Perkembangan dan pertumbuhan perguruan tinggi pesantren dalam beberapa tahun terakhir terus menggeliat. Universitas Darunnajah Jakarta, Universitas La Tansa Mashiro di Rangkasbitung Banten, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan Universitas Al-Amien Prenduan Sumenep Madura menjadi contohnya. Even the best can be improved mungkin menjadi kata yang tepat untuk menjawab perkembangan fenomenal dunia pesantren tersebut.
Rektor Universitas Darussalam Gontor, Prof Dr KH Hamid Fahmy Zarkasyi, MA.Ed, MPhil, mengakui bahwa tren perkembangan perguruan tinggi pesantren merupakan sesuatu yang positif. Bahkan, putra pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor KH Imam Zarkasyi itu berani menyebut pesantren yang tidak mengembangkan sistem pendidikannya ke perguruan tinggi seperti jalan di tempat. Sekalipun pendirian perguruan tinggi di lingkungan pesantren tetap membutuhkan komitmen sumberdaya manusia dan pendanaan yang tidak sedikit.
“Saat ini ada 32 pesantren yang memiliki perguruan tinggi di lingkungan Forum Pesantren Alumni Gontor (FPAG) dan akan kita dampingi perkembangannya,” ungkap Prof Hamid dalam keterangannya kepada Majalah Gontor.
Wartawan Majalah Gontor, Mohamad Deny Irawan, berkesempatan mewawancarai Rektor Universitas Darussalam Gontor itu seputar perkembangan universitas pesantren di Indonesia melalui sambungan telepon. Simak uraiannya di bawah ini!
Beberapa pesantren sudah mengembangkan satuan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi. Sebut saja, Pesantren Darunnajah Jakarta dengan Universitas Darunnajah-nya, Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang dengan Universitas Darul Ulum-nya, Pondok Pesantren La Tansa Mashiro dengan Universitas La Tansa Mashiro-nya hingga Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo dengan Universitas Nurul Jadid-nya. Bagaimana pendapat Anda?
Ini suatu perkembangan yang positif karena selama ini pesantren hanya memikirkan satuan pendidikan menengah saja. Padahal, perkembangan ilmu pengetahuan yang diikuti dengan perkembangan lembaga pendidikan di Indonesia sudah sedemikian luar biasa. Bahkan, transformasi dari IAIN menjadi UIN telah menunjukkan perkembangan signifikan seputar perguruan tinggi Islam di Indonesia. Kalau pesantren tidak mengembangkan satuan pendidikannya ke tingkat universitas, maka itu pesantren seperti berjalan di tempat. Karena itu, satu langkah spesifik untuk terus mendorong perkembangan ini adalah dengan mempersiapkan sumberdaya manusia (SDM) hingga sarana prasarana yang berkualitas.
Seberapa penting alumni pesantren masuk ke perguruan tinggi pesantren?
Kini, sudah saatnya membangun sebuah kesadaran untuk mempersiapkan SDM dari dunia pesantren melalui lembaga perguruan tinggi. Sebab pesantren memiliki milieu (lingkungan) pendidikan yang mampu menanamkan nilai-nilai Islam kepada santrinya. Jika milieu ini tidak dilanjutkan ke jenjang perguruan tinggi maka para santri akan masuk ke perguruan tinggi yang tidak memiliki milieu seperti pesantren. Bisa jadi di situ para alumni pesantren akan kehilangan identitas santrinya. Tentu saja ini bagi pesantren merupakan suatu kehilangan besar. Sekurang-kurangnya para santri menyelesaikan jenjang S1-nya di perguruan tinggi pesantren. Namun, jika para santri kuliah di luar perguruan tinggi pesantren dan dapat mempertahankan identitas kesantriannya, maka itu merupakan kebanggaan dan sumbangan pesantren yang berharga bagi bangsa ini.
Apakah setiap pesantren harus mendirikan lembaga pendidikan setingkat perguruan tinggi?
Tentu tidak semua. Tidak bisa dipaksa-paksakan juga karena pesantren memiliki kualitas SDM yang bermacam-macam: ada yang siap dan ada yang tidak siap. Bagi pesantren-pesantren yang telah memiliki sejumlah guru yang bergelar MA atau doktor, bagi saya harus mendirikan perguruan tinggi. Sebab ilmu pengetahuan di pesantren perlu dikembangkan ke tingkat perguruan tinggi, agar ketika keluar dari pesantren para santri memiliki kedewasaan mental dan intelektual.
