragu adalah kaum munafik yang hanya berpura-pura beriman. Allah SWT menurunkan ayat tersebut untuk memerintahkan kaum Muslim yang benar-benar beriman meneladani keberanian Nabi Muhammad SAW dalam membela Islam, tidak gentar dengan besarnya jumlah musuh.
Interpretasi Para Mufasir
Ayat tersebut menegaskan kepada kita bahwa sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kita. Kita kaji lebih dalam, makna uswatun hasanah dalam ayat itu, menurut Imam Ali Ash-Shabuni dalam Shafwatut Tafasir, adalah bahwa Rasulullah merupakan figur yang luhur yang wajib kita ikuti seluruh perbuatan dan perkataannnya.
Sedangkan makna uswatun hasanah menurut Imam Musthafa Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi, adalah bahwa Rasulullah merupakan contoh terbaik dalam semua perkataan, perbuatan dan seluruh aspek kehidupannya.
Sejalan dengan maksud ayat tersebut, Siti Aisyah ketika ditanya bagaimana gambaran akhlak Rasulullah, beliau dengan tegas menjawab, akhlak Rasulullah adalah ibarat Al-Qur’an. Maksudnya, akhlak Rasul adalah pengejawantahan dari seluruh ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an. Maka pantas kalau Allah memuji akhlak Rasulullah melalui firman-Nya: ”Sesungguhnya engkau, Muhammad memiliki akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Syekh Mutawali asy-Sya’rawi dalam kitab tafsirnya mengatakan, ayat ini merupakan barometer kehidupan dan suri teladan bagi manusia. Nabi Muhammad SAW sukses dalam menyampaikan amanah risalah kenabian yang dibawanya. Selain itu, ia juga representasi dari potret Islam yang sebenarnya, yaitu menjadi teladan bagi pengikutnya.
Ayat di atas juga menjadi salah satu pokok agung perihal meneladani Rasulullah dalam setiap pekerjaan, ucapan, tingkah laku dan lainnya. Oleh karena itu, Allah memerintahkan semua manusia untuk menjadikannya sebagai suri teladan.
Selain menjadi pemimpin, Rasulullah juga menjadi teladan dalam hal yang lebih penting. Menurut Syekh Mutawalli, di antara teladan paling agung Rasulullah adalah hatinya tidak pernah lupa untuk mengingat Allah SWT.
Kita perhatikan, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di Indonesia saat ini telah memasuki tahap yang sangat mengkhawatirkan, ia telah melanda seluruh lapisan pemerintahan, mulai dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi. Demikian pula halnya pada semua lapisan masyarakat. Pendek kata, KKN telah “menyistem” di negeri ini, telah mengakar, bahkan dengan meminjam istilah Bill Dalton dalam Indonesia Hand Book: Semua institusi, termasuk yang dibentuk untuk menghambat KKN, juga melakukan praktik KKN.
Padahal, diakui atau tidak, praktik KKN dalam kehidupan bangsa ini telah menimbulkan banyak kerugian. Tidak saja kerugian dalam bidang ekonomi, melainkan juga dalam bidang politik, sosial, budaya, dan keamanan. Kerugian secara ekonomi, misalnya, sangat jelas dirasakan, yang tercermin dari tidak optimalnya pembangunan ekonomi yang dijalankan.
Dalam bidang politik, praktik KKN menimbulkan diskriminasi pelayanan publik ataupun diskriminasi terhadap hak-hak politik masyarakat. Dalam bidang sosial-budaya, praktik KKN ini telah menimbulkan “penyakit” dalam masyarakat. Perbuatan korupsi seakan dianggap sebagai sesuatu yang wajar, padahal berdampak bagi masyarakat luas. Demikian pula dalam bidang keamanan, KKN akan mengganggu stabilitas keamanan masyarakat karena telah mendorong munculnya gejolak demonstrasi dan kerusuhan secara berlebihan.
Oleh karena itu, dalam kehidupan berbangsa ini, KKN merupakan penyakit berbahaya yang dapat mewabah, menggrogoti dan memporakporandakan sendi-sendi kehidupan bangsa. Maka jika satu bangsa terjangkit penyakit ini ingin bangkit, ingin maju, dan mampu bersaing dengan bangsa lain, maka syarat utama dan pertamanya adalah dengan mengikis habis penyakit ini dengan menjadikan Rasulullah SAW sebagai suri teladan dalam kehidupan, baik dalam ucapan maupun perbuatannya.
