Jakarta, Gontornews — Sejak Israel memproklamirkan berdirinya sebagai negara di bumi Palestina tahun 1948, terjadi perang Arab – Israel tahun 1967 selama 6 hari dimana pasukan Arab, Mesir, Jordania kalah oleh Israel yang dibantu Amerika sehingga dataran Golan, Sinain diambil Israel. Tahun 1967, Israel menguasai Masjidil Aqsha termasuk Jerussalem Timur dan tembok ratapan yang sebelumnya namanya tembok buraq kemudian diganti tembok ratapan versi mereka.
“Padahal itu adalah daerah wakaf kaum Muslimin, merupakan asrama pasukan Shalahuddin al-Ayyubi dari Afrika Utara,†ungkap Ketua Umum Komite Indonesia Untuk Solidaritas Palestina (KISPA) Ust Ferry Nur.
Tapi tahun 1967, ujar Ferry, tempat itu diratakan Israel dan tempat itu sekarang dijadikan tempat ibadah Yahudi yang disebut tembok rapatan. Bahkan calon-calon presiden yang ingin didukung Yahudi harus datang kesana. Kemudian pada 21 Agustus 1969 Masjidil Aqsha dibakar oleh extrimis Yahudi sampai al-Aqsha terbakar bahkan mimbar Shalahuddin al-Ayyubi terbakar.
Kebakaran yang terjadi selama dua hari itu menjadi pertanyaan besar, apakah tidak ada umat Islam yang ingin memadamkan? Ada, tapi pintu akses masuk ke masjidil aqsha ditutup Israel. Inilah yang terulang lagi tanggal 30 Oktober 2014, dimana Israel menutup seluruh akses pintu masuk ke kompleks Masjidil Aqsha. Tentu saja umat Islam tidak bisa masuk untuk shalat di kompleks Masjidil Aqsha yang mencakup Qubbatus Sakhra (Rock Dome), Mushalla Marwani, Masjid Qibli (kubah perak)dan tempat-tempat bersejarah di lokasi tersebut.
Ferry melanjutkan, meskipun sudah dikuasai oleh Israel, status Masjidil Aqsha masih tetap milik umat Islam. Ada beberapa argimentasi yang menunjukkan bahwa Masjidil Aqsha ini milik kaum Muslimin. Pertama namanya masjid, jelas ini tempat ibadahnya kaum Muslimin. Kedua, nama masjidil aqsha ada dalam al-Qur’an Surah al-Isra yang dijelaskan dalam hadis siapa yang berkunjung ke tiga tempat yaitu Masjdil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha mendapat pahala besar. “Jika shalat di Masjidil Aqsha pahalanya 500 kali lipat, riwayat lain 1000 kali lipat,†terangnya.
Pada tahun 15 H Umar ibn Khaththab datang ke Bait Maqdis untuk melakukan inspeksi menerima kunci Bait Maqdis dari Uskup Xaverius. Ketika sampai di gereja nasrani masuk waktu shalat, ditawarkan oleh Uskup untuk menunaikan shalat di gereja itu. Namun Umar tidak mau karena itu bukan hak kaum Muslimin untuk shalat disana.
“Sikap Umar ini menjadi teladan dari khulafaur rasyidin yang berfikir jauh kedepan agar umat tidak berlomba-lomba melaksanakan ibadah di gereja,†ungkap pria yang pernah ikut dalam misi kemanusiaan tersebut.
Kamuflase Yahudi
Menurut Ferry, sekarang ini terjadi perang opini dimana extrimis Yahudi mengatakan bahwa di masjidil aqsha ada tiga peradaban yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam sehingga Israel berhak menguasai Masjidil Aqsha untuk diubah menjadi “Kuil Sulaiman.†Disinilah pentingnya membaca literatur, sejarah, al-Qur’an dan hadis.
Kalau memang al Aqsha milik Yahudi mengapa Pendeta Xaverius menyerahkan kunci Baitul Maqdis kepada Umar ibn Khaththab. Padahal saat itu sudah ada orang Yahudi. Bahkan pendeta itu mengusulkan kepada Umar ibn Khaththab ketika membuat perjanjian mengusulkan agar orang Yahudi tidak diperkenankan masuk Baitul Maqdis.
Lebih lanjut Ferry mengungkapkan, ketika Umar masuk ke Baitul Maqdis melakukan inspeksi, saat itu kompleks masjidil aqsha tidak seperti sekarang. Qubbahus Shakhrah (Dome of The Rock) yang berupa kubah emas itu berdiri di zaman Khalifah Abdul Malik. Pada zaman Umar ibn Khaththab belum ada. Yang ada baru batu onggokan tempat Rasulullah SAW berpijak untuk ke Sidratul Muntaha. Pada zaman Umar ibn Khaththab, batu itu digunakan sebagai tempat pembuangan sampah.
“Dengan menggunakan logika akal sehat, kalau Yahudi merasa memilik mengapa membuang kotoran disitu. Dan mereka tidak melarangnya. Coba renungkan. Jadi sebenarnya mereka ingin menghina tempat suci umat Islam,†tuturnya.
Ditanya, mengapa bisa ada dua masjid disana (emas dan perak)? Ferry mengungkapkan, kubah emas yang terlihat ditengah di kompleks Masjidil Aqsha saat ini adalah Qubbaattus Shakhrah. Sedangkan kubah perak yang diujung itu Masjid Qibli, tempat imam dan khatib menyampaikan khutbah. Disampingnya oleh Yahudi dinamakan tembok ratapan yang dulu pada zaman Rasulullah SAW adalah tempat mengikat buraqnya Rasulullah SAW.
Waktu itu Umar ibn Khaththab tidak ingin shalat menghadap batu, maka dibuat di depan batu. Selain itu, arah kiblatnya lebih lurus menghadap ke masjidil haram. Umar membuat Masjid Qibli, baru dibelakangnya ada Qubbaattus Shakhrah sehingga dari Masjid Qibli arahnya langsung ke Masjidil Haram. “Kalau di buat dalam bentuk peta antara Makkah, Madinah dan Masjidil Aqsha itu sejajar,†ungkapnya. [Ahmad Muhajir/DJ]