Oleh Drs H Nasrulloh Zainul Muttaqin
Pertanyaan: Ustadz, ada pandangan yang berkembang di masyarakat bahwa di Gontor berlaku pendidikan homogenisasi. Benarkah? Mohon dijelaskan makna dan maksudnnya!
Jawaban: Banyak orang mencemooh alumni Gontor dengan stigma macam-macam: tidak bisa membaca Kitab Kuning, bahasa Arab-nya bukan bahasa fush–ha tetapi Arab Gontor, shalat
harus tanda tangan, kurang etika, dan lain sebagainya, mungkin masih puluhan lagi sumpah serapah. Akan tetapi, jika sudah mengetahui kiprah dan gerak alumni Gontor di masyarakat, cibiran itu tidak ada artinya. Kebaikan, bahkan keunggulan alumni Gontor jauh lebih banyak. Ibaratnya, jutaan bintang bertaburan di langit, akan lenyap begitu matahari bersinar terang. Mengapa demikian? Berikut sedikit ulasan penulis.
Pondok Modern Darussalam Gontor (PM Gontor/Gontor) menerapkan proses pendidikan santrinya dengan homogenisasi. Dengan sistem klasikal dan berasrama penuh, homogenisasi itu menjadi mudah dilakukan. Hal itu berlaku bagi siapa saja, dan dalam hal apa saja, tidak peduli anak kiai, anak tokoh, anak menteri, anak jenderal, anak luar negeri, semua dididik dengan sistem yang sama. Hasilnya, abituren Gontor menjadi manusia berkarakter khas, namun universal; dapat diterima masyarakat luas, dan dapat menjadi panutan.
Homogenisasi dimaksud dalam hal-hal sebagai berikut: Begitu masuk pondok, santri harus tidur dengan fasilitas dan cara yang sama. Dalam satu kamar yang berisi sekitar 30 orang santri tidak boleh lebih dari 5 orang yang seasal daerah (Konsul, istilah Gontornya). Mereka tidur di bawah, dan beralaskan kasur tipis. Waktu tidur, santri wajib mengenakan celana panjang, bukan sarung. Begitu bangun pagi Shubuh, semua kasur harus digulung atau ditumpuk di satu tempat, dan tidak ada lagi yang boleh menambah waktu tidur, sebab, usai shalat Shubuh, segudang kegiatan telah menanti.
Baju santri Gontor disesuaikan dengan waktu dan jenis aktivitasnya. Ketika ke masjid, santri wajib mengenakan baju yang dimasukkan ke dalam sarung, berkopiah hitam (bukan putih seperti umumnya pondok pesantren), dan berikat pinggang. Ketika olahraga, mereka harus mengganti pakaiannya dengan kaos yang dimasukkan ke dalam celana olahraga.
Baju sekolah santri putra tidak sama tetapi umumnya seragam. Ketentuannya, santri atau siswa Kulliyyatu–l–Mu‘allimin al–Islamiyyah (KMI) harus memiliki kemeja putih lengan panjang dan celana berwarna gelap, tidak harus hitam. Sehari-hari, ketika masuk kelas, ada siswa KMI yang mengenakan kemeja bermotif polos, garis, maupun kotak-kotak lembut; ada yang berlengan panjang, tapi lengan pendek pun boleh. Motif batik atau bunga dilarang. Demikian pula warna yang mencolok, seperti merah, hitam, dsb. Warna celana tidak harus seragam. Saat bersekolah, baju itu harus dimasukkan ke dalam celana yang berikat pinggang, dan wajib bersepatu, apapun merknya.
Saat berlatih pidato dalam bahasa Indonesia-Arab-Inggris, semua santri mengenakan kemeja putih. Khusus pembicara dan pembimbing, wajib mengenakan jas dan kopiah.
Barangsiapa tidak mengikuti aturan akan dikenai sanksi. Misalnya, berolahraga dengan pakaian shalat atau pakaian masuk kelas, atau mengenakan sarung pada jam sekolah (pukul 07.00–12.20 WIB), atau tidur mengenakan celana pendek.
Potongan rambut santri Gontor khas dan seragam, tidak boleh panjang. Ukurannya, rambut tidak boleh sampai menyentuh daun telinga. Jika rambut telah menyentuh daun telinga, tinggal pilih, yang dipotong ‘telinganya atau rambutnya’.
Dalam kurun waktu tertentu, Bagian Keamanan dan Guru Pembimbing Santri akan mengelilingi kelas-kelas, mengingatkan yang rambutnya telah dianggap waktunya cukur. Yang namanya dicatat harus datang cukur di sore hari kemudian lapor kepada Bagian Keamanan. Ketika naik ke kelas 6, sebagai kesyukuran, para santri itu harus memotong rambutnya seperti taruna Akademi Militer. Mereka menyebutnya “jundy”, ‘seperti tentara’. Semua yang naik ke kelas 6 wajib jundy, sebagai ungkapan rasa kesyukuran.
Homogenisasi dalam berpakaian dan berpenampilan itu akan terbawa dan menjadi ciri khas alumni Gontor di manapun. Pakaian itu juga universal. Manusia, bahkan presiden dari negara manapun berpakaian seperti yang biasa dikenakan santri Gontor itu.
Yang tak kalah menariknya, pendidikan homogenisasi dalam hal makan. Pedoman di Gontor bukan “hidup untuk makan,” melainkan “makan untuk hidup.” Waktu dan menu makan diatur sedemikian rupa. Para santri itu pun harus makan tepat pada waktunya, dan dengan lauk yang tersedia, agar tidak kelaparan dan bisa mengikuti aktivitas pondok dengan baik.
Tentang, lauk pauk, jangan tanya. Justru, di sinilah nilai pendidikan yang luar biasa. Para santri itu disuguhi menu yang sama. Yang penting, gizinya cukup. Telah meliputi rasa asin, manis, gurih, dan pedas. Mereka harus menyesuaikan diri. Memang, awalnya, anak dari Jogjakarta atau Jawa Tengah belum terbiasa dengan menu yang tersedia.
Begitu pula santri dari luar Jawa yang umumnya justru suka pedas, harus melahap menu yang terkadang terlalu manis bagi indera pengecap mereka. Perutnya harus beradaptasi sebentar.
Tujuan homogenisasi dalam hal makanan ini agar lidah santri menjadi universal. Sehingga, ketika harus berjuang di daerah tertentu atau sekolah di luar negeri menjadi mudah menerima makanan. Hal itu diakui alumnus Gontor yang telah puluhan tahun belajar di Kairo. Katanya, “Anak Gontor paling cepat menyesuaikan diri dengan jenis makanan di Kairo, sehingga kerasan.”
Pernah, seorang santri dari Thailand penulis tanya, apa makanan favoritnya selama di Gontor dan tidak ada di Thailand. Jawabannya mengejutkan, “Sayur terong.” Mungkin sayur lodeh terong maksudnya. Benar, lidahnya sudah universal.[]