Jakarta, Gontornews — Mengembangkan lembaga pendidikan seperti pesantren tidak semudah membalikkan telapak tangan. Melainkan ada banyak perjuangan, dan kesabaran yang dibutuhkan. Berkat perjuangan, keyakinan dan kesabaran Ustadz Saad Said, kini Pondok Pesantren Darul Huffadz Tuju-Tuju menjelma menjadi salah satu pesantren terbesar di Sulawesi Selatan. Uniknya para santri di pesantren ini hanya dituntut untuk belajar dan menghafal Al-Qur’an tanpa dipungut biaya. Mayoritas santri berasal dari Sumatera, Jawa, Kalimantan hingga Malaysia. Padahal ponpes yang terletak di Kampung Tuju-Tuju, Bone, Sulawesi Selatan ini berada di puluhan kilometer jauhnya dari Kota Watampone.
Dirintis oleh ayahnya yaitu KH Lanre Said, Pondok Pesantren Darul Huffadz Tuju-Tuju berdiri diawali oleh tujuh santri pada jam 7 tanggal 7 Agustus 1975 di Kampung Tuju-Tuju, Kecamatan Kajuara, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Di awal pendirian, pesantren ini dibuka dalam bentuk pengajian dengan nama Majelis Qurra Wal-Huffadz (MQWH) yang digelar tanpa ruang untuk tempat pengajian. Seiring berjalannya waktu, majelis ini bertambah besar dengan banyaknya santri yang belajar sehingga pada tahun 1989 dibukalah sistem Kulliyyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI) dan tahfidz Qur’an.
Barulah pada 11 Oktober 1993 Majelis Qurro’ wal Huffadz berganti nama menjadi Pondok Pesantren Darul Huffadz yang diresmikan oleh Bupati Bone kala itu. Untuk meluaskan sayap dakwahnya Pondok Pesantren Putri dibuka pada tahun 1997. Selanjutnya pada tahun 2005 estafet kepemimpinan berganti ke putra putrinya, karena pendiri pondok, yaitu KH Lanre Said tutup usia. Pondok putri dilanjutkan oleh para putri almarhum di antaranya Ustadzah Sa’diah Said, direktur Pondok Putri Darul Huffadz dan Sabiah Said, pengasuhan Pondok Putri Darul Huffadz.
Sedangkan Pondok Putra Darul Huffadz, sejak tahun 2005 di bawah kepemimpinan putra ketiganya yakni Ustadz H Saad Said, alumni Pondok Modern Darussalam Gontor tahun 1993. “Insya Allah dengan kesabaran kita semuanya akan melanjutkan pondok ini sesuai prinsip dasarnya bahwa tidak akan dimintakan pembayaran, dan tidak akan pernah meminta sumbangan dari manapun,” beber pimpinan Pondok Pesantren Darul Huffadz, Tuju-Tuju, al-Ustadz Saad Said kepada Majalah Gontor.
La haula wala quwwata illa billah. Ternyata betul seluruhnya diberikan kemudahan. Sepeninggal KH Lanre Said tepatnya pada tahun 2005, pesantren Tuju-Tuju baru memiliki 700 santri dan luas lahan sekitar 4 hektar. Sekarang luas pesantren putra dan putri, sekitar 8 hektar dan pondok ini ada 2000-an santri penghafal Al-Qur’an yang berasal dari berbagai daerah, Sumatera, Jawa, Kalimantan bahkan Malaysia. Mereka hanya dituntut belajar dan menghafal Al-Qur’an tanpa dipungut biaya.
Lalu dari mana kebutuhan hidup santri terpenuhi? Pertanyaan ini juga sempat disampaikan oleh Ustadz Saad kepada KH Lanre Said sebelum wafatnya. “Sambil mengutip QS. Muhammad Ayat 7 yâ ayyuhalladzîna âmanû in tanshurullâha yanshurkum wa yutsabbit aqdâmakum, beliau menjawab pimpinlah pondok ini tanpa harus memikirkan dari mana semua dana akan datang. Sebab jika memaksakan diri untuk memikirkan, efeknya kalau tidak membuat stres, akan membuat gila atau sakit. Maka lebih baik tidak usah pikirkan, perjuangkan saja.”
Selain itu apa yang dilakukan Ustadz Saad dalam memimpin pesantren Tuju-Tuju juga banyak terinspirasi dari wawasan kepemimpinan yang disampaikan oleh Dr KH Abdullah Syukri Zarkasyi, saat izin pulang dari Pondok Modern Darussalam Gontor. Ustadz Saad pun merasakan, apa yang disampaikan Kiai Syukri benar bahwa yang membuat kuat dalam berjuang adalah keyakinan diri. “Beliau bahkan sempat mengatakan jangan pernah mengira setelah keluar dari pondok akan bisa istirahat dan perjuangan akan berkurang. Saya catat betul kata-kata beliau dan baru paham setelah memegang pondok ini,” kenangnya. [M. Khaerul Muttaqien]