Data UNESCO menyebut minat baca masyarakat Indonesia hanya sebesar 0,001 persen atau satu dari 1000 orang yang gemar membaca. Laporan ini tentu saja seperti cambuk berduri dalam upaya Indonesia menuju visi Indonesia Emas 2045 mendatang.
Selain rendahnya minat baca, disrupsi digital dan ketidakmampuan masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan sektor digital untuk menambah ilmu pengetahuan melalui bacaan menambah panjang daftar masalah literasi di Indonesia.
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia, Arys Hilman Nugraha, menjelaskan permasalahan literasi masyarakat Indonesia bukan berada di melek baca atau tingkat melek huruf, tetapi pada buruknya akses bahan baca yang berujung pada rendahnya kebiasaan membaca.
“Indonesia punya persoalan karena masyarakat Indonesia tidak memiliki kebiasaan membaca yang cukup. Jadi bukan minat bacanya yang jadi masalah tetapi kebiasaan bacanya yang tidak cukup terbina,” kata Arys Hilman kepada Majalah Gontor.
Wartawan Majalah Gontor, Mohamad Deny Irawan, berkesempatan mewawancarai Alumnus Universitas Padjadjaran Bandung ini seputar situasi dan tantangan literasi di Indonesia pada masa mendatang. Simak ulasannya!
Bagaimana Anda melihat literasi di Indonesia hari ini?
Yang pertama, tentu kita harus samakan dulu persepsi tentang literasi. Biasanya, ada salah paham bahwa literasi adalah minat baca. Padahal, literasi bukan sekedar minat baca. Literasi ini adalah suatu kondisi yang lebih jauh dari sekedar minat baca. Perlu diketahui, literasi itu adalah kemampuan manusia atau masyarakat untuk memaknai informasi yang masuk, memilahnya, bersikap kritis terhadap informasi itu sehingga dia bisa memetik manfaat dari informasi tersebut. Itu adalah literasi.
Kemudian kita masuk, ada literasi baca-tulis. Sekarang banyak sekali istilah literasi, ada literasi digital, finansial, budaya, kewargaan dan sebagainya. Tapi yang kita bahas hari ini literasi dalam pengertian paling mendasar yaitu literasi baca (baca dan tulis).
Untuk sampai ke kemampuan literasi ini, paling tidak ada tiga hal yang kita perlu miliki sebagai sebuah masyarakat bangsa: 1) kemampuan membaca. Di Indonesia, kita tidak memiliki persoalan tentang kemampuan baca, artinya kemampuan dasar baca itu melek huruf. Jadi masyarakat Indonesia ini, 96 persen lebih itu bisa membaca. Di Pulau Jawa, 99% lebih masyarakatnya bisa membaca, jadi untuk modal dasarnya kita tidak memiliki persoalan. Tetapi itu tidak cukup untuk menunjang literasi, sekadar melek huruf saja tidak bisa.
Yang kita perlukan berikutnya setelah melek huruf yaitu minat baca. Saya dan kami di IKAPI itu termasuk yang percaya bahwa masyarakat kita sadar kalau minat baca itu perlu. Jadi kemampuan baca kemudian ada minat baca. Tetapi persoalannya ada di berikutnya. Minat baca saja tidak cukup kalau masyarakatnya tidak memiliki akses terhadap bahan bacaan.
IKAPI percaya, tingkat melek huruf di kalangan masyarakat sudah bagus, minat baca sudah ada, tetapi kemudian kita menghadapi tantangan berikutnya yaitu akses terhadap bahan bacaan.
Apa tantangan dari terbatasnya akses ke bahan bacaan?
Akses terhadap bahan bacaan itu misalnya, adakah orang di sekitar masyarakat yang berjualan buku? Apakah ada toko buku di tingkat kabupaten? Apakah ada toko buku di tingkat desa atau kecamatan? Inilah pekerjaan rumah kita hari ini.
Akses terhadap bahan bacaan bisa terbantu dengan kehadiran perpustakaan di desa, perpustakaan di sekolah. Di tingkat provinsi, kita tidak ada masalah karena semua provinsi di Indonesia memiliki perpustakaan daerah. Di tingkat pusat, perpustakaan nasionalnya, sangat bagus. Di tingkat kabupaten/kota juga ada. Tetapi begitu masuk ke tingkat kecamatan dan desa atau kelurahan, tidak semuanya punya perpustakaan. Atau kalaupun ada, perpustakaannya tidak layak.
Di tingkat sekolah misalnya, tidak semua sekolah memiliki perpustakaan. Di tingkat sekolah dasar, hanya 60-an persen yang memiliki perpustakaan. Dari jumlah tersebut, tingkat kelayakannya juga rendah, berada di angka 19 persen dari yang punya perpustakaan. Di tingkat SMP sama saja, walaupun jumlah presentase sekolah yang memiliki perpustakaan cukup banyak, sampai dengan 67 persen, tetapi tingkat kelayakannya hanya 22 persen. Temuan ini menunjukkan bahwa kita memiliki tantangan, setelah melek huruf dan minat baca, yaitu akses terhadap bahan bacaan yang tidak cukup bagus.
Kalau itu terputus di tengah jalan, upaya kita terkait dengan literasi terputus. Karena yang keempat setelah akses bahan bacaan yaitu pembinaan kebiasaan membaca. Pembinaan kebiasaan membaca bisa terputus kalau buku tidak lengkap.
