Namanya Abu Nasr Muhammad ibn al-Farakh al-Farabi. Namun dia lebih dikenal dengan nama al-Farabi. Merujuk pada kota tempat kelahirannya.
Dia lahir pada tahun 870 di Farab, Turki bagian tengah. Selain dikenal sebagai seorang filsuf, al-Farabi juga dikenal sebagai pakar musik.
Dialah penemu not musik. Temuan ini ia tulis dalam kitab al-Musiq al-Kabir (Buku Besar tentang Musik). Buku yang membahas ilmu dasar musik ini telah menjadi rujukan penting bagi perkembangan musik klasik Barat.
Dalam karya fenomenal itu, al-Farabi menulis bahwa musik dapat menciptakan perasaan tenang dan nyaman. Musik, juga mampu mempengaruhi moral, mengendalikan emosi, mengembangkan spiritualitas, dan menyembuhkan penyakit seperti gangguan psikosomatik.
Karena itu bagi al-Farabi, musik bisa menjadi alat terapi. Sebab, musik adalah sesuatu yang muncul dari tabiat manusia dalam menangkap suara indah yang ada di sekelilingnya.
Al-Farabi juga piawai memainkan sejumlah alat musik. Ketika memainkan alat musik, ia mampu membuat pendengarnya tertawa, bersedih, bahkan tertidur.
Kemampuan ini pernah ia tunjukkan di depan penguasa Suriah, Safy ad-Daulah, saat ia diundang ke istana untuk menyaksikan pertunjukkan musik yang dimainkan oleh para musisi istana.
Di mata al-Farabi, para musisi istana itu telah melakukan kesalahan sehingga alunan musik kurang terdengar indah. Ia lalu meminta izin kepada penguasa Suriah untuk memainkan alat musik.
Saat al-Farabi memainkannya, para hadirin tiba-tiba tertawa. Kemudian al-Farabi segera mengubah komposisi musiknya sehingga membuat hadirin menangis. Ia lalu mengubah komposisinya lagi sehingga membuat hadirin tertidur.
Perjalanan Hidup
Al-Farabi menghabiskan masa kanak-kanak dan pendidikan dasarnya di Farab. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Bukhara, dan menempuh pendidikan tinggi di Baghdad.
Di Baghdad, awalnya ia mempelajari bahasa Arab dan Yunani. Ia belajar tata bahasa Arab dari ahli tata bahasa dan linguistik, Abu Bakr ibn Saraj. Ia kemudian tertarik mempelajari filsafat kuno, terutama filsafat Plato dan Aristoteles.
Al Farabi mempelajari filsafat Aristoteles dan logika di bawah bimbingan filsuf terkenal, Abu Bishr Matta ibn Yunus. Komponen filsafat Platonik dan Aristotelian, ia padukan dengan ajaran dari al-Qur’an dan al-Hadis.
Selain musik dan filsafat, al-Farabi juga mempelajari aritmatika, fisika, kimia, kedokteran, dan astronomi.
Al-Farabi berada di Baghdad lebih dari 40 tahun (901-942). Di kota ini ia belajar dan berkarya dalam bidang filsafat. Ia menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani. Bahkan ia dikenal sebagai filsuf Islam pertama yang memperkenalkan filsafat Yunani kepada dunia Islam.
Menurut filsuf Majid Fakhry, al-Farabi dikelompokkan sebagai neoplatonis karena mampu membuat sintesa pemikiran Plato dan Aristoteles.
Menurut Majid, untuk memahami pemikiran kedua filsuf Yunani tersebut al-Farabi harus membaca karya-karya Plato dan Aristoteles berulang kali. Misalnya, al-Farabi membaca On the Soul 200 kali dan Physics 40 kali.
Tak heran jika ia mampu mendemonstrasikan dasar persinggungan Aristoteles dan Plato dalam sejumlah hal, seperti tentang penciptaan dunia, kekekalan ruh, maupun siksa dan pahala di akhirat.
Al-Farabi tak hanya mampu memahami pemikiran Plato dan Arsitoteles. Tapi ia juga mampu menuangkan pemikiran filsafatnya ke dalam kitab Fushush al-Hikam dan kitab al-Ihsha` al-‘Ulum.
Kitab Fushush al-Hikam menjadi karya monumentalnya yang hingga kini masih menjadi buku teks filsafat di berbagai institusi pendidikan.
Sedangkan kitab al-Ihsha` al-‘Ulum menjabarkan klasifikasi dan prinsip dasar sains secara unik dan cerdas.
Karena itu tak heran jika pemikiran al-Farabi banyak mempengaruhi para pemikir sesudahnya seperti Ibnu Sina yang terpengaruh pemikiran metafisik al-Farabi. Demikian juga dengan Abu Sulaiman as-Sijistani, Abu’l-Hasan Muhammad ibn Yusuf al-‘Amiri, dan Abu Hayyan al-Tauhidi.
Al-Farabi juga menghasilkan karya terkenal Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Model Kota Idaman). Dalam kitab ini, ia menulis negara ideal bagi Muslim adalah negara yang mampu menyediakan berbagai kebutuhan warganya. Selain membantu warga menjalankan ajaran agama dengan baik, pemimpin ideal bagi negara Muslim, menurutnya, adalah raja yang memiliki pengetahuan tentang filsafat.
Dengan kata lain, seorang pemimpin harus memiliki kecerdasan tinggi, menguasai sains, filsafat, dan ilmu agama.
Sebelum menetap di Baghdad, al-Farabi telah berkeliling ke berbagai daerah seperti Iran, Mesir, dan India. Setelah 40 tahun lebih berada di Baghdad, ia meninggalkan kota itu dan tinggal di Turkistan.
Di sini ia menghasilkan karya terkenal at-Ta’lim ats-Tsani. Karena itulah ia mendapat julukan sebagai “mu’allim ats-tsani†dari Timur (guru kedua dari Timur). Al-Farabi kemudian menuju ke Suriah, kemudian ke Mesir. Namun ia lalu kembali ke Suriah dan bermukim di Allepo.
Ia meninggal dunia di Damaskus pada 970 M. Jasadnya dimakamkan di Bab as-Saghir, berdekatan dengan makam Mu’awiyah, pendiri dinasti Ummayyah. [Rusdiono Mukri]