Selain kekuatan SDM, juga kekuatan finansial. Bagi pesantren-pesantren yang memiliki santri berjumlah ribuan dan telah memiliki kemampuan finansial yang cukup, perlu mempersiapkan kaderisasi untuk mendirikan perguruan tinggi pesantren. Saya yakin wujud perguruan tinggi pesantren akan meningkatkan kualitas guru-guru di tingkat menengahnya.
Saat ini ada dua model perguruan tinggi di lingkungan pesantren: universitas dan ma’had aly. Apa perbedaan antara keduanya?
Ma’had Aly merupakan lembaga pendidikan tinggi yang dimaksudkan untuk melanjutkan pembelajaran santri di pondok pesantren salaf. Melalui nomenklatur Ma’had Aly pula, pesantren salaf ingin para kiai-kiai ini juga bisa diangkat menjadi seorang dosen. Maka dengan adanya Ma’had Aly pesantren akan memiliki program studi Islam di tingkat universitas yang linier dengan ilmu-ilmu yang diajarkan di pesantren seperti fiqh, tafsir, hadis dan lain sebagainya.
Tapi masalahnya, Ma’had Aly belum dapat mengikuti persyaratan-persyaratan seperti halnya universitas pada umumnya. Tampaknya Ma’had Aly belum memiliki aturan-aturan yang ketat seperti yang diterapkan di perguruan tinggi secara umum. Keharusan untuk memiliki sejumlah dosen yang bergelar Master dan Doktor yang memiliki jabatan fungsional atau jabatan akademik, organisasi tata kelola yang sehat yang melibatkan Yayasan dan Kiai, sistem penjaminan mutu dan lain-lain tampaknya belum kelihatan.
Persyaratan-persyaratan yang terkait dengan akreditasi itu tampaknya masih belum sejalan dengan kriteria universitas yang berada di bawah kewenangan Kementerian Agama (Kemenag) maupun Kementerian Pendidikan Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti). Jadi antara Ma’had Aly dengan perguruan tinggi/sekolah tinggi/institut atau universitas itu berbeda dan diperlakukan secara berbeda pula. Itu semua perlu diperjelas melalui undang-undang atau sebagai peraturan yang berlaku.
Bagaimana Anda melihat perkembangan perguruan tinggi pesantren dalam beberapa tahun mendatang?
Sekarang, pesantren-pesantren di lingkungan NU (Nahdhatul Ulama) sudah mulai bertransformasi dari sekolah tinggi ke institut, dari institut ke universitas, dan sudah banyak yang berkembang ke arah itu. Tetapi, yang menjadi catatan saya, tidak semuanya siap dengan SDM yang berkualitas, banyak yang belum memiliki gelar dan jabatan akademik dan fungsional, sarana prasarana yang lengkap, dan lain sebagainya.
Karena itu, yang perlu dilakukan oleh pesantren yaitu menyiapkan SDM sesuai dengan bidang studi yang akan dikembangkan. Jika ingin mendirikan perguruan tinggi dengan program studi Hadis misalnya, pesantren harus menyiapkan dosen yang bergelar Master dan Doktor dalam bidang Hadis; demikian pula dalam bidang-bidang lainnya. Belum lagi, masalah perpustakaannya, kemampuan berbahasa Arab/Inggrisnya yang menjadi syarat penting bagi sebuah universitas atau perguruan tinggi. Untuk itu Forum Pesantren Alumni Gontor (FPAG) yang menghimpun lebih kurang 600 pesantren se-Indonesia, dan 32 di antaranya telah memiliki perguruan tinggi pesantren. Ke-32 pergurutan tinggi pesantren tersebut tergabung dalam Konsorsium Universitas Pesantren yang di antara aktivitasnya mengembangkan SDM, tata kelola, sarana prasarana, dan lain-lain.
Apa yang mendorong Gontor untuk mendirikan perguruan tinggi?
