Jakarta, Gontornews — Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Dr Din Syamsuddin mengingatkan adanya bahaya kerusakan alam yang menjadi ancaman ekosistem dunia. Kerusakan alam ini antara lain disebabkan karena pandangan manusia yang keliru terhadap alam semesta.
“Pada umumnya manusia ini menampakkan gejala kerusakan akumulatif dan nuansanya sangat kompleks. Yang kita hadapi tidak hanya pemanasan global tapi juga nasional,†paparnya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (22/4).
Din menegaskan, masalah lingkungan hidup menjadi salah satu problematika dunia saat ini. Pemanasan global menyebabkan es di kutub utara meleleh dan pemanasan di mana-mana. Negara-negara dunia sepakat untuk menurunkan emisi gas kacanya. “Saya diminta mewakili Islam untuk menyebarkan dukungan dan mendesak kepada PBB agar tahun 2050 tidak boleh lagi menggunakan energi tak terbarukan seperti batubara dan fosil,†tuturnya.
Untuk mengatasi pemanasan global ini, ujar Din, Islam jauh lebih siap dengan pandangan bahwa alam memiliki ruh dan dimensi. Dari sudut pandangan agama, krisis lingkungan hidup ini adalah krisis moral yang ada hubungannya dengan perilaku manusia. Terjadinya krisis moral ini karena ada perspektif keliru yang menganggap bahwa alam semesta sebagai objek padahal sejatinya menjadi subjek. “Dalam bahasa Arab ada istilah attobi’ah yang posisinya sebagai subjek(fa’il),†kata Din menegaskan.
Maka sejatinya alam semesta ini punya ruh sama seperti manusia yang memiliki jiwa. Maka solusi moral harus mengembalikan pandangan dunia ke arah titik subjek dengan sikap pemuliaan alam. “Bukan pelestarian alam saja tapi pada tingkat paling tinggi yaitu gerakan pemuliaan alam. Di MUI sudah ada lembaga pemuliaan alam,†terang mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dua peride ini.
Sekarang ini juga ada gerakan eco rumah ibadah, dari Indonesia bergerak siagakan bumi, yang diturunkan menjadi ecomasjid, ecokuil, ecogereja, dan lain-lain. Ada empat sasaran yaitu pengairan yang menjadi tantangan arsitek rumah ibadah, kenyamanan, kedamaian, penghijauan dan sanitasinya. “Karena bagusnya gerakan ini maka jangan berhenti pada simbolisme tapi praksisme konkrit,†pungkas Chairman World Peace Forum (WPF) ini. [Ahmad Muhajir/Rusdiono Mukri]