Jakarta, Gontornews–Bicara industri keuangan syariah adalah tidak melulu soal perbankan syariah. Masih ada industri keuangan syariah lainnya. Termasuk Surat Berharga Negara pun ada yang syariahnya. Adalah Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara yang merupakan suatu instrumen utang piutang yang diterbitkan oleh pemerintah berdasarkan prinsip syariah.
Dalam perkembangannya Sukuk Negara diterbitkan dalam berbagai variasi instrument. Antara lain adalah Project Based Sukuk (PBS), Surat Perbendaharaan Negara Syariah (SPN-S), Sukuk Negara Ritel (SUKRI dan Sukuk Tabungan), Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI), dan Sukuk Global.
Sewindu sudah UU No 19 Tahun 2008 tentang SBSN beroperasi di tanah air. Bak air, gayung bersambut, SBSN semakin diminati masyarakat sebagai alternatif investasi dan semakin diakui sebagai bagian dari sistem ekonomi yang bisa diimplementasikan dalam kebijakan publik pembangunan.
Ketua Komisi Dakwah MUI KH M Cholil Nafis menyatakan Produk Sukuk Negara di Indonesia merupakan wujud nyata kerjasama antara umaro dan ulama di bidang ekonomi. Sukuk Negara yang sekarang dinikmati oleh negara dan masyarakat melalui pembangunan dan investasi infrastruktur itu adalah hasil kreasi dari fatwa DSN MUI.
Fatwa tersebut telah diakomodasi menjadi peraturan dan UU yang kemudian direalisasi menjadi produk perbangkan, pasar modal, sukuk dll. “Indonesia pantas menjadi pusat keuangan syariah melebihi negara lain di dunia. Karena Indonesia penduduknya Muslim terbesar di seluruh negara,”jelasnya dalam status Facebooknya.
Sejak dimunculkan delapan tahun lalu, penanaman modal dalam bentuk obligasi syariah initerus bergerak maju. Orang nomor satu di Indonesia pun mengapresiasi tingginya nilai Sukuk tersebut. Dikatakannya kita patut bangga, karena Indonesia menjadi penerbit Sukuk Negara terbesar di dunia dalam bentuk dolar Amerika Serikat.
“Hingga 30 November lalu, penerbitan Sukuk untuk pasar internasional mencapai USD 10,15 miliar dengan outstanding USD 9,5 miliar,”jelas Presiden Jokowi dalam peringatan Sewindu Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) di Istana Negara Jakarta 23/12/2016 lalu.
Besarnya penjualan Sukuk tersebut, kata Jokowi, menunjukkan bahwa investasi syariah makin diminati dan potensinya masih sangat besar untuk bisa berperan penting dalam pembangunan nasional.
Menurut Presiden, keberhasilan Sukuk Negara bukan seberapa banyak dana yang berhasil dihimpun. Tapi harus diukur seberapa besar manfaat yang dapat dihasilkan. Jokowi menjelaskan selama 2015 – 2016, sebanyak Rp 20,8 triliun dari Sukuk Negara digunakan untuk membiayai berbagai proyek pembangunan yang memberi manfaat bagi rakyat banyak.
Menanggapi hal tersebut Pemerhati Ekonomi Syariah Agus Yuliawan menjelaskan hadirnya Sukuk Negara memberikan keuntungan tersendiri bagi pemerintah. Dengan SBSN pemerintah bisa memanfaatkan peluang dana – dana yang bersumber dari keuangan global dan investor domestik yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan.
Meskipun demikian, kata Agus, Sukuk Negara dalam perkembangannya belum memberi pengaruh besar terhadap instrumen keuangan syariah lainnya. Dikatakannya, besarnya dana Sukuk Negara yang dimasukkan ke dalam APBN, dalam kenyataanya distribusi dana APBN tersebut tidak melalui bank syariah. Begitu juga, ketika dana Sukuk Negara digunakan dalam pembiayaan infrastruktur.
Kemudian persyaratan penggunaan dana Sukuk Negara dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur adakah yang menggunakan asuransi syariah sebagai syarat dalam manajemen risikonya. “Catatan-catatan inilah yang dirasakan masih kurang,”jelasnya.
Kata Agus, untuk meningkatkan peran instrument keuangan Syariah ini perlu didorong terus oleh pemerintah dan pihak terkait perlu mengedukasi masyarakat. “Harus dilakukan edukasi terus menerus terhadap apa itu sukuk agar maksimal pangsa pasarnya,”tututnya.
Selain itu, imbuh Agus, diperlukan juga pemahaman inovasi engineering financial bagi umat Islam bahwa bicara keuangan syariah itu sangat luas. “Tidak hanya perbankan syariah saja, masih ada lainya yang memberikan keuntungan yang lebih besar,”katanya kepada Gontornews.com.
Menurutnya, sukuk memiliki keuntungan lebih besar dari pada tabungan dan deposito di tambah minimnya resiko. Kalau dibandingkan dengan obligasi konvensional memang keuntungannya lebih besar konvensional, karena proyek-proyek pendanaan yang ditawarkan konvensional lebih besar, tapi problemnya di konvensional tidak ada underlying asetnya sehingga rawan terhadap resiko. (M Khaerul Muttaqien)