BENARKAH Aksi Bela Islam yang muncul pada tahun 2016 merupakan gerakan moral? Benar sekali.
Gerakan moral penegakkan hukum ini muncul karena perilaku konyol aparat dan penguasa yang berdalih macam-macam untuk menolak penegakkan hukum ketika Ahok secara terang benderang menista Almaidah ayat 51.
Artinya Kapolri Tito dan Presiden Jokowi lah yang sebenarnya menjadi pemicu munculnya gerakan ini. Jika saja saat itu Ahok yang memegang jabatan Gubernur Jakarta segera dipidanakan sesuai hukum positif yang berlaku, maka pastilah tidak ada kebangkitan yang kita kenal dengan Aksi Bela Islam.
Apakah saat itu ada tendensi mengupayakan diadakan penegakkan hukum jalanan? Tidak ada. Bahkan ketika itu ada upaya membangun opini seolah massa ingin main hakim sendiri yakni seolah ingin menangkap sendiri Ahok.
Tapi skenario itu gagal total. Tidak ada hasrat Aksi Bela Islam yang belakangan lebih populer dengan sebutan Aksi 212 untuk melakukan aksi main hakim sendiri. Aksi 212 tetap fokus melakukan aksi berulang kali dengan tuntutan tegas, tegakkan hukum positif yang berlaku, aparat polisi harus menangkap Ahok dan mempidanakannya. Inilah bukti fakta yang sangat tegas, Aksi 212 gerakan moral, bukan gerakan main hakim sendiri.
Ketika Aksi Bela Islam pada 2 Desember 2016 menghadirkan jumlah massa aksi yang terbesar dalam sejarah Indonesia, bahkan mungkin terbesar di dunia, barulah aparat dan pemerintah berpikir ulang bahwa tuntutan itu tak bisa dibendung lagi. Tak ada pilihan lain selain segera mempidanakan Ahok. Hasilnya kita sudah sama tahu, Ahok terbukti secara sah menista atau melakukan penodaan agama dan karenanya dihukum dengan vonis 2 tahun penjara.
Lalu kenapa Aksi 212 tidak bubar setelah Ahok dipenjarakan? Karena faktanya sepanjang masa persidangan Ahok hingga saat ini, bukannya muncul kesadaran tentang menghentikan penistaan agama, melainkan malah terus menerus muncul berbagai bentuk penistaan yang sebagian besar mendapat pembiaran dari aparat dan pemerintah. Artinya gerakan moral ini menangkap pesan kuat bahwa pemerintah yang berkuasa saat ini memang tidak punya sikap pembelaan atas umat beragama.
Situasi tambah buruk ketika pemerintah malah getol menonjolkan apa yang mereka sebut “Islam nusantara”. Sesuatu yang bertentangan dengan esensi Islam yang ada di seluruh dunia yakni menjaga betul kondisi keasliannya nilai-nilai ajarannya sesuai dengan Quran dan Hadits yang memang faktanya turun di Arab dan menggunakan Bahasa Arab. Upaya mengenalkan “islam nusantara” sangat mirip dengan kejadian deislamisasi Turki oleh Mustafa Kamal Ataturk atau deislamisasi Aceh oleh Christian Snouck Hurgronje. Padahal Islam adalah Islam, tidak ada yang namanya “Islam nusantara”.
Lalu Umat Islam malah disodori fakta tentang orang gila yang menyerbu masjid-masjid di subuh hari. Seolah hendak menunjukkan bahwa bisa jadi Novel Baswedan diserang orang gila, sebagaimana para ustaz diserang orang gila di masjid-masjid. Akal waras umat menolak.
Bagaimana mungkin ada orang gila yang terencana membawa air keras, membawa golok, menyerang hanya masjid atau orang pulang dari masjid dan pada jam-jam tertentu saja. Akal waras kita menyatakan ini kerjaan terstruktur yang dikemas dengan sebutan serangan orang gila. Yang gilanya, berakhir begitu saja seolah memang pantas berhenti begitu saja karena pelakunya orang gila. Orang gila yang konyolnya besok pada Pemilu 2019 justru akan diberikan hak menjadi pemilih. Artinya “ada kegilaan lain” dalam tata kelola hukum dan demokrasi.