Tujuan awal pendiri pondok Gontor yaitu mendirikan “universitas”, bukan terdorong mendirikan Perguruan Tinggi setelah mendirikan pondok. Coba saja lihat, dua dari sintesa empat unsur Pondok Moderm Gontor adalah universitas. Maka, UNIDA (Gontor) itu, jika diceritakan sejarahnya, harus dikatakan berdiri sejak tahun 1926 yang awalnya berbentuk Tarbiyatul Athfal (TA), lalu KMI, lalu menjadi PTD/IPD dan sampailah kini pada tujuan awalnya yaitu Universitas Darussalam. Jadi, cita-cita Gontor, sebagaimana tercantum dalam Piagam Wakaf yaitu mendirikan universitas yang bermutu dan berarti. Mengapa itu dilakukan? Karena lembaga pencetak SDM yang bermutu dan berarti paling strategis itu ada pada tingkat universitas. Tingkat menengah belum cukup.
Apa corak perguruan tinggi pesantren yang ideal menurut Anda?
Pertama, sebuah perguruan tinggi pesantren harus mempertahankan fakultas dan program-program studi (Prodi) agama Islam. Fakultas itu harus menjadi yang utama di perguruan tinggi pesantren karena nantinya alat untuk mempersatukan (integrasi-Islamisasi) sains dan humaniora adalah ilmu-ilmu dalam Dirasah Islamiyah. Jadi, idealnya dosen dan mahasiswa di Program Studi Agama Islam adalah partner dosen dan mahasiswa di Program Studi Sains dan Humaniora dalam proses Islamisasi. Kalau tidak begitu, tidak ada beda kuliah di perguruan tinggi pesantren dengan perguruan tinggi lain.
Kedua, perguruan tinggi pesantren harus mempertahankan sistem asrama. Percuma, perguruan tinggi pesantren tapi tidak berasrama. Itu sama saja dengan perguruan tinggi swasta yang penggunaannya (asrama) tidak seperti di pesantren. Kalau ada perguruan tinggi yang belum ‘mengadopsi’ sistem pesantrennya maka itu belum bisa dikatakan sebagai perguruan tinggi pesantren. Mungkin itu hanya perguruan tinggi swasta milik pesantren. Asrama ini penting karena di dalam sistem asrama inilah nilai-nilai pesantren dipertahankan.
Ketiga, yang tidak kalah pentingnya yaitu hubungan antara perguruan tinggi pesantren dengan kiainya. Ini tidak boleh terputus atau terpisah. Idealnya, sebuah perguruan tinggi pesantren harus di bawah kiai, baik kiainya menjadi Rektor atau Rektornya di bawah Kiai. Dalam pengertian lain, secara struktural perguruan tinggi pesantren harus berada di dalam struktur pesantren. Jika perguruan tinggi pesantren berada di luar struktur pesantren, maka potensi konflik atau terpisah akan sangat besar. Mengapa perlu di bawah pesantren? Karena simbol pesantren adalah kiai, jika tidak ada kiai, bagaimana mungkin kata ‘pesantren’ disematkan dalam istilah perguruan tinggi pesantren.
Apa pesan Anda untuk masyarakat tentang perguruan tinggi pesantren?
Pertama, untuk para orangtua santri saya berpesan agar tidak berorientasi pada perguruan tinggi negeri. Sebab, sistem akreditasi negeri-swasta sekarang ini tidak berbeda. Bahkan swasta bisa jadi lebih baik dari negeri. Kedua, di perguruan tinggi pesantren telah banyak yang menawarkan program studi sains dan humaniora seperti perguruan tinggi pada umumnya, negeri ataupun swasta. Namun yang terpenting, wali santri harus mengerti bahwa di perguruan tinggi pesantren para mahasantri lebih terbina ilmu, mental dan moral mereka (akhlaknya) dibanding dengan perguruan umum. Maka saran saya kirimkanlah putra/putri Bapak Ibu sekalian ke perguruan tinggi pesantren yang berkualitas, in syaa Allah setelah lulus nanti bermanfaat untuk kerja, untuk berjuang, untuk mengajar, untuk menjadi pemimpin dan lain sebagainya, dan tetap berakhlak santri. Perlu diingat bahwa kualitas ilmu-iman dan akhlak putra putri Bapak dan Ibu itu akan menjadi bekal setelah Bapak dan Ibu meninggal dunia. Untuk para santri, santri yang ideal itu yaitu santri yang selesai di pendidikan tingkat menengah dengan baik dan lanjut ke tingkat universitas pesantren, minimal di tingkat sarjana (S1). Tapi lebih ideal lagi jika S1, S2 dan S3 di perguruan tinggi pesantren. []