Allah SWT berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)
Lalu, apa saja keteladanan Nabi Muhammad SAW sebagai upaya menghindari dari perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme? Pertama, menjauhi harta yang haram. Rasulullah SAW bersabda:
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya tidaklah daging (anggota badan) yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram kecuali semua itu lebih berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, No. 614)
Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Kedua, amanah atau dapat dipercaya. Allah SWT berfirman:
۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا
“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. (QS. An-Nisa’: 58)
Ketiga, tabligh (menyampaikan). Allah SWT berfirman:
۞ يٰٓاَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ ۗوَاِنْ لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسٰلَتَهٗ ۗوَاللّٰهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ
“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir. (QS. Al-Ma’idah: 67)
Keempat, membimbing kepada keimanan dan keselamatan. Allah SWT berfirman:
لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
“Sungguh, telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah: 128)
Kelima, tidak sombong dan selalu rendah hati. Allah SWT berfirman:
وَعِبَادُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَرْضِ هَوْنًا وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَالُوْا سَلٰمًا
“Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam”.” (QS. Al-Furqan: 63)
Keenam, membimbing akhlak mulia. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلَاقًا
“Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling mulia akhlaknya.” (HR Bukhari: 6035, Muslim: 2321, Ahmad: 6505)
Allah SWT berfirman:
وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS. Al-Qalam: 4)
Ketujuh, senang bermusyawarah dan tidak memihak. Allah SWT juga berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS. Ali Imran: 159)
Delapan, adil.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ بِٱلْقِسْطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمْ أَوِ ٱلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ ۚ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَٱللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلْهَوَىٰٓ أَن تَعْدِلُوا۟ ۚ وَإِن تَلْوُۥٓا۟ أَوْ تُعْرِضُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa: 135)
Lalu, apakah yang dimaksud adil itu? Imam Ali Karamallahu Wajhah mengatakan, adil adalah menempatkan sesuatu secara proporsional dan profesional. Lebih tegas lagi, Sayyid Quthub dalam bukunya ‘Adalah al-Ijtimaiyah fi al-Islam’ mengatakan, adil adalah menegakkan hukum atau kebenaran dengan tanpa menzalimi orang lain. Dengan demikian, prinsip penegakan keadilan dalam Islam tidak mengenal pandang bulu, status atau jabatan. Walaupun terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat, orang kaya atau orang miskin, pejabat atau rakyat, hukum harus tetap berlaku dan keadilan harus tetap dijunjung tinggi.
Kisah Uswatun Hasanah Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad SAW telah memberi teladan tentang bagaimana agar harta yang kita miliki menjadi berkah, yaitu dengan cara mengeluarkan sebagian dari harta yang kita miliki di jalan Allah Subahanahu wa Ta’ala, baik itu dengan cara bersedekah, berinfaq, berzakat, maupun berwakaf.
Rasulullah SAW mengisi hari-harinya dengan bersedekah, bahkan sedekahnya semakin banyak ketika bulan suci Ramadhan. Bahkan Rasulullah bersedekah bukan saja terhadap orang-orang yang telah memeluk Islam, dalam sejumlah riwayat dan juga kitab-kitab sirah menyebutkan bahwa Rasulullah SAW mempunyai kebiasaan bersedekah pada seorang buta yang begitu membenci Rasul. Orang buta itu setiap hari selalu mencaci maki Rasul tanpa mengetahui seperti apa sosok Rasul itu.
Sedang setiap harinya Rasulullah mendatangi orang buta itu, lalu Rasul menyuapi orang buta itu dengan tangannya sendiri. Sementara orang buta itu tidak mengetahui bahwa sosok yang selalu bersedekah menyuapinya makan tiap hari itu Rasulullah. Orang buta itu baru mengetahui semuanya ketika Rasulullah telah wafat. Hingga ia pun bertobat dan memeluk Islam.
Maka sebagai Muslim, kita harus meneladani Rasulullah dengan menjadi dermawan, mengeluarkan harta untuk kemaslahatan di jalan Allah. Apalagi bagi yang memiliki kelebihan harta. Jangan sampai bakhil terhadap harta. Karena sifat bakhil itu akan membawa kebinasaan. Dan sejatinya setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas hartanya. Maka celaka bagi orang-orang yang menghambur-hamburkan hartanya dalam kemaksiatan dan tidak mau bersedekah, berinfak, berzakat dan berwakaf.
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتٍ الْأَخْلاَقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ. رواه الترمذي
“Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari akhlak, perbuatan, dan hawa nafsu tercela.” (HR. At-Tirmidzi) []