Sudah 75 tahun Indonesia merdeka, namun banyak hal yang berkaitan dengan upaya mencerdaskan bangsa seolah jalan di tempat. “Meski sudah lama merdeka, map pendidikan kita sepertinya belum jelas. Ganti menteri ganti sistem. Masuk menteri baru sistem lama diganti. Waktu Prof Muhajir Efendi jadi menteri ada kebijakan zonasi, begitu menteri diganti, zonasi dihapus,” ungkap Dr Nirwan Syafrin Manurung, wakil rektor Univesitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor.
Sementara dimensi akhlaqiyah acapkali dilupakan dalam proses pendidikan di negeri ini. “Kita dari kecil yang dibentuk hampir semuanya kognitif. Sementara proses pendidikan karakternya terkadang dilupakan,” ungkapnya.
Untuk menguak seputar fenomena pendidikan Islam di Indonesia, reporter Majalah Gontor, Muhammad Khaerul Muttaqien, berkesempatan mewawancarai Dr Nirwan Syafrin Manurung, pria kelahiran Asahan, Sumatera Utara, 18 September 1972. Berikut petikannya:
Bagaimana Anda melihat dunia pendidikan kita saat ini?
Berbicara tentang pendidikan secara umum dan pendidikan Islam secara khusus, terutama di Indonesia, saya pikir persoalannya orientasi pendidikan. Tujuan pendidikan kita, kalau kita mendengar dari Menteri Pendidikan, orientasinya kerja. Dari situ kelihatan ini merupakan suatu problem. Karena kalau melihat tujuan pendidikan nasional, dalam filsafat pendidikan kita sebenarnya tidak disebutkan kalau anak-anak didik kita begitu selesai akan bisa bekerja atau dipekerjakan.
Kalau kita melihat Undang-Undang Pendidikan Nasional tujuan pendidikan kita adalah hendak melahirkan manusia, peserta didik yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, religius, bertanggung jawab dan seterusnya. Artinya tujuan pendidikan nasional nasional kita adalah membangun karakter, membentuk sikap, membangun kepribadian. Abstrak memang, tapi itulah filosofi pendidikan kita dan sekarang ini turunannya sulit diaplikasikan. Katakanlah ketika masuk sekolah, atau universitas tujuan pendidikan itu hilang begitu saja. Karena ketika belajar, yang disampaikan hanya informasi, tidak konsen pada hal-hal yang terkait adab, akhlak atau kepribadian.
Di sisi lain guru atau tenaga pendidik sekarang ini terkadang sedikit dilematis untuk menanamkan adab, akhlak dan kepribadian. Ketika melakukan hal-hal sedikit pendisiplinan, sedikit-sedikit ada HAM, bahkan kita tahu ada guru yang diadukan, bahkan ada yang dipenjara.
Meskipun sudah lama merdeka, map pendidikan kita sepertinya belum jelas. Setiap masuk menteri baru sistem lama diganti. Sebelumnya waktu Prof Muhajir Efendi jadi menteri ada kebijakan zonasi, begitu menteri diganti, zonasi dihapus. Belum lagi soal ilmu-ilmu yang diajarkan di tingkat SMP, SMA seperti matematika, fisika yang very sophisticated. Berbeda dengan di negara-negara maju, proses belajarnya tidak serumit seperti di Indonesia. Di negara-negara maju seperti Jepang dan Finlandia, dari awal yang dibentuk karakternya.
Lalu apa yang seharusnya ditanamkan oleh dunia pendidikan Islam kita saat ini?
Intinya pendidikan Islam tentu saja orientasinya bagaimana melahirkan peserta didik bisa merealisasikan tujuan dirinya sebagai hamba Allah. Karena manusia diciptakan untuk beribadah, maka tujuan pendidikan Islam adalah peserta didik betul-betul bisa merealisasikan dirinya sebagai hamba Allah, untuk ibadah kepada Allah. Tentu saja ibadah kepada Allah dimensinya tidak berarti hanya sekedar ritual. Menjadi polisi bisa jadi ibadah, gubernur bisa jadi ibadah, pedagang bisa jadi ibadah, direktur bisa jadi ibadah.
Artinya dimensi ibadah bisa sangat luas sekali. Kalau itu yang ditekankan kepada anak didik, kalau mereka sudah memahami tujuan hidupnya, maka nanti apapun profesinya dia bisa mengarahkan seluruh profesinya itu untuk pengabdian kepada Allah. Pengabdian kepada Allah ada nilai-nilai akhlak; jujur, amanah, integritas, tidak zalim dan sebagainya. Itu hal penting yang harus ditanamkan dalam dunia pendidikan kita pada saat ini. Artinya, nilai-nilai, sifat-sifat yang ada dalam ajaran Islam harus ditanamkan sejak dini.
