Oleh Beni Sulastiyo, Ketua Dewan Pengawas Yayasan Baitulmaal Munzalan Indonesia
“Di Gontor semua calon santri diperlakukan sama! Yang tak lulus ujian tak akan diterima! Tak peduli anak siapa! Mau anak pejabat, anak menteri, anak jenderal, semua diperlakukan sama! Gontor tidak mengenal suap-menyuap! Tak ada yang bisa membeli Gontor! Karena Gontor sudah kami jual semua. Kalaupun ada yang mau beli pasti tak ada yang sanggup membelinya! Karena Gontor sudah kami jual kepada Allah Subhanahu wata’ala!”
Begitu petikan pidato berapi-api KH Hasan Abdullah Sahal, pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor. Beliau mengungkapkannya di depan 2500 calon pelajar, dan ribuan wali santri di Pondok Putri Mantingan 1, Ngawi, Jawa Timur, tanggal 9 Juli 2017.
Saya berada di antara ribuan wali santri itu. Pidato itu sangat menarik perhatian kita, di tengah semakin runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi-institusi pemerintahan di negeri ini.
Masih adakah hari ini yang tak bisa dibeli, tak bisa disuap, tak bisa dipengaruhi dengan harta benda dan tekanan kekuasaan? Tidak ada! Semua bisa dibeli, semua bisa di suap, semua bisa dipengaruhi!
Namun, Gontor berbeda! Pondok Pesantren yang telah berumur 90 tahun itu berhasil membentengi diri dari praktik-praktik yang merusak tatanan moral dan sosial itu.
Para pendirinya, pemimpinnya, ustadz dan ustadzahnya, pengelolanya, hingga santri-santrinya berhasil membangun tradisi ‘semua sama di hadapan hukum/peraturan’.
Pengalaman 14 hari ‘berkemah’ di Pondok Putri Gontor Mantingan memberanikan saya untuk menyimpulkan hal tersebut. Tentang semua diperlakukan sama. Tentang tak ada satupun yang diperlakukan secara istimewa, sebagaimana pidato berapi-api KH Hasan Abdullah Sahal, pimpinan Pondok yang mengaku tak punya nomor HP, email, facebook, twitter itu.
Seorang wali santri yang ingin mendaftarkan anaknya, misalnya harus melewati delapan pos. Semua wali santri melakukan hal yang sama, tak ada yang main belakang. Tak peduli siapa dan apa status sosial si wali santri itu. Semua wali santri juga dipersilakan untuk tidur di mana saja. Yang datang duluan bisa menyewa wisma, yang kehabisan terpaksa harus menginap di teras, aula, bahkan membangun tenda.
Maka jangan heran, jika melihat pemandangan di halaman parkir Pondok Modern itu. Hampir tak ditemukan mobil-mobil butut keluaran tahun 90-an. Di halaman parkir bagian depan, bagian belakang berjejer ratusan mobil-mobil baru mengkilat keluaran tahun 2000-an. Bahkan seringkali tampak berseliweran mobil-mobil mewah. Itu menunjukkan bahwa para pendaftar bukan dari kalangan tak berpunya. Malah mungkin sebaliknya. Yang menarik seluruh orang-orang the have itu tidur seperti pengungsi, sama seperti kalangan yang biasa-biasa saja seperti saya. Bergelimpangan di teras-teras kelas atau membangun tenda. Tak ada yang mendapat hak istimewa. Luar biasa.
Saya punya pengalaman ‘pahit’ tentang bagaimana sakleknya Gontor menegakkan peraturan. Ceritanya saya menginap di aula dan bermaksud membeli sesuatu di sebuah toko yang berada di luar kompleks Pondok.
Di siang hari yang panas saya berjalan kaki menyusuri kompleks pondok menuju toko tersebut. Jaraknya sangat jauh, sekitar 1 kilometer dari aula tempat saya menginap. Saya harus melewati pintu gerbang utama agar dapat keluar dari kompleks pondok. Waktu tempuhnya lumayan , sekitar 10 menit. Suasana siang begitu panas. Sinar matahari terik membakar.
Singkat cerita, akhirnya saya sampai di toko. Selesai belanja, saya kembali ke pintu gerbang agar dapat masuk kembali ke kawasan pondok. Sayangnya saya ditahan oleh petugas penjaga. Seorang wanita remaja berjilbab yang mengenakan seragam pramuka menghentikan langkah gontai saya. Pintu gerbang itu memang selalu dijaga oleh santri selama musim pendaftaran, 24 jam sehari. Mereka bergantian menjaganya dalam tiga shift. Satu shift berisi 2 – 3 orang.
Saya dilarang masuk oleh santri remaja itu. Alasannya karena di dalam sedang ada pembangunan tenda untuk persiapan pengumuman hasil kelulusan. Saya diminta memutar lewat jalan belakang. Saya berusaha negosiasi.
Saya menjelaskan padanya bahwa kalau saya lewat jalan belakang, berarti saya harus berjalan kaki 3 kali lipat lebih jauh dibanding melewati jalur ini. Perlu waktu tak kurang dari 25 menit berjalan kaki di bawah terik matahari siang yang mencakar kulit.
Tapi, si santriwati itu tak bergeming. Ia tetap menjawab tidak bisa. Ia bertahan dengan berkata tegas bahwa memang demikianlah peraturannya.
Saya coba memberikan argumentasi lain agar ia berkenan membuka gerbang dan membiarkan saya masuk. Namun, jawabannya sama saja. Tetap tidak bisa.
“Mohon maaf, Bapak. Tidak bisa Bapak. Peraturannya adalah Bapak harus masuk lewat belakang. Silakan lewat belakang saja, Bapak!” begitu ucapannya tegas setiap kaki saya ‘memaksa’ untuk masuk. Gaya bicaranya persis seperti gaya bicara CS yang bekerja di jaringan swalayan.
Ampun dah, ‘keras kepala sekali petugas ini”, maki saya dalam hati sambil membayangkan betapa panasnya matahari yang akan menyergap dan membakar kulit saya nanti.
Namun, dalam perjalanan pulang saya tersenyum. Amarah saya berganti bangga, betapa hebat santri petugas itu dalam menjalankan amanahnya. Betapa kuat mereka memegang peraturan. Padahal mereka itu hanyalah seorang santri yang bekerja dengan ikhlas. Bukan seperti aparat negara yang mendapat gaji tinggi dan ditopang oleh fasilitas.
Pidato KH Hasan Abdullah Sahal itu ternyata bukan sekedar retorika. Tapi telah merasuk ke dalam saraf-saraf sikap dan perilaku hingga ke level terbawah, membentuk tradisi dan budaya menjadikannya tembok untuk menjaga kemuliaan martabat para manusia yang ada di dalamnya.
Maka, saat kita berputus asa karena tak melihat lagi kemuliaan manusia di negeri ini. Bertandanglah ke Gontor. Karena di sanalah warisan kemuliaan sikap hidup masyarakat Nusantara masih terjaga. []