Jadi yang lebih penting dalam literasi itu yaitu dari melek huruf, minat baca, akses ke bahan bacaan dan kebiasaan membacanya agar membentuk sebuah reading society, masyarakat yang memiliki habit untuk membaca. Di situ Indonesia punya persoalan karena Indonesia tidak memiliki kebiasaan membaca yang cukup. Jadi bukan minat bacanya tetapi kebiasaan bacanya yang tidak cukup terbina.
Apa faktor penyebab lemahnya literasi di kalangan masyarakat Indonesia?
Saya menyebut disrupsi, dan disrupsi yang paling kuat dari media digital. Inilah yang menjadi perhatian kita karena di saat yang bersamaan, kehadiran dunia digital sebetulnya bisa menjadi berkah tersendiri bagi negara. Sebut saja pengalaman negara-negara Nordic atau Skandinavia. Begitu mereka memperkenalkan digitalisasi buku, sisi digitalnya naik sehingga buku fisik bisa tergantikan. Tetapi budaya bacanya tetap ada, reading habit-nya tetap tumbuh. Audio-book-nya juga tumbuh luar biasa, pesat sekali.
Kalau di Indonesia, buku cetaknya berkurang tapi buku digitalnya juga tidak menggantikannya sama sekali. Jadi permasalahannya ada pada habit digital masyarakat Indonesia yang lebih banyak dipakai untuk nonton video atau audio. Yang lebih parah, kita menggunakan platform digital untuk pinjol (pinjaman online) hingga judi online. Jadi dunia digital bukan untuk menambah ilmu melalui buku-buku digital dan di Indonesia tidak terjadi itu. Yang terjadi, tantangan digital hari ini yaitu terbukanya platform-platform baru yang itu kemudian menghabisi energi seseorang untuk membaca yang sebetulnya belum tumbuh kebiasaannya.
Tantangan sebenarnya bukan pada buku digital. Buku digital sama sekali tidak bisa menyaingi buku fisik. Faktanya, sebagian besar penjualan buku di Indonesia, bahkan di seluruh dunia, buku fisik masih mendominasi. Tantangan digital yang ada di kita yaitu habit digital untuk menonton, reading versus watching.
Saya menemukan di semua pesantren, habit membaca masih banyak ditemukan. Mereka relatif bebas dari disrupsi karena tidak memegang gadget. Lalu apa hiburan mereka? Membaca. Jadi nanti yang akan menjadi pemimpin negeri kita di masa depan anak-anak lulusan pesantren. Kalau kita melihat di pameran yang ramai itu kan Islamic Book Fair karena santri datang dan belanja buku. Mereka menikmati buku itu tidak terdistraksi oleh SMS, WhatsApp, Facebook dan macam-macam. Akhirnya mereka tekun sekali membaca buku.
Jadi, akan ada generasi baru kita itu yang pintar-pintar dan literasinya bagus itu anak-anak alumni pesantren, karena mereka ketika masih anak-anak tidak terdistraksi oleh gadget, atau paling tidak minim terdistraksinya.
Mengapa minat baca di dunia pesantren tinggi?
Sebenarnya sudah jelas bahwa faktor penyebabnya, ada atau tidaknya gadget. Pada titik ini, pesantren sudah berada di jalur yang benar. Untuk di sekolah, pada level tertentu, sebaiknya memang waktu untuk buku fisik harus lebih besar. Bukan berarti di pesantren tidak boleh masuk ke dunia digital, hanya saja saya mengakui bahwa (penggunaan gadget) di pesantren lebih terkendali ketimbang anak-anak yang berada di luar pesantren.
Kita menemukan fenomena bahwa penjualan buku lebih laku kalau dibawa ke pesantren. Kita selalu dapat ‘banyak’ kalau kita pergi ke pesantren. Tapi kalau pergi ke sekolah umum, belum tentu. Karena anak-anak di sekolah umum agak kurang minat untuk membeli buku tapi untuk hal-hal lain mereka banyak mengeluarkan uang. Tapi kalau di pesantren anak-anaknya memang menyediakan anggaran untuk beli buku. Jadi minat terhadap bukunya jauh lebih tinggi dari yang lain.
Apa pesan Anda untuk masyarakat?
Kalau kita memang ingin menjadi bangsa yang maju, kita harus melihat bahwa tidak ada satupun negara maju yang dunia perbukuannya tertinggal. Indonesia bercita-cita untuk menjadi negara maju di tahun 2045 dengan visi Indonesia Emas. Tetapi kalau cita-cita itu tidak ditegakkan dengan dukungan budaya baca, dengan dukungan dunia buku, maka struktur masyarakatnya tidak solid. Karena membangun fondasi kebiasaan membaca merupakan sesuatu yang fundamental.
Jadikan dulu masyarakat itu reading society. Masyarakat yang memiliki habit membaca. Dengan itu, kita akan terhindar dari kebiasaan menyebar hoax, dan terhindar dari begitu mudahnya menelan berita palsu.
Kalau mau bangsa kita maju, majukan dunia perbukuannya dan buat masyarakatnya terbiasa membaca karena dengan membaca, seseorang dapat melatih empati, imajinasi, keinginan untuk berkontribusi, kemampuan untuk menggali pengetahuan hingga inovasi. Itulah hal-hal positif yang hadir dari reading society. []