Paris, Gontornews — Badan cuaca Uni Eropa, Copernicus, Jumat (04/08/2023), mengkhawatirkan efek tidak langsung dari peningkatan suhu permukaan air laut pekan ini. Layanan Perubahan Iklim Copernicus mengatakan suhu permukaan lahut pada Jumat mencapai 20,96 derajat Celcius. Rekor sebelumnya terjadi pada Maret 2016 dengan 20,95 derajat Celcius.
Copernicus khawatir kondisi ini dapat berdampak pada iklim planet, kehidupan laut dan masyarakat pesisir.
Para ilmuwan mengatakan lautan telah menyerap 90 persen kelebihan panas yang dihasilkan oleh aktivitas manusia sejak awal era industri. Kelebihan panas yang diserap laut terus terus bertambah seiring gas rumah kaca yang juga terus menumpuk di atmosfer bumi. Gas rumah kaca berasal dari pembakaran minyak, gas dan batu bara oleh manusia.
Secara global, suhu rata-rata permukaan laut telah melampaui rekor panas musiman secara rutin sejak April.
“Gelombang panas lautan merupakan ancaman langsung bagi beberapa kehidupan laut,” kata Piers Forster dari Pusat Iklim Internasional di Universitas Leeds, Inggris.
“Kami sudah melihat pemutihan karang di Florida sebagai akibat langsung (dari peningkatan suhu permukaan air laut). Saya menduga akan ada lebih banyak dampak yang akan bermunculan,” sambungnya sebagaimana dilansir Channel News Asia dari AFP.
Kenaikan suhu air laut juga memiliki dampak lain terhadap kehidupan tumbuhan dan hewan laut, termasuk migrasi spesies tertentu dan penyebaran spesies invasif. Akibatnya, situasi ini dapat mengancam stok ikan serta merusak ketahanan pangan di bagian dunia tertentu.
Lautan yang hangat juga kurang memiliki kemampuan untuk menyerap karbondioksida (CO2). Akibatnya, lingkaran pemanasan global semakin menjadi-jadi.
Para ilmuwan memperkirakan dampak terburuk El Nino akan terasa pada akhir tahun 2023 dan akan berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya. El nino memiliki kecenderungan untuk menghangatkan air laut.
“Meski ada faktor jangka pendek, penyebab utama jangka panjang yaitu akumulasi gas rumah kaca di atmosfer yang disebabkan oleh aktivitas manusia, terutama oleh pembakaran bahan bakar fosil,” kata Direktur Penelitian Iklim di University of Reading. [Mohamad Deny Irawan]