Sebelumnya ada pernyataan agama musuh terbesar Pancasila, ini hasil pendidikan apa?
Sepertinya virus liberalisme dan sekularisme sudah begitu luar biasa masuk ke dunia pendidikan terutama dunia pendidikan tinggi Islam. Ini orang korban perang pemikiran. Kalau korban perang nyata kan mati fisiknya, tapi kalau korban perang pemikiran mati hatinya. Kenapa mati hatinya? Coba bayangkan kenapa dia bisa meluluskan disertasi orang yang melegalkan sesuatu yang sudah diharamkan Allah, apa yang mati, yang mati kan hatinya berarti. Bisa jadi karena hatinya mati, yang ada dalam pikirannya dunia.
Saya pikir tidak ada yang salah dengan orientasi keduniaan, selagi itu untuk mengabdi kepada Allah. Itu yang harus kembali ditekankan. Hal itu juga yang harus ditekankan di pesantren-pesantren. Ibarat menanam padi, kalau menanam padi, kadang-kadang ilalang, rumput tumbuh sendiri. Tapi kalau kita menanam rumput, padi tidak akan tumbuh. Kalau kita Lillahi Ta’ala maka pekerjaan akan datang sendiri. Allah tidak pernah mengatakan carilah rezeki itu dalam pekerjaan. Tapi Allah mengatakan wabtaghu indallahir rizqo. Carilah rezeki kepada Allah. Bekerja dan lain sebagainya itu tanggung jawab kita, tugas kita mencari. Allah mengatakan, rezeki itu Allah yang memberikan.
Apa tantangan yang dihadapi umat Islam terkait pendidikan Islam saat ini?
Tantangan terbesar kita di era teknologi informasi yang sangat luar biasa ini, informasi sangat mudah diakses. Bahkan sekarang masyarakat bisa belajar agama lewat Youtube, google dan lain sebagainya. Kalau dulu sumber informasi guru. Dulu, orang menunggu guru, dosen dan profesor untuk mendapatkan informasi baru. Sekarang, besok belajar apa tinggal buka internet, semuanya ada. Tapi itu kan informasi bukan knowledge atau ilmu. Dalam artian ilmu itu haruslah memberikan manfaat bagi pemiliknya. Sekarang banyak orang punya informasi, tapi tidak bijaksana. Karena informasi tidak dicerna dalam perilaku yang sesuai ilmunya.
Jadi tantangan pendidikan Islam sekarang ini, salah satunya, persoalan teknologi informasi. Dengan itu mungkin peserta didik bisa mendapatkan informasi, tapi belum tentu mendapatkan knowledge-nya. Karena bagaimana mungkin google mengajarkan akhlak dan adab. Kan tidak mungkin, makanya guru sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan. Tidak bisa kalau sekedar otodidak saja. Tidak bisa kalau sekedar mendapatkan informasi saja.
Lalu di mana sebaiknya belajar agama itu?
Pesantren dalam konteks kekinian telah menjadi salah satu lembaga pendidikan yang dicari banyak orangtua. Bahkan para pejabat yang mungkin kesannya kurang ramah terhadap Islam, malah memasukkan anak-anak mereka ke pesantren. Kenapa? Sekarang ini pesantren jauh lebih membentuk karakter dibandingkan sekolah-sekolah yang ada. Karena anak-anak dididik 24 jam. Sistemnya sangat ketat sekali dan itu sudah dibuktikan. Hasil dari pesantren itu bisa dilihat dari anak didiknya, mereka berkiprah di tengah masyarakat. Mereka banyak berbuat. Karena pesantren bukan hanya sebagai tempat belajar agama. Jiwa kepemimpinan dan entrepreneurship diberikan kepada mereka.
Mereka sejak awal sudah dididik dengan sikap-sikap, karakter-karakter yang bisa membuat mereka bisa jadi apa saja ketika terjun di masyarakat. Saya melihat dunia pendidikan ke depan harus mengikuti model pesantren. Karena di pesantren ada keteladanan, ada kiainya yang diikuti, karakternya sangat kuat, ada kemandirian, kebersamaan, pengembangan talenta, kepemimpinan dan lain sebagainya. Pesantren itu sangat luar biasa dalam proses ilmu hidup. Mereka mungkin tidak diajari ilmu umum seperti bahasa Inggris, matematika, fisika sedetail mungkin, dengan pembelajaran seperti yang ada di sekolah-sekolah tertentu. Lihat saja model pesantren Gontor, mereka punya skill of life atau soft skill. Artinya ketika mereka punya soft skill itu, mereka mau ke mana saja bisa.
