Oleh Nadiah Sabrina Himam
Guru KMI Gontor Putri dan Mahasiswi UNIDA Gontor
Pertanyaan:
Menjelang Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019, suasana politik nasional kian meghangat. Sejumlah kekuatan, antara lain Ormas, Parpol, dan elemen lainnya, seperti berlomba mencari simpati dan panggung. Apakah Gontor tidak tertarik ikut berpolitik?
Jawaban:
Selentingan tentang politik terdengar di sana-sini. Media massa ramai membicarakan kebusukan dan konspirasi pemerintah. Korupsi, kolusi dan nepotisme sudah dianggap lagu lama. Kabinet-kabinet berganti, pemimpin dengan segala macam bentuk kepemimpinan sudah terlewati. Sejak zaman penjajahan hingga zaman blusukan, dari zaman belum berorde hingga zaman orde paling baru. Krisis moneter, inflasi keuangan, dampak sistemik perbankan hingga gerakan kebangkitan.
Apapun zamannya Gontor tetap berdiri tegak, tidak terpengaruh, segala kegiatan berjalan normal tidak ada yang berubah. Nilai-nilai dan idealisme tetap sama, ajaran-ajaran tetap diterapkan, tidak ada yang berubah.
Tetapi jangan dikira para pendahulu tidak ikut andil dalam berjuang. Pada 1922, beberapa tahun setelah dunia Islam dikejutkan oleh penghapusan khilafah oleh Musthafa Kemal Attaturk, Kongres Al Islam diadakan untuk pertama kali di Cirebon dengan tujuan mempersatukan aliran dan kerjasama antarsesama Muslim dalam menuntaskan pelbagai permasalahan yang mengarah pada Pan Islamisme.
Kongres kedua pada Mei 1924 di Garut yang menghasilkan penetapan Komite Kongres Al Islam yang pada intinya menuntut keputusan untuk ikut serta dalam menyelesaikan persoalan khilafah yang memberikan dampak besar pada seluruh umat Islam dunia. Beberapa kongres menyusul setelahnya.Isu-isu tentang pemilihan perwakilah Islam Indonesia pada Kongres Umat Islam Dunia di Mekkah mencuat.
Sejak awal telah terjadi ketegangan antara kalangan tradisionalis dan kaum modernis. Satu sama lain memiliki keinginan masing-masing. Pak Sahal sebagai aktivis pergerakan Islam. Beliau aktif dalam beberapa organisasi dan gerakan-gerakan Islam terutama Sarekat Islam (SI).
Dalam setiap kongres, Pak Sahal tidak terikat dengan kubu manapun, meski saat itu beliau mewakili Sarekat Islam Cabang Madiun. Saat itu Pak Sahal bertemu dengan banyak tokoh dari Muhammadiyah dan tokoh-tokoh yang nantinya akan menjadi founding father Nahdlatul Ulama.
Bahkan beberapa di antaranya merupakan senior dan teman beliau saat menuntut ilmu di Pondok Siwalan Panji.
Namun begitu, beliau tidak pernah berpihak pada salah satu kubu. Sebaliknya, beliau mengambil banyak pelajaran dari perselisihan dan isu-isu yang terjadi selama masa-masa kongres.
Pahit manis yang dirasakan para pendahulu dalam berorganisasi dan menjadi aktivis gerakan Islam memberikan banyak pelajaran. Banyak hal yang dapat diambil salah satunya adalah semangat berjuang dan belajar. Dan ada hal-hal yang harus dieliminasi dari lembaga pendidikan, salah satunya adalah politik. Keputusan yang nantinya menjadi nilai ini tidak diambil dengan sembarangan, tapi melalui banyak pertimbangan dan buah dari pembelajaran masa lalu.
Pondok memiliki ide, nilai, lembaga. Idenya adalah mendidik umat. Nilai-nilainya adalah Panca Jiwa. Tidak boleh diubah dan tidak boleh diganti.
Setelah mengalami banyak hal dan menimbang berbagai macam kemungkinan, Pak Sahal dibantu adik-adiknya, Pak Zar dan Pak Fananie, mendirikan Gontor. Setelah itu pondok terus berkembang . Meski para pendiri telah wafat, tapi nilai yang ditanamkan tetap tumbuh. Nilai-nilainya telah berbunga, berbuah, memberi makan orang yang kelaparan.
Masinis boleh berganti tetapi kereta harus tetap berjalan di atas rel yang telah ditetapkan, begitu yang selalu para pengasuh ingatkan. Teruskan perjuangan, jangan punya keinginan untuk berhenti.
Saat berjuang, harus membuka mata, buka telinga, buka hati, buka pikiran. Jangan sampai tertipu hanya karena diberi kacamata hijau. Kacamata hijau itu adalah harta, tahta, wanita, berita, senjata, dll. “Sehingga lahan gersang dianggap subur”.
Gontor dulu pimpinannya sudah berpolitik dan berormas. Kalau kini ingin berpolitik berarti mundur ke belakang. Karena Gontor sudah pernah masuk politik dan berormas, lalu keluar. Hingga sekarang, jika ditanya “Mengapa Gontor tidak berpolitk?” maka jawabnya, “Sudah Pak, dulu.” Wallahu a’lam bisshawab.