Dari sekian banyak keunggulan pesantren, apa saja yang menjadi catatan untuk peningkatan kualitas pesantren?
Dulu kalau orang ingin belajar, misalnya tafsir, mereka akan datang ke kiai dan pesantren tertentu. Jadi betul-betul kompetensinya yang menjadi unggulan. Bukan sekedar mendapatkan ijazah. Misalnya pesantren ini terkenal dengan ilmu Nahwunya. Pesantren itu terkenal dengan ilmu fiqihnya. Pesantren lainnya lagi terkenal dengan Ilmu tafsirnya. Orang datang ke kiai-kiai di pesantren-pesantren tertentu yang mengajarkan ilmu-ilmu tersebut. Namun sangat disayangkan, pesantren-pesantren yang dulu punya tradisi keilmuan yang sangat kuat bahkan umurnya sudah ratusan tahun, sekarang mulai hilang disebabkan mengikuti pola perkembangan zaman.
Apa saran untuk pendidikan kita agar terwujud Indonesia yang maju, adil, dan beradab?
Proses pendidikan kita perlu dilakukan perbaikan di semua tingkat, dari bawah sampai universitas. Dalam kurikulum kita harus selalu menyertakan hal-hal yang berkaitan dengan adab. Banyak tokoh menyuarakan islamisasi ilmu, karena materi-materi yang diajarkan sekolah dari SD hingga univesitas tidak memasukkan nilai-nilai adab. Pandangan-pandangan sekuler yang lebih menonjol. Misalnya yang terkait persamaan dan kesetaraan gender, itu yang diarahkan. Seperti feminisme, mengangkat perlawanan terhadap laki-laki bahkan perlawanan terhadap nilai-nilai agama. Kalau ingin melahirkan manusia yang adil dan beradab berarti harus ada proses. Proses itu adalah pendidikan. Pendidikan itu salah satunya kurikulum. Kurikulum itu salah satunya bahan ajar. Kalau misalnya kita mengajarkan materi-materi yang membuat anak didik tidak beradab, akhirnya mereka berkembang menjadi orang yang tidak beradab.
Problem terbesar saat ini adalah hilangnya atau kurangnya nilai-nilai moral dalam proses pendidikan, karena modern education sekarang ini disuplai dengan filosofi positivisme, sehingga orientasi pendidikan bagaimana melahirkan orang-orang productive employment. Sekolah diorientasikan untuk bekerja, sedangkan gelarnya untuk status sosial, bukan untuk proses pencerahan diri, bukan untuk mencari kebenaran. Dimensi-dimensi proses pencerahan diri dan mencari kebenaran ini mulai hilang dalam proses pendidikan dan itu mulai disadari. []
Biografi Singkat Nirwan Syafrin Manurung
Dr Nirwan Syafrin Manurung lahir di Tanjung Balai, Asahan, Sumatera Utara, 18 September 1972. Pakar di bidang pemikiran Islam dan pemikiran kontemporer itu, saat ini menjabat Wakil Rektor Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor. Program doktornya diselesaikan di International Islamic University Malaysia (IIUM) tahun 2010, dengan disertasi bertajuk “A Critique of Reason in Contemporary Arab Philosophical Discourse with Special Reference to Muhammad Abid al Jabiri”.
Pria yang fasih berbahasa Arab dan Inggris ini dikenal ”gila buku” sejak belia, meskipun saat kuliah S1 sampai S3 harus berjuang mencari nafkah sendiri. Meskipun hidup di perkampungan, Nirwan sudah mencintai ilmu. Ketika tsanawiyah (SMP), ia sudah mengaji ”kitab kuning” di surau di desanya, Tanjung Balai. Saat menginjak bangku Aliyah (SMA), Nirwan pindah ke Padang Panjang, masuk ke Madrasah Aliyah Program Khusus. Tapi ia tak puas sekolah di situ, karena materi pendidikan Islamnya mengulang seperti di tsanawiyah. Ia pun memutuskan pindah ke Madrasah Muallimin al-Washliyah di Medan. Di situ ia merasa nyaman karena mendapat pelajaran yang selama ini ia cari. Di al-Washliyah ia mendapat pendidikan bahasa Arab yang bagus. Di sana ia mengkaji kitab nahwu Syarah Ibnul Aqil, Minhajuth Thalibin, Tafsir Jalalain, al-Luma’, dan lain-lain.
Nirwan mendapat dua gelar sarjana muda ketika S1. Bachelor dalam Human Sciences (Philosophy) dan Bachelor dalam Islamic Revealed Knowledge and Heritage. Ketika S2 ia menyelesaikan Magister dalam bidang Islamic Revealed Knowledge. []